Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APAKAH nilai penting sebuah biennale bagi ranah seni yang majemuk seperti di Indonesia? Apakah penggunaan kata biennale sendiri sudah seperti berlebihan, sehingga terdengar sebagai latah? Mengapa kota-kota di Indonesia, atau cakupan wilayah (karena bisa saja dilekatkan pada wilayah provinsi dalam kategori administratif), seperti berlomba membangun tradisi biennale? Apakah bedanya biennale dengan pameran skala besar?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tampaknya menarik untuk mengawali diskusi tentang maraknya penyelenggaraan biennale seni rupa di Indonesia. Selain yang sudah terasa mapan seperti Jakarta Biennale dan Biennale Jogja, pernah berlangsung Bali Biennale. Sekarang muncul Makassar Biennale, Biennale Sumatera, Biennale Jatim, dan Biennale Jateng. Dalam konteks seperti Indonesia, gagasan biennale yang banyak berkait dengan kota kemudian berkembang menjadi program kerja sebuah wilayah administrasi yang lebih luas. Apa bedanya jika sebuah biennale berfokus pada gagasan tentang kota dan yang lebih merepresentasikan konteks wilayah yang lebih luas?
Kawasan kota lama Semarang telah dua kali ini (dimulai pada 2016) menjadi ruang bagi penyelenggaraan Biennale Jateng. Edisi kedua Biennale Jateng dibuka pada 7 Oktober 2018 dengan pameran bertajuk ”Future of History”, yang dikuratori oleh Djuli Djatiprambudi dan Wahyudin. Memasuki- wilayah kota lama Semarang memang selalu menyajikan pengalaman ruang yang terasa nostalgis, juga eksotis, tempat bangunan-bangunan tua peninggalan kolonial menawarkan petualangan terhadap sejarah dan kontestasi sosial-politik kota.
Para seniman dan kurator dengan segera seperti didorong oleh citra-citra visual yang sangat potensial untuk gagasan penciptaan. Pilihan membicarakan sejarah sebagai tema kuratorial seperti tak terhindarkan—sehingga punya jebakan juga untuk dilihat sebagai jalan pintas karena membicarakan sejarah menjadi ”aman” dalam konteks yang demikian. Judul ”The Fu-ture of History” juga mensyaratkan adanya kontradiksi atas masa lalu dan masa depan, tapi pada saat yang sama berspekulasi atas kemungkinan-kemungkinan yang baru. Beberapa karya menyajikan bagaimana kontradiksi dan spekulasi ini berkelindan dalam berbagai narasi sejarah, dari kolonialisme, sejarah kekerasan 1965, reformasi, sampai penanda lain dalam lini masa.
Tiga bangunan yang digunakan sebagai ruang pamer utama adalah Semarang Contemporary Art Gallery, Gedung Oudetrap, dan Gedung PPI. Ketiga bangunan ini seperti mempunyai karakter yang spesifik dan membuka kemungkinan estetik yang berbeda-beda, juga semuanya menjadi bagian penting bagi presentasi karya. Bangunan-bangunan lain digunakan untuk menyelenggarakan pameran pendukung (fringe event), yang terutama mengundang seniman-seniman muda, masih dibingkai dengan kerangka sejarah.
Setelah pembukaan, pengunjung dipersilakan masuk ke Gedung Oudetrap sebagai bagian dari seremonial acara, lalu dihadapkan dengan karya Titarubi, History Repeats Itself, yang cukup masif. Tiga perahu mengisi ruangan yang cukup luas, menjadi simbol bagi narasi sejarah kolonial abad ke-16 yang berfokus pada perdagangan rempah. Di atas perahu, Titarubi menempatkan sosok manusia berjubah butir-butir pala yang telah dilapis emas, menegaskan bagaimana pala di masa lalu menjadi komoditas senilai emas yang membuat Indonesia menjadi sasaran utama penguasaan lahan dan perbudakan. Narasi sejarah dalam karya Titarubi sangatlah kompleks sehingga simbol-simbol yang ia munculkan akan selalu dapat dibuka lapisan-lapisannya untuk mempertanyakan kembali berbagai versi sejarah yang kita pelajari selama ini. Titarubi melengkapi karya instalasi ini dengan memunculkan sensasi bebauan, seperti bau tanah basah dan bau hujan.
Di gedung yang sama, Wimo Ambala Bayang menampilkan satu video sorotan dari sebuah rolling door yang tertoreh grafiti ”REFORMASI” di sebuah jalan utama di Yogyakarta. Video ini diambil pada 2015, ketika grafiti itu sudah berusia 17 tahun, menjadi sebuah ingatan kolektif bagi sebuah generasi yang dibesarkan melewati huru-hara reformasi. Wimo dengan sengaja membuat gambar ini bergerak statis, sehingga ada kesan yang monoton, atau penegasan terhadap cat yang memudar. Video ini ditambah dengan latar belakang kisah bagaimana kaum muda mengingat reformasi dan beberapa catatan yang ditampilkan melalui kertas pesan yang ditempel di tembok.
Gedung PPI biasanya tidak digunakan sebagai ruang pameran sehingga transformasinya yang seperti ”sekadarnya” itu ternyata memberi efek visual yang sangat kuat. Kesan gedung tua yang kusam ini menjauh dari gagasan kotak putih sehingga kontras dengan yang disaksikan dalam Semarang Contemporary Art Gallery, sehingga justru terasa kontekstual dengan narasi sejarah. Karya Maharani Mancanegara, Parodi Partikelir, dengan cepat menarik perhatian dengan lampiran kain yang merupakan kolase dari berbagai berita yang menyangkut sejarah pada masa kolonial, penjajahan Jepang, dan peristiwa 1965. Narasi personal seorang bekas tahanan Pulau Buru yang disajikan kembali melalui catatan harian yang ditulis ulang sehingga memberi aspek intervensi yang artistik.
Karya Maharani Mancanegara, Parodi Partikelir. -ANTARA/Aji Styawan
Karya Jim Allen Abel barangkali yang paling berhubungan langsung dengan sejarah Kota Semarang; menelusuri sebuah gedung bersejarah, Bangunan Papak, yang terbakar pada 1954. Gedung ini dulu digunakan sebagai kantor kependudukan Belanda sepanjang masa kolonial sampai akhirnya menjadi kantor gubernur. Ketika gedung ini terbakar, semua arsip sejarah hilang, terutama yang menunjukkan bagaimana gedung ini menjadi saksi berbagai aksi kriminal kolonial, seperti korupsi dan manipulasi.
Melalui arsip surat kabar, Jim menelusuri- bagaimana muncul dugaan yang menyebutkan bahwa gedung ini sengaja dibakar untuk menghilangkan jejak kriminal tersebut. Dia mereka ulang ingatan ruang dalam gedung dan artefak ini dalam suasana yang gelap pekat, sehingga sebagian ruang ini seperti tak terlihat, kecuali dalam temaram cahaya lilin. Karya foto juga ditampilkan hitam sehingga sejarah menjadi tak terlihat (invisible). Dalam gelap itu, pe-ngunjung justru punya ruang untuk membangun imajinasi sejarahnya sendiri, tanpa perlu disodor-sodorkan pada arsip-arsip yang sering memaksa pengunjung untuk membaca.
Di Gedung Semarang Contemporary Art Gallery, pengunjung disambut oleh karya Jompet Kuswidananto yang berangkat dari risetnya tentang pencurian massal di Madiun pada kisaran akhir abad ke-19. Disebutkan bahwa para pelaku banyak mengambil tirai dari rumah kolonial yang megah. Gagasan tirai ini yang kemudian ditransformasi oleh Jompet menjadi bentuk tenda-tenda yang diisi dengan lampu kristal di dalamnya. Belakangan, Jompet memang gemar menggunakan lampu kristal sebagai simbol dari produk kolonial dan gagasan tentang Barat/modernitas.
Di Semarang Contemporary Art Gallery, para pengunjung juga bisa menyaksikan karya lukisan Goenawan Mohamad yang cukup masif serta karya Bayu Wardhana, Kun Adyana, Harris Poernomo, Heri Dono, dan Hanafi. Dibandingkan dengan penataan karya di dua gedung sebelumnya, karya-karya yang terpanjang di dalam galeri kubus putih terasa dingin dan berjarak.
Kembali pada pertanyaan awal dalam tulisan ini, bagi sebuah kota seperti Semarang, bagaimana biennale seni rupa memberi peran bagi pergerakan dinamika kebudayaan? Sementara di Jakarta atau di Yogyakarta biennale menjadi sebuah representasi dari peristiwa seni skala besar (di luar Art Jakarta atau Art Jog, misalnya), di Semarang gagasan biennale bukanlah membangun narasi besar semacam itu. Yang menarik adalah bagaimana biennale dalam konteks kota yang dinamika atau infrastrukturnya lebih cair seperti di Semarang bisa menjadi sebuah provokator bagi narasi-narasi tersembunyi. Dengan jumlah pengunjung yang cukup besar, peristiwa seni ini penting untuk diposisikan sebagai sebuah cara untuk mengajak masyarakat sipil membicarakan sejarah dan konteks sosial-politik secara lebih kritis.
ALIA SWASTIKA, PENGAMAT SENI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo