Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Rendra: Saya Ingin Punya Masterpiece

14 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRITIKNYA masih tajam. Idenya pun tetap segar. Kamis pekan lalu, Wahyu Sulaiman Rendra menyampaikan orasi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dalam acara Penganugerahan Akademi Jakarta kepada penari Retno Maruti.

Pantas jika banyak lelaki iri melihat langkahnya yang tetap tegap, meski pria yang terlahir dengan nama Willibrodus Surendra Broto itu telah genap 70 tahun-empat hari sebelumnya.

Namun suaranya tak lagi selantang dulu. Energi si "Burung Merak" tak lagi meletup-letup, seperti ketika ia membacakan syair-syairnya, hingga satu dasawarsa silam. Namun, dia mengaku belum punya karya monumental. "Saya masih ingin punya masterpiece," katanya.

Keluarga dan teman-teman Rendra akan menggelar acara peringatan ulang tahun Rendra di Taman Ismail Marzuki, Senin dua pekan mendatang. Usia 70, sederet penghargaan, karya besar, tiga kali menikah, anak sebelas, pernah disel (1978) karena kritiknya, mewarnai jalan hidupnya.

Seusai orasi budayanya di Taman Ismail Marzuki, Rendra menerima Agung Rulianto dan Nurdin Kalim dari Tempo di rumahnya, Jumat pekan lalu. Sambil menikmati sarapan di rumah yang terletak di atas tanah seluas tiga hektare di kawasan Depok, Jawa Barat, itu Rendra berbicara tentang cita-cita berkeseniannya.

Apakah Anda cukup puas dengan pencapaian hingga usia 70 tahun ini?

Apa sih, yang sudah saya capai? Belum banyak, kan? Pencapaian saya belum bisa secara serius dipertimbangkan. Kalau dengan kemurahan hati teman-teman ada perhatian, ya alhamdulillah.

Dari segi karya, saya masih ingin punya masterpiece, tetapi saya belum punya judulnya. Masih banyak cita-cita kesenian saya, keindahan saya, yang belum saya wujudkan. Apalagi dari segi teater, karena melibatkan orang lain, menyangkut ide keindahan yang saya sedang hayati. Itu baru dalam segi keindahan, padahal seni kan tidak sekadar indah, tetapi juga harus punya wawasan.

Bukankah beberapa karya Anda sudah dianggap masterpiece?

Ha-ha-ha.... Jangan melihat dari anggapan orang lain. Kita pakai ukuran yang obyektif, ukuran yang timbul dari kenyataan-kenyataan yang sejati. Kenyataan dalam introspeksi. Nyatanya banyak syair yang saya tulis masih harus melalui pertimbangan-pertimbangan, lalu saya timang dalam batin saya.

Apakah Anda punya target menyelesaikan masterpiece itu?

Mudah-mudahan.... Ya, nggak ngerti juga. Kalau umur kan terserah Allah. Saya ingin saat ini juga melahirkannya. Tetapi, misalnya pidato semalam, masih harus saya tulis ulang dan ulang lagi.

Apakah proses kreatif Anda sekarang masih seperti dulu?

Ya, biasanya saya mulai dari ruang makan. Tetapi, seperti Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, Nyanyian Angsa, Pesan Pencopet kepada Pacarnya, itu saya tulis di bak mandi di New York. Setelah dari kamar mandi saya timbang-timbang lagi. Setelah kira-kira oke dan mantap, barulah jadi.

Mengapa memilih topik negara maritim dalam pidato kebudayaan Anda?

Kemarin itu saya singkatkan dari suatu tema buku yang melukiskan bagaimana kita akhirnya menjajah bangsa sendiri. Latar belakangnya apa? Dulu-dulu bangsa kita ini apa? Saya belum menemukan sesuatu untuk membantu masalah keterpurukan bangsa ini. Masa, bangsa ini tidak bisa bangkit? Apakah globalisasi itu sesuatu yang tak terlawankan?

Apa yang bisa kita lakukan?

Keterbukaan itu dulu kehebatannya orang Melayu. Kita punya potensi perdagangan daerah yang luar biasa. Tetapi harus diberi infrastrukturnya. Pertama, daulat kelautan baru dengan pembuatan kapal-kapal, dermaga kecil, dan pelabuhan yang sudah ada seperti Batam, Tanjung Priok, Tanjung Perak, menjadi betul-betul pelabuhan bertaraf internasional. Harus dipimpin syahbandar, harus terdaftar di Unclos (Konvensi Hukum Laut) PBB, baru kita punya pelabuhan. Kalau tidak, ya hanya terminal. Sayang, saya hanya diberi ruang 30 menit. Ya..., jelas kurang to? Tetapi saya akan elaborasi menjadi buku.

Selain menyiapkan buku, apakah Anda akan menyiapkan naskah pementasan lagi?

Saya ingin mementaskan dan menerjemahkan Iphigenia de Tauris. Naskah ini berbicara tentang potensi keserakahan dan ambisi manusia. Seakan-akan Agamemnon (Raja Mycenae dalam mitologi Yunani) itu membela kehormatan bangsa dan negara Yunani dengan mengambil kembali Helena dari Troya at all cost. Padahal lautan sedang bergolak dan sukar diseberangi.

Oracle menyarankan harus ada pengorbanan seorang perawan. Dan yang dikorbankan itu anaknya sendiri, dan betul-betul dipenggal. Semua itu seakan atas nama bangsa dan tanah air. Bangsa dan tanah air yang ngurusi perempuan. Ini kan potensi kekejaman manusia, ngomongnya muluk dan suci banget. Melakukan sesuatu yang hina seakan melakukan sesuatu yang mulia. Atas nama agama, atas nama Tuhan, melakukan kekejaman. Mana mungkin atas nama sesuatu boleh melanggar yang lain demi kebenaran yang mereka yakini sehingga mereka berani mengorbankan?

Mengapa naskah ini yang dipilih?

Ini kan penggambaran potensi manusia, potensi amal saleh dan ibadah manusia yang sekadar omong kosong. Orang itu sudah habis-habisan, malah dianggap ada tuahnya, ada berkahnya. Menjadi tauladan nilai-nilai yang lain. Masa ini bukan nilai-nilai yang harus diperhatikan. Bukan soal kritik, tetapi soal call atau seruan. Seruan bukan melalui seruan literer, tetapi metafora, seruan untuk memperhatikan unsur-unsur dalam diri manusia yang memancar, meskipun secara material sudah habis.

Selain itu, apakah ada naskah baru yang disiapkan?

Tentu ada. Tentang bagaimana orang lahir di Jakarta dan mati di Jakarta. Tetapi itu nanti, setelah Iphigenia de Tauris.

Apakah ada hambatan dalam berkreasi di usia 70 tahun ini?

Walaupun sudah umur segini, kemampuan saya mengorganisasi waktu belum baik. Senam secara rutin memang masih adalah. Kalau diet..., itu saya karang-karang sendiri.

Apa yang Anda lakukan selain senam dan diet?

Pertama, saya harus memperkukuh diri supaya daya tahan sebagai pribadi tetap kuat. Menjaga daya tahan mental saya lakukan dengan membaca, bergaul, dan banyak mendengar. Iqra, membaca, itu yang rajin saya lakukan. Saya tidak hanya memperhatikan yang saya senangi. Tanya-tanya juga soal inflasi. Saya membaca masyarakat dengan Mbak Ida (Ken Zuraida, istri Rendra), bertemu orang yang punya tambak bandeng di Pantura (pantai utara Pulau Jawa), juga pertukangan di Madura. Saya melihat: kok krismon (krisis moneter) malah ada pabrik? Kalau begitu ada reinvestasi. Kemudian saya bertemu almarhum Profesor Mubyarto. Dia bilang, memang betul di Madura, Pasuruan, dan Brebes itu selalu ada growth.

Apa yang ingin Anda capai dengan cara itu?

Laku itu untuk menjaga daya tahan mental saya, agar saya tetap kreatif, manjing ing kahanan, ngayuh karsaning Hyang Widhi. Ini sebenarnya disiplin tradisi tasawuf suluk Demak. Maksudnya, selalu menjaga rasa peduli pada panggilan karismatik. Terhadap panggilan sing katresnan dari pohon-pohon, dari rumput, dari awan, dari tetangga, bayi, fakir miskin, yatim piatu. Selanjutnya merangkul, atau ada keterlibatan. Setelah itu ada proses kita bersatu, dan tak hanya punya wawasan, tetapi juga punya paradigma. Lalu langkah terakhir, semua itu harus dikaitkan dengan kehendak Tuhan. Dalam bahasa modernnya harus dikaitkan dengan nilai-nilai universal. Nah, itu cara saya berusaha menjaga kesehatan mental saya.

Apakah langkah itu sudah rampung dijalani?

Saya masih lengah dan masih gamang dalam menyempurnakan olah kerohanian saya. Kalau meditasi, saya masih rajin. Tetapi meditasi itu kan raga, prana. Ketenangan pikiran ini yang saya maksud rohani. Rohani itu tak cukup kita bilang, "Yo wis, aku beriman, aku bertakwa." Rohani itu yang tahu diri kita sendiri. Dalam hidup, jelmaan dari kerohanian itu amal saleh dan amal ibadah. Itu saya masih gamang. Tidak tahu, itu kelemahan saya.

Bagaimana dengan Bengkel Teater? Mengapa makin jarang pentas?

Sekarang ini hambatannya bukan lagi politik, tetapi ekonomi. Dulu bisa mendapat kesempatan main setiap dua atau tiga bulan. Sumber daya manusianya bisa, cuma transpornya mahal. Kalau di Yogya, saya tidak mikirin transpor, wong bisa dilakoni dengan jalan kaki atau sepeda. Juga orientasinya masih mengutamakan aktor. Karena saya jelas tidak ikhlas kalau membuat dekorasi yang lebih mahal daripada honornya aktor.

Tetapi aktivitas jalan terus?

Masih ada. Kita masih hidup, ada latihan dan sebagainya, terutama yang tidak formal. Masalahnya, pembiayaannya mulai naik, padahal saya tidak mau dikasih subsidi atau bantuan dari yayasan asing. Tetapi begitulah jalan hidup yang saya pilih.

Bagaimana regenerasi di Bengkel Teater?

Saya kira akan lancar juga, tetapi juga anu.... (Rendra berhenti beberapa detik). Tidak semua angkatan lama Bengkel ikhlas dengan regenerasi itu. Seperti dianggap tidak adil. "Kami dong yang ini, mosok saya yang menunggui Mas Willy di penjara kok...." Lha, apa mau kowe terus? Kalau tidak ada kamu, lalu bagaimana? Sebab, yang muda-muda itu punya pikiran sendiri, paradigma sendiri, dalam mengekspresikan diri.

Bagaimana Anda melihat generasi baru secara umum dalam dunia seni?

Anak muda sekarang bisa catch up dengan humaniora. Mereka sudah menghasilkan buku yang bagus. Kalau dulu ada hambatan politik atau SARA, sekarang polling segala macam sudah boleh. Misalnya Titi Surti Nastiti, anaknya (sastrawan) Ajip Rosidi itu, bikin buku bagus. Dia sudah banyak menerjemahkan prasasti. Prasasti seperti ini harusnya dikumpulkan sesuai dengan sistematis kronologis tahunnya tentang ekonomi, politik, dan sebagainya. Kalau itu sudah terbit semua, kita bisa melihat portofolio masa lalu kita. Tanpa portofolio masa lalu dan masa kini, kita tidak akan bisa melihat masa depan. Angkatan '45 dan Orba memang banyak yang pinter, tetapi mereka tidak cukup melihat portofolio masa lalu dan portofolio masa kini. Sehingga mereka gampang tergoda pemikiran dari negara donor.

Bagaimana Anda melihat hubungan antara dua generasi ini?

Generasi tua yang akomodatif pada generasi muda cukup banyak. Itu menjadi alasan untuk perbaikan bangsa. Ketoprak zaman sekarang tidak bisa dibandingkan dengan zaman dulu. Wah, sudah begitu pesatnya. Dangdut juga begitu. Generasi muda itu potensinya besar di segala bidang. Mereka ini bukan mendadak ada. Dulunya mereka sedang berproses, dan pada suatu saat melesat karena tidak ada lagi yang mengekang. Kita lihat bagaimana mereka di film berani membiayai sendiri. Jadi memang generasi baru sekarang tidak omong kosong. Mereka eksis di bidang teater, juga puisi.

Mengapa belum muncul kelompok teater baru sekelas Bengkel Teater atau Teater Koma?

Karena memang membiayai teater dari teater itu sendiri tidak bisa. Bengkel Teater juga tetap belum bisa membiayai dirinya. Kalaupun ada rezeki, itu rezeki nomplok, untuk ditabung tidak memadai. Akhirnya rezeki itu untuk membeli fasilitas yang sifatnya konsumtif.

Belum lama ini Anda terlihat menyokong jago Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam pemilihan Wali Kota Depok. Mulai mencoba berpolitik praktis?

Bukan. Saya terlibat dalam konteks membela orang yang dianiaya. Kalau dari Golkar teraniaya dan diperlakukan tidak adil pun akan saya bela. Apakah saya terus masuk Golkar? Tidak juga. Saya bahkan punya kritik yang penting pada PKS. Setelah ratingnya tinggi, kok tidak dipakai memperjuangkan fasilitas rakyat untuk merdeka, terus apa reaksinya pada ketatanegaraan kita yang kacau ini? Tidak ada. Seharusnya pidato saya semalam (di TIM) itu diucapkan oleh politisi. n

W.S. Rendra

Lahir:

  • Solo, 7 November 1935

Agama:

  • Islam

Pendidikan:

  • Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta American Academy of Dramatic Arts, New York, AS (1967)

Karya drama:

  • Orang-orang di Tikungan Jalan
  • Oedipus Rex
  • Kasidah Barzanji
  • Menunggu Godot
  • Hamlet
  • Sobrat, dll.

Karya sajak/puisi:

  • Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
  • Nyanyian Angsa
  • Pesan Pencopet kepada Pacarnya
  • Balada Orang-Orang Tercinta
  • Potret Pembangunan dalam Puisi
  • Perjuangan Suku Naga
  • Blues untuk Bonie.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus