Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Oasis di Antara yang Instan

Acara dengan ongkos minim, tapi membutuhkan kerja keras. Napak Tilas mencoba menghidupkan kembali sejarah.

14 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekarang gedung di Jakarta Kota itu dikenal sebagai Museum Fatahillah. Empat abad silam, ia gedung dengan aneka fungsi: balai kota atau Standhuis, pengadilan, penjara bawah tanah. Dari sana, mengalirlah kisah cinta Sarah Specx, kisah tragis pada tahun 1629.

Kamera dan narasi seorang lelaki memperkenalkan kita pada seorang serdadu remaja 16 tahun, penghuni benteng VOC, Peter Jacob. Ya, Peter yang ketahuan menyelinap ke dalam kamar kekasihnya, Sarah Specx, yang tinggal di kastil milik gubernur jenderal, Jan Pieterzon Coen. Peter diadili, dijebloskan ke penjara, dan akhirnya dihukum pancung. Sedangkan Sarah dihukum cambuk (Alwi Shahab, pemerhati budaya Betawi, menyebutkan versi lain: Sarah dipermalukan, ditelanjangi).

Eksekusi diadakan di halaman Standhuis. Sebelum pedang memisahkan kepala dari badannya, dalam acara Napak Tilas di SCTV, kita dapat menyaksikan mata pemuda itu menatap para petinggi VOC yang berdiri, beku, di balkon. Dalam Catatan Valentine, Oud Batavia di museum itu, kita dapat menemukan catatan hukum kasus ini. Tapi dalam Napak Tilas Sabtu pekan lalu, penonton dapat menyaksikan tatapan mata anak muda yang mendekati ajal itu mengandung tanya.

Ada 14 ekspatriat—12 Belanda, dua Rumania—memerankan tokoh masa silam dalam ilustrasi film dokumenter Napak Tilas di SCTV. Permainan mereka, kecuali untuk pemeran Sarah, jauh dari sempurna. Tapi Riwayat Gedoeng Bitjara: Perkara Sarah Specx di atas mencoba menghidupkan kembali (baca: rekonstruksi) peristiwa empat abad silam.

Dibandingkan dengan berbagai acara infotainmen instan kini, Napak Tilas memang lebih serius. Menurut Ivan Haris Prikurnia, produser acara itu, pengerjaan Riwayat Gedoeng Bitjara makan waktu empat bulan. Setting empat abad silam berarti Coen muncul dengan wardrobe berkerah rempel tumpuk, Sarah dan Peter dengan gaun dan baju masa itu, dan serdadu VOC dengan seragamnya. Semua dirancang khusus Jazz Pasay, desainer lokal yang juga seorang dokter.

Khusus Riwayat Gedoeng Bitjara, rekonstruksi Ivan banyak bersandar pada dua narasumber: Adolf Heuken, penulis buku History Sites of Jakarta, dan Anne Handojo, penulis-penerjemah buku dan naskah VOC. Keduanya menerjemahkan bahasa Belanda tempo dulu, yang tidak dikuasai anak muda fasih Belanda sekalipun.

Napak Tilas mencoba menggali cerita unik masa silam. Ada Pagi Itu Empat Lima tentang proklamasi 1945 di Rengasdengklok, kisah Pelayaran Cheng Ho, cerita M.H. Thamrin, kerukunan beragama di kampung Sipirok, Peperangan Medan Area, Manusia Harimau, atau Mesjid Luar Batang (masjid pertama di Jakarta).

Pagi Itu Empat Lima menuturkan bagaimana kesalnya tokoh Mohammad Hatta ketika diajak tamasya ke Rengasdengklok. Para pemuda radikal tidak sabar menanti proklamasi Soekarno-Hatta, menculiknya. Ada tokoh ”Soekarno”, ”Hatta”, dan ”Fatmawati” yang dimainkan aktor pemula. Ada rumah Babah Djiauw Kie Siong di Rengasdengklok yang jadi lokasi penting, tempat Bung Karno menyanggupi permintaan para pemuda: proklamasi 17 Agustus 1945.

Rekonstruksinya tak mudah. Sejauh ini hanya tempat teks proklamasi yang masih terpelihara: di Jalan Imam Bonjol No. 1. Rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur tak berbekas, kecuali garis-garis fondasinya. Sisa-sisa tawuran dan pecandu overdosis didapati di lokasi ini—bandingkan dengan tempat akta kelahiran bangsa Amerika di Arlington, yang dijaga tentara 24 jam. Hal yang sama menimpa setting Rengasdengklok.

Kini, dengan dana per episode Rp 15 juta, kru harus bekerja keras. Produk dibatasi 13 episode, dan para kru harus banyak merangkap peran. Ivan sendiri mengaku merangkap kamerawan pendukung, tukang masak, sopir, dan pemain figuran. Napak Tilas berhadapan langsung dengan aneka acara hiburan, bahkan tayangan ”Warkop”. Ia belum kalah, tapi hanya menyingkir dari jam tayang 13.30 dan 14.00 menjadi 23.30.

Evieta Fadjar P.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus