Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Ketua LMKN Dharma Oratmangun menyebutkan pengguna karya seni, termasuk lagu, belum patuh membayar royalti.
Ia mendorong seniman melek hukum ihwal hak cipta dan royalti.
Dharma mengusulkan polisi baru bisa mengeluarkan izin keramaian konser setelah penyelenggara membereskan royalti lagu di LMKN.
DI lantai enam gedung Palma One, Setiabudi, Jakarta Selatan, Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Dharma Oratmangun kini berkantor. Institusi yang bertugas mengumpulkan royalti lagu itu sebelumnya menempati gedung Sentra Mulia—dulu kompleks Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, juga di kawasan Setiabudi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruangan seluas sekitar setengah lapangan basket itu disewa sejak Kementerian Hukum dipecah menjadi tiga kementerian pada Oktober 2024. Dharma, penyanyi dan pencipta lagu berusia 65 tahun, membawa wartawan Tempo, Raymundus Rikang dan Yosea Arga Pramudita, serta fotografer Muhammad Taufan Rengganis menengok kantor yang tak jembar itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menunjukkan ruangan komisioner berukuran 3 x 3 meter yang isinya satu meja kayu. “Ruangan ini untuk sepuluh komisioner LMKN,” katanya. Dharma kemudian mengajak wawancara dilakukan di ruang rapat dengan televisi layar datar raksasa yang terpacak pada tiang besi.
Air muka Dharma semarak ketika mula-mula disinggung mengenai susur galur famili Oratmangun dari Kepulauan Tanimbar, Maluku. Dharma bercerita, ia adalah adik kandung Duta Besar Indonesia untuk Cina Djauhari Oratmangun. Gelandang tim nasional Indonesia Ragnar Oratmangoen adalah kemenakan Dharma dari garis kakek meski keduanya belum pernah bersemuka. “Ragnar itu sudah cinta Indonesia sejak kecil,” tuturnya pada Rabu, 12 Februari 2025.
Dharma lantas menjelaskan polemik royalti lagu yang belakangan riuh di media. Penyanyi Agnes Monica Muljoto—kondang dengan nama panggung Agnez Mo—kini menghadapi gugatan komposer Arie Sapta Hernawan atau Ari Bias.
Ari melaporkan Agnes ke aparat hukum karena diduga belum membayar royalti setelah menyanyikan lagu Bilang Saja yang diciptakan Ari. Dharma mengirim komisioner LMKN Bidang Kolektif Royalti dan Lisensi, Johnny William Maukar, sebagai saksi dalam persidangan Agnes dan Ari.
Nada bicara Dharma kerap meninggi saat diskusi menyinggung kepatuhan pebisnis dalam membayar royalti lagi. Ia mengklaim prosedur mengurus royalti tak rumit karena lembaganya sudah membuat sistem digital yang bisa mempercepat pendaftaran izin penggunaan lagu. “Kepatuhan hukum pengguna karya masih rendah di sini,” kata Dharma.
Di ujung wawancara, Dharma mengenang waktu kebersamaannya dengan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia menjadi produser sekaligus penyanyi dalam album perdana Yudhoyono berjudul Rinduku Padamu. Komunikasi keduanya masih terjalin sampai sekarang. “Beliau masih sempat mengulik lagu di studio ketika menjadi presiden,” ujarnya.
Selama wawancara selama lebih satu jam itu Dharma didampingi Johnny William Maukar. Johnny beberapa kali ikut menjawab pertanyaan, khususnya soal implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Dharma Oratmangun di Kantor LMKN, Jakarta, 12 Februari 2025. TEMPO/M Taufan Rengganis
Mengapa antar-seniman selalu ribut soal royalti? Yang terakhir antara Agnez Mo dan Ari Bias.
Yang kita bicarakan di sini, royalti di bidang performing rights, hak mengumumkan. Performing rights ada 14 komponen, termasuk hotel, karaoke, restoran, pub, tempat rekreasi, pesawat, dan kereta api. Intinya, polemik ini terjadi karena pengguna tidak membayar royalti sehingga terjadi kasus tuntut-menuntut. Kata kuncinya, tidak membayar royalti.
Siapa yang tidak membayar royalti?
Pengguna. Sikap Lembaga Manajemen Kolektif Nasional menjalankan undang-undang dan regulasi yang ada. Undang-undang itu jelas-jelas sudah menuliskannya. Kemudian, ada regulasinya, bahkan sampai besaran tarif. LMKN ini adalah produk Pasal 89 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. LMKN dapat menarik besaran royalti dari pihak yang sudah menjadi anggota atau memberikan kuasa ke lembaga manajemen kolektif lain.
Pengguna tak mau keuntungannya berkurang karena membayar royalti?
Hak cipta itu hak eksklusif. Seorang pencipta lagu atau pemilik hak cipta itu sifatnya deklaratif seperti dalam undang-undang. Ketika dia mencipta lagu pertama kali dan melantunkan nadanya, seniman itu mendapat hak cipta secara otomatis. Baru nanti kemudian dia daftarkan pencatatannya. Masalahnya hari ini sederhana sekali, yakni pengguna tak taat hukum.
Siapa yang dimaksudkan dengan pengguna?
Menurut undang-undang, pengguna adalah setiap orang, termasuk perorangan atau badan usaha, yang bisa menggunakan karya ciptaan secara komersial dalam pertunjukan. Mereka bisa menggunakan karya tanpa meminta izin lebih dulu kepada pencipta dengan membayar royalti melalui lembaga manajemen kolektif.
Pengguna tinggal mengurus ke LMKN?
LMKN yang akan menyalurkan royalti kepada pemberi kuasa melalui LMK.
Seberapa banyak pengguna yang tak patuh?
Sangat amat banyak. Yang pasti, mereka tidak patuh hukum. Apa pun alasannya tidak bisa dibenarkan. Pengusaha tak akan bangkrut hanya karena membayar royalti. Semua pihak yang membayar royalti selama ini baik-baik saja bisnisnya.
Potensi royalti terbesar di sektor apa?
Bisnis karaoke. Banyak sekali yang belum membayar. Geram sekali saya. Padahal kalau dihitung, membayar parkir di tempat mereka lebih besar daripada royalti.
Dharma OratmangunTempat dan tanggal lahir:
Jabatan publik:
|
Tak banyak seniman yang melek hukum sehingga tersandung masalah royalti belakangan. Apa pendapat Anda?
Saya tak mau menyalahkan rekan-rekan seniman untuk kasus ini.
Ada saran?
Seniman yang masuk industri wajib mempelajari hukum mengenai royalti dan hak cipta. Jika memang persoalannya rumit dan seniman hanya ingin berfokus pada keterampilan berkesenian, silakan manajernya yang mempelajari. Dengan demikian, mereka tak terkecoh saat mengurus royalti ini. Seniman harus paham aturan dalam industri ini.
Seniman tak begitu peduli dengan aturan royalti karena nilainya masih terlalu kecil dibanding honor pentas?
Saya setuju dalam hal ini karena banyak pengguna yang bandel tidak membayar royalti.
Bagaimana implementasi pembayaran royalti pertunjukan di luar negeri?
Semua patuh terhadap hukum. Di Indonesia, penegakan hukum itu belum ideal. Saya pernah hendak menyanyikan lagu saya sendiri di Belanda, tapi saya mesti mengurus juga izinnya ke lembaga manajemen kolektif di sana. Panggung itu masih disegel kalau perkara royalti belum beres. Setelah penyelenggara membayar royaltinya, izin baru bisa keluar.
Ekosistem hak cipta di Indonesia belum ideal...
Terutama kepatuhan hukum pengguna yang masih belum ideal. Pengguna yang membayar dari seluruh Indonesia tak sampai 10 persen. Tahun lalu, kami bisa menghimpun sekitar Rp 77 miliar. Padahal kami sudah berjibaku habis-habisan dan itu menjadi nilai tertinggi yang pernah dihimpun LMKN sejak lembaga ini berdiri.
Ada ide untuk mengoptimalkan penerimaan royalti?
Kerja sama dengan polisi bisa menjadi terobosan. Lisensi dan royalti diurus ketika penyelenggara pertunjukan menyelesaikan izin keramaian ke polisi. Kegiatan yang menggunakan musik sebagai materi acara wajib melampirkan lisensi dari LMKN. Izin keramaian jangan dikeluarkan jika tak ada lisensi lagu yang akan dipakai. Mekanismenya mudah, tinggal masuk ke aplikasi LMKN, membayar setoran, lalu lisensi digitalnya keluar. Namun banyak pihak yang masih dablek.
Pencipta lagu sering tidak punya daya tawar dengan produser. Anda punya saran masalah ini?
Makanya, saya bilang agar mereka melek hukum. Tapi generasi baru ini sudah hebat. Kasus seperti ini terjadi dulu. Pencipta berpikir yang penting dapat duit. Tapi sekarang dunia sudah berubah, enggak boleh cengeng lagi dengan narasi seperti itu. Cara merawat talenta yang dimiliki para seniman adalah menambah pengetahuan soal hukum di industri ini. Jangan mau dieksploitasi sembarangan.
Namun batas antara penyanyi, pencipta, dan produser sekarang makin buram di tengah teknologi musik serta digital yang berkembang pesat.
Industri musik itu sekarang padat kreativitas. Kalau dulu padat modal, sekarang siapa saja bisa membuat karya.
Apa saran Anda untuk seniman muda agar haknya terpenuhi?
Pertama, harus produktif untuk menghadirkan karya, berlomba untuk produktif, dan jangan gaptek. Revolusi teknologi berjalan pesat selaras dengan pembentukan peradaban baru. Orang yang punya kemampuan mencipta lagu dan bernyanyi itu adalah orang cerdas, jadi jangan kalah dengan teknologi. Jika tekun mengurus semuanya, dia bisa mendapat hak cipta.
Sebagai penyanyi lawas, Anda pernah menghadapi pembajakan kaset yang masif. Apa pelajaran penting dari peristiwa lampau itu?
Kami waktu itu dari Glodok, Jakarta Barat. Sebutannya seniman Glodok. Pelajaran dari peristiwa itu adalah berjuang bersama-sama dengan membentuk komunitas. Dengan demikian, perjuangannya tidak parsial. Kami berjuang secara kolektif. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo