Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIBA-tiba nama Soetedjo Yuwo-no, 59 tahun, menjadi perbincang-an nasional. Dua pekan la-lu, Sek-retaris Menteri Koordi-nator Bidang Kesejahteraan Rakyat- ini menyatakan bahwa sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat per-nah- meng-hubunginya, menanyakan ke-lanjut-an proposal bencana yang masuk dari sejumlah daerah. Uniknya, ada anggota Dewan yang ”berjuang” untuk daerah yang bukan basis pemilih-nya. Tak pelak, isu proposal bodong dan calo proposal pun berhamburan di media massa. ”Bapak saya di Semarang sampai ketakutan mendengar berita ini,” kata Soetedjo. Ketua DPR Agung Laksono bahkan sempat bersuara keras akan menuntut balik Soetedjo jika ia tidak dapat membuktikan tudingan itu.
Pada Rabu lalu, baku tuding antara pemerintah dan parlemen untuk sementara redup setelah Menteri Aburizal Bakrie bertandang ke Senayan dan bertemu Panitia Anggaran. ”Ke d-epan, kami sepakat untuk memperbaiki sistem, antara lain dengan memper-timbangkan penggunaan UYHD (Uang Yang Harus Dipertanggungjawabkan—Red.),” katanya kepada wartawan Tempo Akmal Nasery Basral, Cahyo Ju-naedy, Wahyu Dhyatmika, Kurie Suditomo, dan fotografer Cheppy A. Muchlis, yang menemuinya pekan lalu dalam dua kesempatan berbeda.
Mengapa banyak proposal yang tidak menggunakan kop asli, tanda tangan asli bupati, dan stempel resmi? Apakah belum cukup sosialisasi ke daerah sebelum-nya?
Ini memang masih rancu. Pertama,- ka-rena penanganan bencana tidak se-penuhnya berada di tangan kantor Men-te-ri Koordinator Kesejahteraan Rakyat tapi juga melibatkan Badan Ko-ordinasi Nasional (Bakornas) untuk- tang-gap da-rurat. Sedangkan kantor Men-teri Ko-or-dinator Kesejahteraan Rak-yat hanya menangani soal pascabencana. Masalah ini diperparah dengan undang-undang tentang bencana yang belum rampung.
Jadi, sampai sekarang belum semua bupati tahu cara pembuatan proposal yang diharapkan kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat?
Sekarang sudah. Kemarin kan (7-8 Agustus—Red.) Menteri Koordinator Ke-sejahteraan Rakyat bersama Menteri Dalam Negeri mengadakan pertemuan dengan para bupati. Ini langkah awal menyebarkan informasi seputar bencana alam secara lengkap.
Apakah setiap proposal cukup ditandatangani bupati tanpa persetujuan -gubernur sebagai atasan mereka?
Ada baiknya begitu. Tapi hal seperti ini dapat memperlambat proses pe-nanganan bencana. Dalam pertemuan de-ngan Panitia Anggaran DPR kemarin- (Rabu, 9 Agustus—Red.), diusulkan pe-ng-gunaan sistem UYHD. Sistem ini da-pat mempercepat penanganan bencana di daerah karena anggaran su-dah- ber-ada di daerah masing-masing dan- dapat langsung digunakan. Baru se-telah itu dibuat pertanggungjawab-an,- sehingga penanganan bencana dapat berjalan cepat dan taktis. Kalau se-perti sekarang, dana cair pada Septem-ber, padahal bencana terjadi Januari. Ini kedaluwarsa.
Dari enam proposal yang Anda kembalikan, adakah respons dari wali kota atau bupati bersangkutan?
Ada, dari Cimahi dan Karanganyar. Mereka mengubah proposalnya. Tanda tangan bupati yang tadinya fotokopi diubah menjadi asli, begitu juga kop suratnya. Dan terakhir ada perubahan jumlah usulan dana yang dilampirkan.
[Enam daerah yang proposalnya di-kembalikan berasal dari Cimahi,- Pa-lembang, Karanganyar, Bangli, Sum-bawa Barat, dan Rejang Lebong, dengan alasan kop surat tidak asli, tanda ta-ngan bupati tidak asli, dan stempel tidak asli—Red.]
Dari hasil penelusuran kami di Purba-lingga, ditemukan jumlah bantuan yang diharapkan Rp 11 miliar, tapi setelah di Jakarta berlipat menjadi Rp 19 miliar?
Dalam pertemuan dengan DPR kemarin, anggota Dewan mengakui ada-nya percaloan. Tapi ini dilakukan oleh oknum di luar DPR. Saya sendiri melihat banyak oknum seperti ini berke-liaran di kantor. Mereka bukan pegawai Menteri Koordinator, tapi sering ada ketika kami menggelar rapat internal. Jumlahnya dua orang.
Mengapa bisa berkeliaran di sana?
Lho, meski di depan ada petugas ke-a-manan, harus mengisi buku tamu, pa-kai tanda pengenal, dan mengaku mau- bertemu kepala bagian ini-itu, -pro-sedur- itu kan mudah ditembus. Ternyata belakangan, setelah kami saling me-ngecek, ternyata tidak ada kepala bagian yang ditemui oleh orang itu. Ini terjadi beberapa kali.
Dalam pertemuan dengan para bu-pati itu, apa lagi masukan mereka?
Keluhan umum adalah pencairan da-na yang masih kurang cepat. Tapi, jika nanti sistem UYHD dipakai, keluhan seperti ini tidak ada lagi.
Sistem anggaran UYHB yang langsung dapat digunakan bukankah semakin memperbesar peluang penyalah-gunaan?
Memang. Tapi kita tidak dapat me-nafikan bahwa semua langkah memiliki risiko, sekaligus bagian dari pembe-lajaran. Jika situasinya se-per-ti itu, semua pihak harus terlibat- da-lam kontrol peng-gunaan dana. Saya kira langkah yang paling efektif dalam mengawasi proyek pemerintah adalah melibatkan masyarakat seba-nyak mungkin. Audit oleh pemerintah daerah- ini juga harus- dilakukan secara transparan. Audit ini- bisa dilakukan oleh BPKP, BPK, au-ditor independen. Jadi harus berani melakukan terobos-an. Kalau dari awal ki-ta ra percoyo -(tidak percaya), ya kapan majunya?
Berapa sih jumlah yang dianggarkan pe-merintah untuk penanganan benca-na 2006?
Awalnya kita hanya mendapat alokasi dana Rp 500 miliar dari APBN 2006, padahal tahun sebelumnya Rp 2 triliun. Setelah kita rekapitulisasi usulan anggaran, DPR setuju menambah sebesar Rp 2,5 triliun. Rinciannya Rp 1 triliun untuk penanganan bencana di 116 kabupaten. Untuk penanganan bencana tsunami di Pantai Selatan dan Sinjai dialokasikan Rp 500 miliar. Lalu Rp 300 miliar untuk pembelian alat da-rurat melalui Departemen Sosial, Rp 700 miliar sebagai cadangan penang-gulang-an jika terjadi bencana susulan pada bulan Agustus-Desember.
Bagaimana dengan usulan meng-iklan-kan lewat media massa soal besaran dana bencana yang diberikan ke daerah?
Saya pikir ini terobosan bagus. Lang-kah ini akan memberikan dua keun-tung-an. Pertama akan menumbuhkan- ke-sa-daran serta kontrol yang ada dalam masyarakat. Kedua, memberikan pe-luang bagi kabupaten-kabupa-ten tetang-ga untuk ikut menjaga pe-laksana-an penanganan bencana. Sehingga- kabupa-ten-kabupaten akan saling mengingatkan, misalnya, ”Lho kok, ben-cana di daerah A dengan kerusakan tak parah mendapat dana besar? Sedangkan daerah lain yang lebih parah mendapat dana bantuan lebih kecil?”
Lalu?
Langkah ini juga dapat membantu ke-kurangan pemerintah pusat dalam menjangkau daerah bencana yang ter-jadi di pelosok. Hingga saat ini pemerin-tah pusat juga memiliki kendala sehingga pengecekan daerah bencana ti-dak dapat dilakukan secara menye-luruh, melainkan secara selektif hanya di daerah-daerah tertentu. Karena itu tak tertutup kemungkinan pemerintah memberikan alokasi dana bencana yang salah. Jika jumlah dana yang diberikan diiklankan terbuka, ini akan menjadi pedoman yang bagus.
Bagaimana respons daerah atas bantuan dari pusat?
Respons daerah lambat, karena pe-me-rintah daerah yang notabene sipil tidak punya kemampuan siaga sesigap TNI-Polri. Ini kelemahan yang saya lihat terjadi di semua departemen.
Masa mendatang proposal ke Men-teri Koordinator Kesejahteraan Rakyat masih bisa dititipkan lewat pihak lain?
Orang kita ini maunya baik tapi ti-dak- efisien. Contohnya, mereka mengi-rim- surat dengan tembusan sederet instansi. Pihak yang menjadi tujuan uta-ma sering tidak mengetahui, karena mungkin suratnya tidak sampai atau tidak menjadi prioritas. Sedangkan yang menerima tembusan terkadang hanya menjadikan surat itu berkas kosong. -Na-manya juga tembusan. Problem ini perlu dibenahi secara administratif.
Agar lebih efisien, surat ini langsung saja dikirim ke departemen yang dituju- tanpa perlu tembusan. Contohnya, lantaran menyangkut uang, pengirim su-rat- mengalamatkan proposalnya ke Departemen Keuangan. Padahal, untuk bencana, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang bertanggung jawab. Alhasil, surat itu nanti akan dikirim ulang ke Menteri Koordinator oleh Departemen Keuangan. Ini memperpanjang jalur birokrasi .
Bagaimana jika ada bupati yang me-ni-tipkan proposal melalui kenalannya di- kantor Menteri Koordinator Kesejah-teraan Rakyat?
Tidak bisa. Dari dulu hal ini tidak diperkenankan. Selain itu, surat ini harus dikeluarkan oleh bupati secara resmi. Pertimbangannya, bupati adalah ke-pala daerah sekaligus ketua satuan pelaksana yang bertanggung jawab- atas penanganan bencana. Jadi tidak bisa diwakilkan oleh yang lain. Soal pengiriman proposal tidak harus dilakukan dari tangan ke tangan, tapi bisa melalui pos. Yang penting surat asli. Tapi prosedur panjang ini tidak perlu lagi jika Indonesia mengguna-kan sistem anggaran UYHD. Tidak ada proposal-proposalan. Karena uangnya- sudah mereka pegang, mereka kerja-kan sendiri, tinggal berikan laporan secepatnya untuk diaudit.
Ada tudingan dana penanggulangan- bencana ini dipakai kantor Menteri Ko-ordinator Kesejahteraan Rakyat untuk persiapan kampanye Partai Golkar?
Waduh, tidak benar. Kita tidak pu-nya duit. Anggaran operasional kita -untuk tahun ini hanya Rp 50 mi-liar. -Dana se-besar itu sudah babak-belur. Sedangkan dana penanggulangan bencana tidak ada yang mengendap ke kantor ini. Dana rekapitulisasi ang-garan bencana alam yang telah disetujui DPR pun tidak mengendap di kantor ini. Jika (proposal bantuan) disetujui, uangnya langsung didistribusikan ke kabupa-ten dari Departemen Keuangan. Kita hanya pintu silang, agar lalu lintas tidak tumpang tindih. Soal bantuan tidak ada urusan dengan Golkar. Se-perti juga penyaluran bantuan bencana tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan daerah itu dipimpin bupati dari PDIP atau PKB, dan seterusnya.
Tentang tujuh anggota Dewan yang di-duga terlibat dalam percaloan dana pe-nanggulangan bencana ini, bagaimana rencana pemerintah selanjutnya?
Saya tidak mau ngomong itu lagi. Saya tidak mau kasus ini berlarut dan menjadi konsumsi politik. Apalagi kemarin hal ini sudah dituntaskan oleh Pak Aburizal Bakrie di DPR. Saya sudah sepakat dengan Pak Rudiyanto Tjen (dari Panitia Anggaran DPR), ”Ka-lau saya yang salah, saya minta maaf. Kalau Dewan yang keliru, mereka juga mau mengakui.”
Apa kesalahan pemerintah dalam hal ini?
DPR bilang, mengapa ada daerah yang tidak terkena bencana tapi mun-cul dalam daftar pengirim proposal yang dikeluarkan pemerintah. Saya bilang, semua nama (daerah) yang tertulis itu memang belum semuanya dive-rifi-kasi, baru sekadar rekap saja, berdasar-kan proposal yang masuk.
Soetedjo Yuwono Tempat, tanggal lahir:Semarang, 7 Maret 1947 Jabatan:Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Istri: Endang Purwanti Anak: Tiga Pendidikan:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo