Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dulu dia dikenal sebagai pengusaha bermodal jaket kuning. Terjun ke dunia usaha setelah menjadi aktivis mahasiswa pada 1960-an, bisnis Sofjan Wanandi segera menggurita. Dia antara lain memiliki pabrik lem, suku cadang kendaraan bermotor, dan aki yang berada di dalam maupun luar negeri.
Setelah lama berada di belakang layar, sejak lima tahun lalu Sofjan tampil ke depan memimpin Asosiasi Pengusaha Indonesia alias Apindo yang sebelumnya tidur lelap. Tak seperti kebanyakan pengusaha yang low profile, Sofjan membawa gaya baru dalam memimpin Apindo. Dia bergerak lincah menjalin kontak dengan aktivis buruh ataupun pejabat pemerintah, membicarakan solusi terbaik dalam hubungan industrial.
Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan pengusaha-pekerja di Indonesia seperti kucing dan tikus. Pengusaha berhati-hati terhadap buruh karena khawatir mendapat sanksi sesuai dengan peraturan. Mereka memakai lebih banyak mesin dan mengurangi tenaga kerja. Demi menghindari membayar pesangon, mereka menggunakan pekerja kontrak dan outsourcing. Situasi itu sesungguhnya membuat kedua belah pihak merugi. Buruh tak memperoleh kepastian kerja. Pengusaha harus melepas karyawannya tiap dua tahun padahal telah susah payah melatih.
Sofjan berusaha menjembatani perbedaan itu dengan memelopori terjalinnya kesepakatan bipartit antara pengusaha dan pekerja. Kesepakatan itu intinya mengatur agar perselisihan di antara keduanya terlebih dulu diselesaikan lewat perundingan tanpa melibatkan pihak luar. Sebuah kesepakatan yang didukung penuh Menteri Tenaga Kerja Erman Soeparno.
Rabu pekan lalu, Sofjan menerima Nugroho Dewanto, M. Taufiqurrahman, Grace S. Gandhi, dan Munawaroh dari Tempo di kantor Apindo, Gedung GRI, Jakarta Selatan. Sebuah buket anggrek bulan ucapan selamat atas terpilihnya kembali sebagai Ketua Apindo menghiasi meja kerjanya. ”Ini bakti terakhir untuk bangsa sebelum aku mati,” ujarnya. Di usia ke-67, Sofjan tak berubah. Dia masih menggebu-gebu dan bersuara lantang menjelaskan kondisi dunia usaha. Berikut ini petikannya.
Ekonomi dunia mengalami kelesuan karena berbagai masalah pasar modal dan properti di Amerika Serikat. Apa dampaknya bagi dunia usaha di Indonesia?
Yang paling menakutkan bila ekonomi Amerika lesu adalah larinya barang produksi Cina. Sekarang ini pasar ekspor terbesar produk Cina adalah ke Amerika. Terus ke mana Cina akan jual barangnya? Salah satunya ke Indonesia, yang rakyatnya 220 juta. Tanpa Cina melakukan dumping saja kita sudah kalah bersaing. Produk Cina itu sudah menguasai pasar di Mangga Dua, Jakarta, sampai outlet di Bandung. Sementara itu, Indonesia sudah tidak bisa menjual barang ke luar negeri karena begitu hebatnya persaingan. Jadi, untuk ekspor susah, dalam negeri juga sulit karena Cina menyerbu ke sini.
Pengusaha kita mulai waswas?
Sekarang pengusaha ketar-ketir. Kontrak-kontrak yang tadinya bisa satu tahun, sekarang paling banyak tiga bulan. Semua penjualan produk manufaktur turun. Nanti yang paling susah di Jawa, karena semua pabrik manufaktur ada di sini. Di luar Jawa, kekayaan alam masih berlimpah dan penduduknya sedikit.
Dengan begitu, angka pengangguran akan naik?
Pasti naik. Sekarang ini pengusaha kecil-menengah yang paling kena. Perusahaan tahu-tempe sudah merumahkan karyawan. Pengusaha besar baru akan merasakan enam bulan lagi karena masih punya daya tahan. Mereka masih punya langganan dan ada kontrak-kontrak lama. Sekarang ini yang kecil-kecil sudah tutup. Padahal waktu krisis ekonomi dulu, perusahaan kecil ini jadi bumper. Tahun lalu penjualan sepeda motor hanya naik enam persen. Rakyat kecil sudah mulai enggak bisa beli sepeda motor. Orang kaya masih bisa beli mobil.
Apa yang bisa dilakukan untuk menciptakan lapangan kerja baru?
Kita harus menarik investasi bersifat labor intensive yang menyerap banyak tenaga kerja. Sepuluh tahun setelah krisis, tidak ada investor yang masuk ke sektor ini. Investor cuma masuk ke sektor padat modal atau berbasis sumber daya alam. Padahal satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah pengangguran adalah dengan industri padat karya yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.
Industri padat karya terutama masih di garmen?
Elektronik, garmen dan tekstil, sepatu, mainan anak-anak, serta consumer goods. Ini yang paling besar yang bisa menampung puluhan ribu tenaga kerja.
Bukankah tahun lalu realisasi investasi mencatat rekor?
Naik sedikit. Tapi terutama di sektor minyak kelapa sawit dan batu bara. Batu bara naiknya malah 100 persen. Tidak ada investasi di manufacturing. Investasi manufacturing yang terakhir cuma ekspansi dari pabrik yang sudah ada dan bukan investasi baru, yaitu Toyota, Honda, dan Daihatsu. Pendeknya, pabrik mobil dan sepeda motor. Pabrik elektronik dari Korea juga ekspansi, karena mereka sudah menggantikan posisi Jepang, khususnya Samsung dan LG.
Situasi itu yang membuat penyerapan tenaga kerja untuk tiap satu persen pertumbuhan ekonomi tak sebanyak di masa lalu?
Sekarang ini pertumbuhan ekonomi satu persen cuma menambah lapangan kerja untuk 150-200 ribu orang, karena investasi hanya masuk ke sektor padat modal atau berbasis sumber daya alam. Kalau di sektor padat karya bisa menyerap 400 ribu tenaga kerja.
Menarik investor asing kan urusan pemerintah?
Begini, ya, kita tidak mungkin lagi menyerahkan nasib kepada pemerintah. Kita mesti mencari terobosan apa yang bisa dilakukan dan lakukan dari sekarang. Sebab, kalau terus menunggu, enggak bakal jalan.
Industri padat karya kita juga masih direpoti urusan perburuhan.…
Dalam sejarahnya, serikat pekerja di Indonesia selalu dipakai untuk kepentingan sosial politik. Paradigma ini harus diubah. Serikat pekerja harus betul-betul memperjuangkan kepentingan pekerja. Mereka harus ubah pandangan dari perjuangan politik ke perjuangan ekonomi, sehingga pengusaha harus menjadi mitra buruh. Dunia sudah berubah. Kalau kita masih terus berkelahi, kita enggak akan pernah bisa membangun bangsa ini.
Sampai sekarang revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum selesai?
Ya, karena pemerintah takut. Setelah buruh ribut, pemerintah mengatakan revisi setelah pemilu saja. Makanya, kalau enggak ambil terobosan, pasti enggak akan jadi apa-apa. Dulu undang-undang itu lahir tanpa sosialisasi. Pemerintah bikin konsep tanpa bicara sama sekali dengan pengusaha. Waktu itu kita juga dibohongi.
Maksudnya?
Tadinya pengusaha dan buruh sudah sepakat banyak hal, termasuk masalah pesangon. Disepakati pesangon akan dibayar tujuh kali gaji, tapi waktu dibawa ke DPR, Menteri Tenaga Kerja mengubah undang-undang itu dengan menambah jumlah pesangon sampai puluhan kali gaji. Kami kecolongan karena percaya saja dan tidak mengikuti lagi sampai ke parlemen.
Mengapa diubah seperti itu?
Karena waktu itu Jacob Nuwa Wea juga masih menjadi ketua serikat buruh. Dia ingin menyenangkan anggotanya.
Sejak terbitnya undang-undang itu, hubungan pengusaha dan buruh tak pernah akur?
Pelan-pelan pengusaha makin mengurangi buruh karena tidak mau pusing dengan undang-undang. Pengusaha memakai lebih banyak mesin daripada buruh. Lantaran tidak mau bayar pesangon tinggi, mereka pakai pekerja kontrak. Outsourcing semua. Jadi semua pengusaha main kucing-kucingan. Padahal, kalau outsourcing, pengusaha sebenarnya juga rugi. Sudah dilatih susah-susah, dibiayai, tapi tiap dua-tiga tahun harus dilepas karena peraturannya memang begitu.
Pengusaha terpaksa akal-akalan?
Ya, semua akal-akalan untuk menghindari undang-undang yang begitu kaku. Kalau enggak begitu, pengusaha enggak bakalan bisa survive. Kalau tidak outsourcing, suatu saat harus bayar pesangon, enggak sanggup. Bisa bangkrut. Jual semua aset pun tetap tidak mungkin bayar.
Belakangan Anda sering mengadakan pertemuan dengan konfederasi serikat pekerja. Apa yang dibicarakan?
Membicarakan berbagai ekses undang-undang itu. Saya jelaskan pentingnya kemitraan antara pengusaha dan buruh. Apindo melakukan pembicaraan dengan tiga konfederasi yang paling besar, mewakili 36 federasi, termasuk Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Saya coba lobi satu per satu supaya mereka menerima kenyataan. Mereka juga melihat, kok, makin hari makin sedikit anggota serikat pekerja yang bekerja di pabrik. Mereka diberhentikan karena pengusaha enggak mau repot dengan masalah buruh.
Apakah pembicaraan sudah sampai ke rencana revisi undang-undang?
Kita mulai dari Rancangan Undang-Undang Jamsostek yang merupakan inisiatif DPR. Kami bicarakan nantinya keuntungan dana Jamsostek harus kembali untuk buruh. Sekarang ini kan keuntungan Jamsostek masuk ke APBN atau bayar dividen. Kalau bisa duit itu dikembalikan ke buruh, apakah itu untuk perumahan, pendidikan anak, atau kesehatan, sehingga buruh tidak akan berperang lagi dengan pengusaha. Berikutnya kita akan selesaikan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja dan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Terakhir, baru UU Ketenagakerjaan.
Kenapa UU Ketenagakerjaan dibahas terakhir, padahal ini menjadi payung bagi undang-undang yang lain?
Karena ini yang paling ribut. Paling susah karena banyak sekali konflik. Lebih baik yang gampang-gampang dulu yang kita selesaikan karena sudah lebih banyak yang setuju.
Selain soal pesangon, apa yang paling dipermasalahkan dalam UU Ketenagakerjaan?
Sebenarnya ada empat persoalan utama dalam undang-undang itu, yaitu outsourcing, buruh kontrak, pesangon, dan upah minimum. Upah minimum ini yang menentukan pemerintah daerah: bupati, wali kota, atau gubernur yang masuk dalam Dewan Pengupahan. Itu kan gila. Masak nasib buruh dan pengusaha ditentukan oleh bupati? Upah semestinya berdasarkan sektor dan skala usaha. Sekarang enggak bisa lagi dibedakan antara perusahaan besar dan perusahaan kecil.
Bukankah dalam Dewan Pengupahan semua pihak terwakili?
Enggak juga. Dalam Dewan Pengupahan sekarang ini bukan buruh yang mewakili, tapi seenak gubernurnya saja. Tiap mendekati pilkada, upah dinaikkan tinggi-tinggi karena mereka perlu mendapat suara dari buruh.
Bagaimana dengan soal pungli?
Dalam industri padat karya, biaya buruh mencapai 30 persen. Very costly. Bahan baku 40 persen dari total produksi. Yang lain-lain bunga pinjaman. Pungli 5-10 persen.
Bagaimana kualitas buruh kita setelah penerapan UU Ketenagakerjaan, apakah lebih baik?
Buruh kita umumnya kurang terdidik dan terlatih. Karena terlalu dilindungi, mereka juga jadi malas. Enggak usah kerja keras, toh, gajinya tetap. Padahal upah seharusnya berdasarkan produktivitas. Bandingkan dengan Cina yang buruhnya bekerja 50 jam setiap minggu. Vietnam 55 jam. Indonesia cuma 40 jam dan uang lembur di sini begitu mahal. Jam pertama berapa, sudah itu berapa kali bayar. Di Cina dan Vietnam enggak ada uang lembur, tapi penghasilan buruhnya bisa lebih banyak, karena kalau bisa capai target dapat insentif.
Melihat kondisi tenaga kerja Indonesia di Korea dan Taiwan, buruh kita ternyata bisa terampil dan disiplin?
Buruh yang bekerja di Korea atau Taiwan, ya, sama seperti orang sana. Kalau dikasih kesempatan, mereka bisa disiplin. Tapi di sini, karena overprotected, mereka jadi malas.
Apa usul Apindo dalam soal pengupahan?
Ditentukan saja minimal berapa dan tidak disamakan antara usaha besar dan kecil. Upah minimal buruh dari perusahaan kecil misalnya Rp 500 ribu dan buruh pabrik besar Rp 900 ribu.
Jadi tidak perlu sama?
Tidak, dong. Masak perusahaan kecil disamakan dengan Toyota? Masak gaji resepsionis hotel melati dan bintang lima sama? Kan enggak fair? Upah minimum paling rendah itu sebagai plafon. Setelah itu, terserah perusahaan kalau mau membayar lebih banyak. Jangan seperti sekarang. Perusahaan besar-kecil semua sama. Di mana keadilannya?
Bagaimana semestinya sikap pemerintah dalam soal perburuhan?
Dalam situasi sulit ini, kita membutuhkan leadership yang kuat. Sekarang ini wibawa pemerintah tidak ada sama sekali. Bagaimana mau membereskan ekonomi bila ada ketidakpastian seperti ini? Padahal ketidakpastian itu paling ditakuti pengusaha.
Anda kelihatan kecewa, padahal dulu happy dengan pemerintah SBY-JK?
Waktu SBY jadi presiden, Apindo mengusulkan road map yang di dalamnya menyangkut kepastian hukum dan soal keamanan. Juga soal tenaga kerja, pajak, dan otonomi daerah. Presiden menerima dan berjanji menjadikannya program pemerintah. Tapi, dalam pelaksanaannya selalu ada deviasi dan tertinggal semua. Ya, belum tentu SBY yang salah sendirian. Sistem pemerintahan presidentil, tapi pengaruh partai seperti sistem parlementer memang bikin sulit juga.
Bagaimana dengan DPR?
Kalau DPR yang sekarang, no hope.
Mengapa?
Ya, bagaimana... wong berkelahi terus dengan pemerintah. Bagaimana mereka bisa mencari terobosan-terobosan? Undang-Undang Pajak saja enggak selesai. Tiap kali sidang di Pansus atau Panja tidak pernah mencapai kuorum. Anggota yang datang cuma empat-lima orang.
Ini yang disebut masa transisi demokrasi.…
Ya, tapi berapa lama masa transisi ini? Tetangga kita sudah lari, sedangkan kita masih ribut terus.
Sofjan Wanandi
Tempat dan Tanggal Lahir:
- Sawahlunto, Sumatera Barat, 3 Maret 1941
Pendidikan:
Karier:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo