Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Boediono tak ubahnya kartu truf Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika Presiden Yudhoyono hendak mengganti Menteri Perekonomian Aburizal Bakrie pada Desember 2005, nama Boediono yang muncul. Kini, setelah dua calon pemerintah untuk Gubernur Bank Indonesia, Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo dan Wakil Direktur Utama Perusahaan Pengelola Aset Raden Pardede, kandas di DPR, lagi-lagi nama Boediono yang ke permukaan.
Posisi Presiden Yudhoyono memang genting. Jika pada pencalonan kedua ini usul Presiden juga ditolak DPR, Gubernur Bank Indonesia yang lama akan diangkat kembali. Masalahnya, Burhanuddin Abdullah kini berstatus tersangka, sehingga musykil buat dia diangkat kembali. Pilihannya adalah pejabat Bank Indonesia yang masih tersisa. Repotnya, pemerintah tampaknya enggan mengajukan nama calon dari kalangan internal BI.
Maklum, Bank Indonesia memang sedang dalam sorotan. Kasus dugaan suap Bank Indonesia ke DPR masih diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Bukan tidak mungkin, akan ada tersangka lain dari jajaran Dewan Gubernur Bank Indonesia di luar Burhanuddin. Pekan lalu, malah terungkap kasus baru tentang berbagai perjalanan dinas anggota DPR yang dibiayai Bank Indonesia. Karena itu, agak riskan mencalonkan pejabat BI yang sekarang untuk menjadi gubernur bank sentral periode 2008-2013.
Pilihan bagi pemerintah memang jadi terbatas. Dipepet waktu—Burhanuddin akan habis masa jabatannya pada 17 Mei 2008—Yudhoyono mau tak mau harus mengajukan calon yang sulit ditolak DPR. Setelah mendengar pendapat para mantan Gubernur Bank Indonesia, ekonom, pengusaha, dan wartawan senior, Presiden akhirnya memajukan Boediono, meskipun pilihan ini berisiko ada lubang di kabinetnya.
Doktor ekonomi bisnis lulusan Wharton School, Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat ini memang punya pengalaman dan kemampuan mengelola moneter dan fiskal sekaligus. Dia salah satu birokrat dengan pengalaman kerja yang panjang di bawah presiden yang berbeda-beda. Di era Presiden Soeharto, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini menjadi direktur Bank Indonesia (1996-1998) yang mengurusi pengaturan perbankan dan pengendalian moneter.
Kala itu, menurut sumber Tempo, dia adalah penulis pidato nota keuangan yang sangat disukai Soeharto. Setelah diberhentikan dari Bank Indonesia pada 11 Februari 1998, Boediono hanya sempat beberapa bulan tanpa jabatan di pemerintahan. Sebab, tak lama setelah B.J. Habibie menggantikan Soeharto, dia diminta menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (1998-1999).
Kepercayaan serupa juga diterimanya dari Presiden Megawati Soekarnoputri, yang menggantikan Presiden Abdurahman Wahid. Pada era ini, Boediono didapuk sebagai Menteri Keuangan (2001-2004). Ketika itulah kepiawaian pria kalem dan sederhana ini tak terbantahkan dengan keberhasilannya menaklukkan tekanan inflasi dari 13 persen menjadi 5 persen, serta menstabilkan rupiah di bawah Rp 9.000 per dolar AS.
Berkat suksesnya itu, pengagum Mohammad Hatta ini dijuluki a hawk on inflation (burung pemangsa inflasi). Julukan itu tidak salah. Pasalnya, setelah ditunjuk jadi menteri perekonomian, ia juga berhasil meredam inflasi akibat kebijakan kenaikan bahan bakar minyak yang drastis. Ia sukses menurunkan inflasi dari 17 persen menjadi separuhnya. Pada pertengahan 2003, dia juga dinobatkan majalah Business Week sebagai salah satu dari 25 orang paling berpengaruh yang membawa perubahan di Asia.
Meski memiliki persyaratan yang dibutuhkan untuk mengelola bank sentral, toh tidak mudah merayu penggemar joging ini kembali ke kantor lamanya di Jalan Thamrin. Dalam beberapa kesempatan, kentara betul Boediono tidak terlalu enjoy dicalonkan menjadi Gubernur Bank Indonesia. Ketika namanya kembali disebut untuk Gubernur Bank Indonesia setelah Agus dan Raden terpental, dengan halus Boediono berkata, ”Saya lebih senang yang muda-muda dan capable.”
Presiden Yudhoyono pun butuh dua pekan sampai akhirnya bisa mengajukan nama Boediono. Agaknya, karena yakin akan integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas Boediono, Presiden kali ini hanya mengajukan satu calon ke DPR. Pasar pun langsung menyambut positif meski tidak ditandai dengan penguatan kurs rupiah atau meningkatnya indeks saham. ”Untuk mendinginkan ekonomi yang sedang memanas, memang dibutuhkan sosok yang cool dan tenang. Itu ada pada sosok Boediono,” kata Ekonom BNI Tony Prasentiantono.
Penunjukan Boediono ini seakan mengingatkan kita pada Desember 2005, ketika Presiden terdesak merombak tim ekonomi. Kala itu Boediono, yang tengah menikmati berbagai kegiatan kampus di Fakultas Ekonomi UGM, diminta kembali ke kabinet menggantikan Aburizal Bakrie sebagai Menteri Koordinator Perekonomian.
Rayuan Yudhoyono lumayan alot, dan ayah dua anak ini pun tak langsung mengiyakan. Alasan penolakannya pun sederhana. ”Saya ingin menekuni sisi lain kehidupan saya di bidang akademis, yaitu mengajar, membaca, menulis, ikut seminar, dan riset.” (Tempo, edisi 5 Desember 2005). Maka, sejarah pun berulang. Menteri murah senyum ini tak mampu lagi menampik permintaan Presiden.
”Kita memang kekurangan orang seperti Pak Boed,” ujar Endin A.J. Soefihara, Wakil Ketua Komisi XI, menanggapi penunjukan Boediono. Politikus Partai Persatuan Pembangunan ini menilai Boediono adalah sosok bertemunya otoritas fiskal dan otoritas moneter. ”Secara qua pengalaman dan qua pengetahuan, rasanya tidak ada alasan menolak dia.”
Namun penunjukan Boediono tak serta-merta direspons positif. Setidaknya, Fraksi PDI Perjuangan, fraksi terbesar kedua di DPR, pagi-pagi sudah mempertanyakan pencalonan tunggal itu. Menurut Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDIP, calon yang hanya satu itu memasung kewenangan Dewan. Presiden juga memaksa Dewan agar segera memutuskan gubernur bank sentral. ”Ini kan tidak sesuai dengan demokrasi,” ujarnya.
Usia Boediono yang sudah 65 tahun juga dipertanyakan apakah dia mampu mereformasi bank sentral, terutama dalam efisiensi anggaran. Tambahan lagi, kata Endin, sesuai dengan janji yang disepakati dengan BI, pada 2010 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah harus terbentuk. Masalah efisiensi anggaran dan OJK ini, menurut dia, paling dikhawatirkan kalangan internal BI. Sebab, kalau efisiensi bisa berarti tidak ada kenaikan gaji. Dan jika OJK terbentuk, urusan pengawasan dan pemeriksaan perbankan tak lagi di BI.
Dia juga bakal menghadapi persoalan moneter yang cukup memanas belakangan ini, mulai dari rupiah yang cenderung melemah, ancaman inflasi yang tinggi, menumpuknya dana di sertifikat Bank Indonesia, serta perekonomian global yang melemah. Padahal, untuk menahan laju inflasi, kata Tony, ”BI harus menaikkan suku bunga dari level sekarang 8 persen.”
Namun, yang pasti bakal jadi sorotan Komisi XI dalam uji kelayakan pada Senin pekan ini adalah ihwal keterlibatan Boediono dalam kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Ketika pinjaman BLBI pada periode 1 Juli 1996—28 Desember 1997 dikucurkan, Boediono menjabat Direktur III Urusan Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat dan Urusan Pengaturan dan Pengembangan Perbankan. Sedangkan dalam pengucuran BLBI periode 29 Desember 1997—13 April 1998, dia menjabat Direktur I Urusan Operasi dan Pengendalian Moneter.
Duit BLBI yang disepakati pemerintah dan Bank Indonesia sebesar Rp 144,5 triliun faktanya memang menyeleweng ke mana-mana. Ada yang digunakan untuk memborong valas dan melarikan dana ke luar negeri. Ada pula bankir yang melarikan diri sehingga Bank Indonesia kesulitan menagih. Bebannya pun sampai kini masih menjadi tanggungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Bagi Dradjad H. Wibowo dari Fraksi Partai Amanat Nasional, inilah cacat Boediono. ”Bagaimanapun, dia turut bertanggung jawab atas amblasnya ratusan triliun uang rakyat,” ujar anggota Komisi XI ini. Tiga pejabat bank sentral yang ikut menandatangani pencairan dana BLBI telah dipenjara. Mereka adalah Hendro Budiono, Paul Sutopo, dan Heru Supraptomo. ”Kalau Boediono dinilai bersih, mestinya ketiga orang itu juga bersih,” tuturnya.
Ketika kembali dikonfirmasi soal keterlibatannya dalam kasus BLBI, Jumat lalu, Boediono cuma tersenyum. Pejabat paling irit bicara ini hanya berucap, ”Semua yang diinginkan Dewan akan saya jelaskan dalam uji kelayakan nanti.” Pada saat itu, kebijakan BLBI dikeluarkan oleh Dewan Moneter yang beranggotakan pejabat pemerintah dan Bank Indonesia. Sesuai dengan posisinya, Boediono memang ikut memberikan persetujuan keputusan pemerintah itu.
Anne L. Handayani, Fanny Febiana, Eko Nopiansyah, Munawaroh, Vennie Melyani, Amandra M. Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo