Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Sonny Keraf: Ada Kesungkanan karena Aburizal Bakrie Ada di Pemerintahan

26 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA boleh buat: nasi sudah jadi bubur, sawah telah jadi lumpur. Sembu-ran gas dan lumpur panas dari sumur Banjarpanji-1 milik- Lapindo Brantas Inc di Desa Renokenongo, Sidoarjo, Jawa Timur, berlangsung hampir sebulan. Menteri Ener-gi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro pada Senin pekan lalu menyatakan, semburan itu bukan akibat gempa, "Tapi karena kesalahan pengeboran."

Lapindo Brantas, anak perusahaan Ener-gi Mega Persada, salah satu per-usahaan yang tergabung dalam kelompok usaha Bakrie, awalnya memang- me-nyebut gempa yang terjadi di Yog-yakarta pada 27 Mei lalu sebagai- penyebab. Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) yang seharus-nya mengontrol eksplorasi ini meng-amini pernyataan itu. Tapi, "Itu manipulasi informasi," ujar Sonny Ke-raf, Wakil Ketua Komisi VII DPR-komisi yang salah satunya membawahkan bidang lingkungan.

Kejengkelan Sonny terhadap BP Mi-gas-lembaga yang bertanggung jawab atas pengawasan eksplorasi minyak dan gas di Indonesia-sudah sampai ubun-ubun. Ia menunjukkan data inefisiensi penyelenggaraan kegiatan hulu migas (cost recovery) yang terus meroket dari tahun ke tahun, sementara produksi migas justru menurun. Pada 2002 cost recovery tercatat US$ 3,1 miliar, tapi tahun berikutnya menjadi US$ 5,3 miliar. Tahun lalu angka itu terus naik menjadi US$ 7,5 miliar, setara dengan Rp 24,2 triliun.

Selasa pekan lalu, Sonny menerima wartawan Tempo Akmal Nasery Basral, Philipus Parera, serta fotografer Cheppy A. Muchlis untuk sebuah wawancara di ruang kerjanya Gedung Nusantara I, DPR-RI. Menteri Lingkungan Hi-dup dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid ini menjawab semua pertanyaan dengan tenang, tak meledak-ledak.

Mengapa bencana Lapindo Brantas ini terjadi?

Kalau ditarik ke hulu, sangat mungkin berawal dari proses tender yang jatuh-nya ke perusahaan-perusahaan da-lam kelompok yang sama. Karena ber-ada dalam satu grup, kontrol dari kontraktor terhadap proses kerja perusahaan yang melakukan pengeboran tidak berjalan semestinya.

Maksud Anda ada indikasi kolusi?

Kalau saya dan Anda masih satu kelompok dan Anda mendapat tender dari saya, akan ada kecenderungan saya tidak akan dengan tegas mengontrol, mengendalikan, atau menegur Anda dan seterus-nya. Polisi harus mengusut bagaimana kaitan antara Lapindo Brantas dan kontraktor, apakah ada indikasi kolusi atau tidak. Sebab, hal itu sangat berpengaruh- terhadap proses kontrol, termasuk pemilihan teknologi dan peralatan yang di-gunakan. Bisa saja ada upaya penghematan untuk menaikkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga prosedur -ope-rasi standar tidak dipenuhi.

Apa alasan tudingan Anda ini?

Ketika Lapindo Brantas, BP Migas, serta Departemen Energi dan Sumber- Daya Mineral menyebut pergeseran patahan akibat gempa di Yogyakarta (se-bagai penyebab semburan lumpur) dalam penjelasan resmi di Komisi VII, saya langsung curiga. Penjelasan yang seragam ini merupakan manipulasi informasi, karena belakangan terbukti penyebabnya bukan itu.

Kini tim independen sudah dibentuk. Anda percaya?

Saya tidak percaya kepada tim ini. Saya tidak yakin BP Migas akan obyektif dan tidak campur tangan. Ini berdasarkan pengalaman di Newmont Minahasa, tatkala ada tim teknis yang dibentuk oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup-. Teman-teman dalam tim tidak bi-sa leluasa mengungkapkan temuan me-reka karena ada intervensi dari berbagai pihak. Itu membuat tidak semua yang ditemukan bisa diungkap. Problemnya-, kalau tim ini sama sekali terlepas dari BP Migas, kita terbentur pada kendala- teknis: siapa yang akan membiayai? Di luar itu saya mengharapkan ada tim pe-mantau dari masyarakat, mungkin- dari Walhi dan pakar geologi serta geoscien-ce di bidang perminyakan. Ini penting- karena kita tahu Lapindo Brantas dimi-liki oleh kelompok Bakrie. Saya khawatir- ada kesungkanan dalam mengungkapkan ini, karena Pak Aburizal Bakrie ada di dalam pemerintahan sekarang.

Apa alasan kekhawatiran itu?

Dalam penjelasan awal yang saya anggap ada manipulasi untuk menyalahkan alam tadi, saya mendapatkan kesan ja-ngan-jangan ini disebabkan Lapindo dimiliki kelompok usaha Bakrie.

Anda melihat langsung penanganan di lapangan, bagaimana menurut Anda?

Ada tiga hal menarik. Pertama, tidak- ada koordinasi yang baik di antara pihak-pihak yang terlibat, baik dari BP Migas, Lapindo Brantas, pemerintah pro-vinsi, kabupaten, maupun instansi lain. Lembaga penelitian dari berbagai- uni-versitas datang sendiri-sendiri dan -meng-ambil sampel di titik yang berbeda, sehingga bisa saja temuan mereka sangat- bervariasi. Ini disebabkan lemahnya ke-pemimpinan dalam manajemen pena-nganan bencana.

Kedua, tidak ada komunikasi yang baik- dengan masyarakat. Taruhlah sa-tu-dua hari pertama orang masih- sibuk- dengan berbagai upaya untuk me-mahami- fenomena ini. Tapi, paling lama satu minggu setelah itu, seharusnya- ada pihak yang powerful-disegani, dipercaya, kredibel-untuk tampil meng-atasi suasana dan menjelaskan ke masyarakat-. Fungsi ini harus dilakukan BP Migas- karena menurut undang-undang memang lembaga inilah yang memiliki kewenangan untuk itu.

Ketiga, seorang penduduk yang pernah bekerja di pengeboran minyak dan rumahnya berhadapan langsung dengan sumur itu menyebutkan tidak ada aktivitas tanggap darurat yang jelas begitu bencana terjadi. Agak lama setelah bupatinya turun tangan, baru Lapindo menyediakan alat berat membangun tanggul bersama masyarakat. Tapi itu baru seminggu kemudian. Sudah terlambat.

Tentang materi lumpur itu sendiri?

Ini juga menarik. Pemerintah, termasuk Lapindo, di Komisi VII mengatakan bahwa lumpur itu bukan bahan beracun- dan berbahaya (B3). Itu pernyataan yang gegabah. Salah satu anggota Komisi VII, Catur Sapto Edi (PAN), yang memahami- betul soal B3, mengatakan itu kekeliruan yang besar. Sebab, di lapangan ditemukan tarbol, yaitu gumpalan minyak- hitam, seperti ter yang mengapung di atas lumpur. Itu saja berarti ada B3. Belakangan ada temuan dari ITS di Surabaya dan pihak yang lain bahwa ditemukan juga fenol serta zat-zat lain.

(Berdasarkan Keputusan Gubernur- Jawa Timur Nomor 45 Tahun 2002 un-tuk- air golongan III, yakni air untuk peternakan dan pembudidayaan ikan, ambang kandungan fenol adalah 1 mili-gram per liter. Sedangkan dari sampel lumpur yang diambil 40 meter di utara jalan tol Porong-Gempol, kandungan fenol tercatat tiga kali lebih tinggi, yakni 3,37 miligram per liter-Red).

Menteri Negara Lingkungan Hidup pernah mengatakan bahwa lumpur itu tidak beracun?

Itu juga mengejutkan saya. Dalam dia-log di radio dengan Ketua Komisi VII Agusman Effendi pada 12 Juni lalu, Pak Rachmat Witoelar mengatakan bahwa lumpur itu bukan B3. Saya tanyakan lewat SMS. Beliau mengatakan informasi itu didapatnya dari lapangan. Untungnya Pak Rachmat lalu meralat pernyataannya.

Tentang kompensasi per keluarga senilai Rp 200 ribu itu, layakkah?

Saya yakin tidak semua masyarakat sekitar yang terkena lumpur mendapat kompensasi. Di lapangan saya temukan warga yang tinggal sangat dekat dengan tanggul pun mengaku tidak mendapat apa pun. Saya tidak tahu mere-ka ngomong- benar atau tidak. Jadi ada kemungkinan pembagian kompensasi tidak merata. Saya tidak tahu kelanjut-annya sekarang.

Bagaimana menghitung kompensasi bagi penduduk atas kerugian yang me-reka alami?

Ada satu sub dalam tim independen yang melakukan perhitungan itu, baik kerugian material maupun imaterial. Material misalnya sawah mereka yang rusak dan kesehatan yang terganggu. Imaterial misalnya biaya yang muncul karena mereka kehilangan hari kerja, baik karena sakit maupun karena me-reka harus mengawasi lumpur agar tidak mem-banjiri rumah. Kemudian sejauh mana sumur dan air mereka terkena. Juga harus diperhitungkan kerugian jalan tol, tidak hanya Jasa Marga tapi juga warga pengguna yang aktivitasnya terhambat. Belum lagi pabrik-pabrik di se-kitarnya yang terhenti kegiat-annya. Tentang ini Komisi VII sudah menge-luarkan dua sikap. Pertama, semua kerugian harus ditanggung La-pindo Brantas. Kedua, agar biaya yang dikeluarkan oleh Lapindo untuk ganti rugi tidak dimasukkan ke cost recovery. Kalau biaya itu termasuk cost recovery, negara dan pemerintah provinsi akan ikut menanggung karena ada porsi dari bagi hasil.

Artinya, masyarakat yang jadi korban, masyarakat juga yang harus membayar?

Betul. Itu kan tidak fair.

Apakah ada sinyal Lapindo Brantas akan memasukkan ganti rugi itu sebagai cost recovery?

Tahun lalu Komisi VII melakukan- diskusi panjang dengan BP Migas ten-tang parameter cost recovery, karena- kami lihat tidak ada ukuran jelas dalam menentukan ini. Tentu saja BP Migas- me-ngatakan ada, tetapi di dalam praktek-nya banyak hal yang tidak jelas. Saya katakan secara ekstrem pembantu (ru-mah tangga) ekspatriat yang sakit pun masuk cost recovery. Ini luar biasa merugikan. Itu sebabnya kami khawatir, biaya ganti rugi nantinya akan diklaim Lapindo Brantas sebagai cost recovery dengan alasan biaya ini muncul dalam proses pengeboran.

Tapi rekomendasi Komisi VII kan tidak- mengikat?

Komisi VII akan meminta BP Migas tidak menyetujui itu.

Anda yakin BP Migas akan melakukan itu?

Itulah. Saya lihat BP Migas memang sangat lemah. Tapi, karena ini keputusan- politik, seharusnya BP Migas bisa lebih tegas.

Apa penyebab kelemahan BP Migas?

Sebenarnya di sana banyak ahli. Saya khawatir ini cuma masalah kepemim-pinan. Mungkin Pak Kardaya (Kardaya Warnika, Ketua BP Migas-Red) kurang tegas menggunakan wewenangnya. Saya tidak tahu apakah karena beliau tidak mampu mengontrol pengusaha migas karena tekanan dari pemerintah atau karena lobi-lobi lain.

Tapi Ketua BP Migas kan dipilih oleh DPR juga?

Pak Kardaya memang dipilih oleh Ko-misi VII. Jadi harus lebih diberdaya-kan. Juga pemerintah melalui Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral perlu mendorong BP Migas agar lebih kuat mewakili pemerintah dalam me-ngendalikan kegiatan-kegiatan di sektor- hulu ini. Jika memang nanti ditemukan- ada unsur ke-lalaian prosedural dari La-pindo, BP Migas harus ikut bertanggung- jawab. Kalau perlu Pak Kardaya mundur.

Seperti apa contoh kelalaian prose-dural itu?

Seperti yang sudah diungkapkan media, Medco ternyata sudah mengingatkan kepada Lapindo bahwa casing (selubung) harus segera dipasang pada mata bor. Polisi harus mengusut ini untuk mengetahui seberapa besar unsur kelalaian dan kesengajaan. Kalau memang terbukti, harus ada proses pidana dan perdata. Kalau perlu, izin Lapindo dicabut karena merugikan masyarakat.

Bagaimana memastikan investigasi ter-hadap kasus ini bisa obyektif?

Di sini menurut saya hasil kerja tim independen menjadi penting. Dengan seluruh kepakaran yang dimiliki, me-reka harus meneliti dan menyisir semua dokumen, termasuk dokumen seismik dan dokumen teknis lainnya. Kalau seluruh dokumen ini bisa dibuka untuk semua pihak, termasuk wartawan, kerja polisi pun bisa dikontrol. Apalagi- kalau ada tim pemantau dari lembaga- seperti Walhi dan pakar geoscience lainnya. Tim pemantau dari luar menjadi penting- -untuk mengingatkan tim independen kalau-kalau, entah karena lalai atau sengaja, mengabaikan dokumen atau bukti tertentu.

Dr Alexander Sonny Keraf

Lahir: Flores, 1 Juni 1958

Pendidikan:

  • Katholieke Universiteit Leuven Institute of Philosophy, Belgia (S2-1992, S3-1995)
  • Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (1988)

Karier:

  • Wakil Ketua Komisi VII DPR (2004-sekarang)
  • Menteri Negara Lingkungan Hidup (1999-2001)
  • Dosen Luar Biasa Pascasarjana Program Ilmu Lingkungan UI (2001-sekarang)
  • Anggota Dewan Etik Indonesia Corruption Watch (1998-1999)
  • Dosen Pascasarjana Unika Atmajaya Jakarta (1995-sekarang)

Organisasi:

  • Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Lingkungan Hidup & Pengabdian Masyarakat (2005-2010)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus