Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Cetak Biru Baru untuk Jakarta

26 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bambang Eryudhawan

  • Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia DKI Jakarta

    JAKARTA seperti yang kita alami hari ini sesungguhnya ikut dibentuk oleh seorang perencana kota asal Ing-gris bernama Kenneth Watts. Sebagai utusan PBB untuk Indonesia, ia tiba di Jakarta pada 1956, dengan tugas utama membantu persiapan penyusunan master plan untuk Jakarta. Di bawah pimpinannya, Bagian Master Plan Dinas Pekerjaan Umum berhasil menyusun Outline Plan of Djakarta pada 1957. Rencana Pendahuluan ini merupakan cetak biru pembuatan Rencana Induk DKI Jakarta 1965-1985 yang digunakan Gubernur Ali Sadikin untuk membangun Kota Jakarta Metropolitan.

    Dalam skenario Kenneth Watts, sebuah kota harus direnca-nakan dengan menggunakan metode yang ilmiah-ra-sional-, berdasarkan survei dan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Masalah Wisma, Karya, Marga, dan Suka dapat diselesaikan melalui perhitungan matematis, sejauh data lapangan cukup memadai. Sebagaimana telah ditunjuk-kan oleh sejarah peradaban manusia, kota merupakan panggung bongkar-pasang yang kerap kali memberikan jalan pada penciptaan rancangan kota yang imajinatif. Urban redevelopment dan urban renewal menjadi lagu wajibnya.

    Jakarta diharapkan dapat menjadi kota yang bersih, di-lengkapi banyak taman, anak-anak dapat sekolah di dekat tempat tinggalnya, pasar tidak jauh dari rumah. Yang sa-ngat dikedepankan adalah terciptanya kota yang sehat, ter-atur, dengan prasarana lingkungan serta fasilitas umum dan fasilitas sosial yang memadai di setiap bagian kota. Tuju-an akhir dari perencanaan kota adalah sebuah kota yang dapat membahagiakan masyarakatnya.

    Outline Plan of Djakarta sebagai cetak biru perencanaan kota Jakarta secara dini telah mengisyaratkan pembangun-an jalan lingkar luar yang pertama (Tanjung Priok-Cawang-Grogol-Pluit), dengan pembentukan kota-kota satelit di sisi luar jalan lingkar—sudah didahului oleh Kebayoran Baru, yang kemudian dikelilingi oleh sabuk hijau (green belt). Sesuatu yang sangat dipengaruhi oleh Town and Country Planning Act 1947 di Inggris yang mendorong penyebaran penduduk melalui penggusuran kawasan kumuh dan penciptaan kota satelit di luar kota.

    Lokasi kantor pemerintahan diusulkan berada di sekitar- Medan Merdeka dan Lapangan Banteng. Kebun binatang di Cikini akan dipindah ke sebuah hutan rekreasi di selatan- Jakarta. Kegiatan urban redevelopment ditetapkan untuk- daerah-daerah yang dianggap sangat buruk, baik di pusat- kota maupun di bagian kota lainnya. Sementara Bung Karno melihat ruas jalan yang lebar dan monumental dari segi sosial-politik, dalam pemahaman Kenneth Watts urusan kelancaran lalu lintas tidak lebih dari sebuah kalkulasi matematis yang mengatakan bahwa Jakarta sebagai sebuah kota metropolis akan penuh sesak dengan kendaraan bermotor. Sarannya, salah satu program terpenting yang harus didahulukan adalah penambahan ruas jalan dan pelebaran jalan-jalan yang sudah ada.

    Berbarengan dengan itu, sarana transportasi umum seperti kereta dan trem kurang mendapat perhatian yang seksama, untuk tidak mengatakan diabaikan sama sekali. Bung Karno menganggap trem sebagai alat transportasi yang sudah ketinggalan zaman, tidak dapat dibanggakan kecuali- jika berada di bawah tanah. Akibatnya, trem dihapus dari muka bumi Jakarta, termasuk jalur Kampung Melayu-Senen yang sempat akan diselamatkan oleh Wali Kota Sudiro, namun gagal. Sejak itu, secara tegas dinyatakan bahwa urat nadi Kota Jakarta di masa datang akan ditentukan oleh angkut-an jalan raya dengan kendaraan bermotor pribadi dan bus kota. Ali Sadikin pun berpendapat bahwa angkutan kereta dalam kota sudah tidak menarik dan tidak pantas diperhitungkan lagi dalam perencanaan transportasi umum. Ada keterbatasan dana untuk membangun sistem perkeretaapi-an di bawah tanah. Alhasil, pembangunan kantong permukiman baru seperti Slipi, Grogol, Tebet, Cempaka Putih, Pulo Mas, kemudian juga Pondok Indah sangat mengandalkan angkutan jalan raya.

    Rencana Pendahuluan 1957 ternyata dengan sendirinya- telah menjadi cetak biru yang sangat mempengaruhi perjalan-an perencanaan kota di Jakarta, mulai dari Rencana Induk 1965-1985, Rencana Induk 1985-2005, sampai Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 (RTRW 2010). Sebagian gagasan Kenneth Watts pasti ada yang diadopsi, dan sebagian ada juga yang diadaptasi. Isi dari bahan kuliahnya di ITB yang kemudian dibukukan, berjudul Urban Planning Survey (1961) agaknya masih dipraktekkan oleh para perencana kota kita. Namun kita rasakan pada hari ini, cetak biru itu sudah kedaluwarsa. Yang mengagetkan kita, sebagian besar konsep utama dari Rencana Pendahuluan itu ternyata masih sering digunakan, walau sepenggal-sepenggal dalam bentuk yang berbeda.

    l l l

    Sebagai perbandingan, Kota Singapura sesungguhnya hampir memiliki sejarah yang tidak jauh berbeda dengan- Kota Jakarta. Setelah Perang Dunia II usai, pemerintah kolonial Inggris di Singapura berhasil menyusun Master Plan 1958. Kenneth Watts sebagai peneliti dari PBB ikut membantu awal penyusunan rencana induk tersebut. Singapura menjadi kelinci percobaan para perencana kota untuk- menjajaki konsep baru sebagaimana digariskan dalam Town and Country Planning Act 1947. Muatan yang terdapat dalam Master Plan 1958 dapat dikatakan mirip dengan Outline Plan of Djakarta 1957.

    Sebagian kecil dari Master Plan 1958 ada juga yang da-pat diimplementasikan pada akhir tahun 1970-an, yaitu- program urban renewal di Crawford dan Outram. Namun-, seperti layu sebelum berkembang, dua tim dari PBB yang datang pada 1962 dan 1963 beranggapan bahwa Master Plan 1958 terlalu konservatif. Cetak biru tahun 1958 itu le-bih mencerminkan aspirasi pemerintah kolonial yang tidak mengharapkan perubahan sosial-ekonomi yang signifikan, kurang luwes mengantisipasi pertumbuhan ekonomi yang pesat, dan kurang serius mengurusi program perumahan rakyat dalam skala besar, serta gagal mengakomodasi semangat kemerdekaan yang sedang melanda Singapura.

    Berdasarkan hasil evaluasi kedua tim tersebut, tim PBB yang berikut pada 1967-1971 ikut membantu penyusunan- Concept Plan 1971. Rencana induk ini mengedepankan- Ring Concept Plan sebagaimana telah diterapkan di Belan-da, berupa susunan kota-kota yang membentuk lingkar-an de-ngan bagian tengah dijadikan lahan hijau sebagai resap-an air, lahan pertanian, rekreasi, dan jalur lalu-lintas cepat. Melalui Concept Plan 1971, diusulkan jaringan jalan raya jalur cepat untuk menghubungkan satu bagian kota de-ngan bagian kota lainnya. Kawasan industri Jurong di bagian barat dan Bandara Changi di timur juga masuk dalam rencana induk tahun 1971. Dan yang tidak kalah menarik adalah rencana sistem transportasi massal yang saat ini kita kenal dengan mass rapid transit (MRT) juga sudah dicanang-kan jauh-jauh hari.

    Conservation Plan yang merintis penyelematan bangun-an-bangunan tua yang tersisa dari program urban renewal- baru diterbitkan pada 1989. Pada 1991 Concept Plan 1971 harus direvisi untuk mengakomodasi gagasan a tropical city of excellence yang mengedepankan kualitas hidup bagi proyeksi penduduk 4 juta orang. Revisi berikut terjadi pada 2001, karena Singapura harus bersiap-siap menghadapi per-ubahan global tanpa mengabaikan kualitas hidup yang ditunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat.

    l l l

    Kembali ke Jakarta, asas yang tercantum pada RTRW 2010 berbunyi: a) pemanfaatan ruang bagi semua kepenting-an secara terpadu, serasi, selaras, seimbang, berdaya guna, berhasil guna, berbudaya, dan berkelanjutan; b) keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum. Misi utamanya disebutkan: a) membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat; b) mengembangkan lingkungan kehidup-an perkotaan yang berkelanjutan; dan c) mengembangkan Jakarta sebagai kota jasa skala nasional dan internasional. Pesan yang cocok sekali dengan pepatah lama yang menga-takan, ”Jauh api dari panggang”, atau ”Lain kata, lain perbuatan”.

    Usaha Gubernur Sutiyoso tentunya sudah maksimal da-lam format konsep perencanaan kota yang sesungguhnya sudah usang ditelan zaman. Tidak ada jalan lain, cetak biru yang kita terima sejak tahun 1957 sudah saatnya harus segera diganti, bukan sekadar revisi atau alat pengesahan pelanggaran terdahulu, atau sejenisnya. Cetak biru baru untuk Jakarta harus segera disusun oleh orang-orang muda yang progresif. Dirgahayu Jakarta.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus