Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Tak Ada Alasan Menunda Pilkada Serentak

9 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA bulan lagi, tepatnya pada 9 Desember 2015, pemilihan kepala daerah serentak bakal digelar pertama kalinya di Indonesia. Kendati belum sepenuhnya serentak, ini adalah sejarah baru bagi Indonesia.

Komisi Pemilihan Umum pun beberapa bulan belakangan sibuk mengurus segala persiapan pilkada serentak. Sebagai pemilik gawe, KPU harus menyiapkan pemilihan 269 kepala daerah dan wakilnya, meliputi 9 pemilihan gubernur dan wakil, 224 pemilihan bupati dan wakil, serta 36 pemilihan wali kota dan wakil. Adapun pilkada serentak secara nasional, jika berjalan sesuai dengan tahapan, akan berlangsung pada 2027.

Kian mepet waktu penyelenggaraan, persoalan demi persoalan mulai muncul. Misalnya, masih ada daerah yang belum punya cukup anggaran untuk pengamanan pilkada. Walhasil, sempat muncul usul dari Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti agar pilkada serentak ditunda. Namun KPU tak sependapat. Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik menyebutkan nota perjanjian hibah daerah sudah dipenuhi pemerintah dan pemerintah daerah pada 3 Juni lalu.

Jumat sore pekan lalu, di ruang kerjanya di kantor KPU, Jakarta Pusat, Husni menerima wartawan Tempo Dwi Wiyana dan Isma Savitri serta fotografer M. Iqbal Ichsan untuk wawancara. Selama lebih dari satu jam, Husni bertutur tentang sejumlah isu, termasuk kekhawatiran adanya politisasi terhadap KPU. Sebut saja soal opini wajar dengan pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan yang memantik panggilan dari Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, dualisme kepengurusan partai, juga soal Surat Edaran Nomor 302 mengenai inkumben yang sempat menyudutkan KPU.

Husni mengatakan ia dan KPU sejak awal tidak mendukung politik dinasti, seperti dituduhkan banyak pihak selepas beredarnya Surat Edaran Nomor 302. "Kami kontra pada politik dinasti dari konsep awalnya. Tapi hasil konsultasi dengan DPR dan pemerintah mengubah itu," ujarnya.

KPU pekan lalu dipanggil Komisi II DPR untuk dimintai penjelasan mengenai hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan. Apakah Anda melihat ini sebagai bentuk tekanan tertentu kepada lembaga KPU?

Audit BPK itu normal saja dilakukan tiap tahun. Sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) di KPU dilakukan sekali dalam lima tahun. Jadi bukannya ada kasus lalu ada PDTT. Jadi permintaan DPR agar BPK melakukan PDTT sudah terpenuhi karena sudah dilakukan.

Anda tidak melihat pemanggilan ini bernuansa politis?

Kami tidak melihat itu. Di DPR, kami menjelaskan bahwa PDTT sudah dilakukan dan kemudian Dewan meminta BPK menjelaskan hasil PDTT. Hasil PDTT lalu jadi materi tambahan Komisi II dengan KPU. Kami menjelaskan bahwa kami merasa dimuliakan sebagai mitra Komisi II. Kenapa? Di antara mitra yang lain, kami diminta lebih dulu menjelaskan hasil audit BPK.

Mitra Komisi II lain juga diaudit, dengan hasil wajar tanpa pengecualian (WTP) seperti Kementerian Dalam Negeri, dan ada pula yang opininya disclaimer. Komisi II kan berjanji semua mitra akan dimintai penjelasan. Nah, artinya ini perlakuan sama rata. DPR juga selalu menyatakan ini hal yang biasa saja, walaupun itu baru dilakukan tahun ini. Mungkin ini adalah peningkatan kinerja dari Komisi II.

Opini wajar dengan pengecualian (WDP) KPU seperti apa catatannya?

Catatan BPK itu bukan karena klasifikasinya penyimpangan. Tapi sesuatu yang dianggap belum lengkap juga masuk pengecualian. Yang opininya WTP pun ada temuan, seperti yang saya baca di hasil kesimpulan RDP (rapat dengar pendapat) Kemendagri dengan Komisi II.

Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan masih menghadapi masalah dualisme kepengurusan partai. Bagaimana sikap KPU soal ini?

Prinsip dasar KPU, siapa pun yang mau ikut kompetisi harus menyesuaikan dengan aturan. Aturan mainnya, kalau surat keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia disengketakan, ada dua alternatif yang bisa dilakukan. Pertama, menunggu putusan hukum yang sudah in kracht. Kedua, pihak yang bersengketa berdamai atau islah. Nah, baik jalur in kracht maupun islah, apabila hasilnya berbeda dengan yang sudah diregistrasi di Kementerian Hukum dan HAM, harus diregistrasi ulang.

Jadi bisa saja dua partai itu tidak dapat mengikuti pemilu?

Saya enggak mau menduga-duga, ya. Ini kan sedang berproses. Justru semua pihak yang punya perhatian mesti mendorong terselesaikannya masalah ini. Kan, tiap pihak diisi oleh politikus kawakan.

Jika Golkar tidak ikut pemilu, mungkinkah timbul keributan di masyarakat?

Kenapa harus begitu? Ini kan seperti kita punya kesempatan berbelanja pakaian di mal, tapi sedang ada kegiatan di tempat lain. Kita kan yang bisa memilih akan ke mana. Nah, apakah kemudian karena tidak jadi ke mal lalu kita menyalahkan orang lain?

Apa lagi yang bisa mengganjal langkah sebuah partai politik untuk ikut pilkada serentak?

Partai yang kepengurusannya tidak bermasalah bukan berarti otomatis bisa ikut pemilu. Semua ada ketentuan yang harus dia penuhi. Pertama, partai tersebut harus punya 20 persen kursi di DPRD atau mengantongi 25 persen suara di daerah itu. Nah, apabila dia memaksakan diri mengajukan calon padahal syarat tidak dipenuhi, dia akan ditolak. Kalau tetap mau mengajukan harus berkoalisi dengan partai lain. Misal pun syarat itu sudah dipenuhi tapi tidak ada yang bisa dicalonkan, ya, tidak jadi. Maka ini tidak bergantung semata pada konflik di pusat. Karena basisnya di bawah, bukan dari atas.

Lalu apa kewenangan pengurus partai politik pusat?

Nah, kewenangan pengurus pusat parpol dalam mengajukan pasangan calon itu baru ada pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Maka, kalau ada konflik di Jakarta, tidak akan berpengaruh apabila kepengurusan di bawah itu solid dan SK Menteri Hukum dan HAM masih berlaku. Yang mengajukan calon sendiri adalah pengurus parpol pada tingkatannya.

Soal surat edaran mengenai petahana, KPU dituduh pro-politik dinasti....

Kami kontra pada politik dinasti dari konsep awalnya. Tapi hasil konsultasi dengan DPR dan pemerintah mengubah itu.

Seperti apa proses konsultasi KPU dengan pemerintah dan DPR soal petahana?

Kebetulan saya tidak hadir, yang hadir teman-teman. Tapi, pasca-RDP, kami di kalangan internal membahas kembali isi Surat Edaran Nomor 302 itu. Kami membahas pertanyaan mendasar, yakni apakah ada yang salah pada definisi petahana yang kami buat. Ternyata tidak ada yang salah karena petahana tidak dijelaskan dalam undang-undang. Penjelasan tentang petahana hanya ada di kamus, yakni seorang yang sedang menjabat.

Diskusi itu sudah dilakukan KPU dengan DPR dan Kementerian Dalam Negeri. Dalam RDP sebelumnya, saya juga sudah menjelaskan mengapa KPU sampai menetapkan definisi petahana. Draf yang diajukan KPU sebelumnya sejak konsultasi pertama itu ditolak DPR dan pemerintah ikut mengiyakan. Dalam draf itu ada rumusan yang mengakomodasi masa jeda satu periode. Wakil pemerintah sendiri mengatakan definisi petahana adalah mereka yang sedang menjabat. Debatnya ketika itu keras, dan KPU akhirnya menerima definisi yang diputuskan.

Saya juga sudah minta kepada Komisi II supaya rekaman atas perdebatan itu dibuka lagi. Jadi pengertian petahana itu adalah apa yang dijelaskan dalam Surat Edaran Nomor 302. Nah, Surat Edaran Nomor 302 menjelaskan peraturan KPU dan peraturan KPU menjelaskan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Seharusnya Surat Edaran Nomor 302 tidak dimaknai bertentangan dengan undang-undang.

Jadi desakan menarik surat edaran itu tidak beralasan?

Kami berkesimpulan tidak ada yang salah dengan surat edaran itu. Ini juga respons terhadap banyak pertanyaan dari daerah. Kami sempat mengkonfirmasinya lagi dengan staf ahli Mendagri yang jadi wakil pemerintah dalam rapat dengan KPU dan DPR. Dia bilang peraturan KPU sudah benar, petahana adalah dia yang pada tahap pencalonan itu masih menjabat.

Apakah mereka yang akhir masa jabatannya jatuh pada 21 Juli 2015 atau lima hari sebelum masuk masa tahapan pencalonan dinyatakan sebagai petahana?

Tidak, karena dia sudah tidak menjabat lagi. Lalu bagaimana jika dia berhenti karena alasan lain, misalnya mengundurkan diri? Kalau dia sudah diberhentikan berdasarkan surat keputusan yang diteken sebelum tanggal itu, dia bukan petahana dan boleh mencalonkan diri.

Apakah KPU berencana merumuskan ulang definisi petahana?

Masalah petahana pasca-pencalonan ini selesai, ya selesai. Nah, untuk pilkada selanjutnya, KPU punya kesempatan mengubah lagi aturannya. Tapi kan mengubah undang-undang itu rumit. Maka untuk mengatasi kerumitan itu, sebelum mengeluarkan Surat Edaran Nomor 302, kami lebih dulu mengirim surat ke Mendagri. Isinya agar kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sekarang sedang menjabat, lalu mengajukan surat pengunduran diri tanpa sebab yang jelas, SK-nya diterbitkan pascaproses pencalonan selesai. Itu pun kalau permohonan pengunduran dirinya disetujui. Jadi kami sudah mengantisipasi itu, tapi kuncinya ada di Kemendagri.

Jadi yang pusing Menteri Dalam Negeri, ya?

Kan, dia yang berwenang, ngapain pusing mikirin? Gunakan saja kewenangannya untuk menjaga prinsip itu. Kemudian ada katup lain, yakni parpol, yang juga bisa memainkan peran di sini. Kalau kelihatan ada yang mau membangun politik dinasti, ya sudah, jangan calonkan orang itu.

Sampai di mana persiapan pilkada serentak oleh KPU?

Sampai Juli ini, semua tahapan yang sudah dijadwalkan sesuai dengan peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2015 berjalan tepat waktu. Kini kami sudah masuk tahap pelaksanaan. Adapun yang sudah dilakukan adalah tahap pencalonan. Ini sudah dimulai dengan validasi data calon perseorangan. Mulai 17 April lalu, kami sudah menerima daftar kependudukan per kecamatan yang dijadikan rujukan menentukan berapa persentase dukungan minimal yang harus dipenuhi calon perseorangan. Kami juga telah menerima pendaftaran calon perseorangan dan sekarang sedang memverifikasi dukungan terhadap calon perseorangan.

Selain itu, kami sudah melakukan proses pemutakhiran data pemilih. KPU sudah menerima data penduduk potensial pemilih pemilu atau DP4 dari Kementerian Dalam Negeri pada 3 Juni 2015. Kami menerima sekitar 102 juta data penduduk yang berpotensi sebagai pemilih. Jika dibandingkan dengan pemilihan presiden lalu, ada kenaikan sekitar 3 juta orang yang berpotensi memilih. Sekarang kami sedang mencocokkan data tersebut dengan data di lapangan.

Seperti apa proses verifikasi calon kepala daerah?

Kalau calon perseorangan, prinsipnya sama. Cuma, sekarang kami punya aplikasi untuk membaca dokumen data lunak dukungan pada calon perseorangan. Aplikasi itu bisa mendeteksi kegandaan dukungan terhadap satu calon ataupun kegandaan hubungan antar-pasangan calon. Yang tercatat di aplikasi itu adalah nama, nomor induk kependudukan, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, serta alamat calon pemilih.

Apakah ada kendala soal kesiapan dana penyelenggaraan pilkada?

Saat masa persiapan, kami sempat memperingatkan pemerintah dan pemerintah daerah agar menyediakan dana yang cukup. Soal itu harus tertuang dalam bentuk nota perjanjian hibah daerah tanggal 3 Juni 2015. Peringatan ini sudah dipenuhi pemerintah dan pemerintah daerah.

Soal dana, pilkada serentak kan semula diperkirakan lebih hemat, tapi ternyata tidak. Mengapa?

Asumsi adanya efisiensi itu bisa terjadi bila pemilihan gubernur-wakil gubernur bersamaan dengan pemilihan bupati-wakil bupati dan wali kota-wakil wali kota. Itu karena ada tahapan yang semula dilakukan dua kali menjadi satu kali. Misalnya tahap pemutakhiran data pemilih yang bisa sekali saja. Tahun ini pemilihan gubernur dan bupati yang digelar bersamaan terjadi di sembilan provinsi. Namun di provinsi lain tidak bersamaan, yang artinya secara dominan tidak terjadi efisiensi.

Itu hitungan dengan faktor pengali yang sama antara 2010 dan 2015. Tapi harga-harganya kan tidak mungkin sama. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi, misalnya pemekaran kabupaten, kecamatan, juga desa, dan adanya peningkatan jumlah pemilih. Faktor lain yang dominan adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang kampanye. Undang-undang tersebut mengatur adanya empat jenis kampanye calon kepala daerah yang wajib difasilitasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Setelah kami simulasi, ternyata kalau dihitung per orang yang datang dalam kampanye terbuka akan besar sekali.

Apa saja kampanye calon kepala daerah yang difasilitasi APBD?

Ada fasilitas iklan di media massa, juga alat peraga kampanye, seperti spanduk dan baliho. Lainnya adalah bahan kampanye, yang jika dihitung per pemilih itu besar sekali nilainya. Belum lagi kewajiban kami memfasilitasi kegiatan debat antarcalon. Semua itu menjadi faktor dominan dalam komponen struktur anggaran. Bahkan ada komponen yang bisa mencapai 60 persen dari struktur anggaran, yakni biaya kampanye itu sendiri. Tujuan difasilitasinya sebagian biaya kampanye adalah untuk menghindarkan calon-calon kepala daerah dari tumpukan utang. Maka potensi korupsi ketika nanti ia menjabat pun jadi tertutup.

Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengusulkan penundaan pilkada di sejumlah daerah karena dana pengamanannya masih kurang. Apakah itu memungkinkan?

Faktor yang menyebabkan pilkada tertunda sudah ada di undang-undang, di antaranya karena bencana alam dan kerusuhan. Di peraturan KPU, kami menambahkan faktor anggaran penyelenggaraan. Dengan dasar itu, kami memperingatkan pemerintah dan pemerintah daerah agar menyediakan dana paling lambat 3 Juni mendatang, dan itu sudah dipenuhi. Jadi tidak ada alasan untuk menunda. Yang punya kewenangan menunda kan KPU. Jadi, jika ada yang ingin menunda, undang-undangnya harus diubah dulu.

Apakah pilkada serentak bisa meminimalkan timbulnya konflik di masyarakat?

Tanpa pilkada, konflik di tengah masyarakat sudah ada. Walau yang namanya pemilu atau pilkada itu merupakan konflik yang dilembagakan, karena ini kan perebutan kekuasaan. Makanya ini harus tertata baik agar konfliknya tidak ke luar tatanan. Masyarakat kita sendiri sudah mulai rasional. Pun kalau tidak memilih, itu karena dia punya alasan.

Masyarakat kita makin rasional atau malah kian apatis?

Sosialisasi pilkada ke pemilih tujuannya adalah membentuk pemilih rasional. Efeknya, bisa saja dia tidak datang ke tempat pemungutan suara. Tapi indikator keberhasilan pemilu kan tak hanya dipatok dari persentase kedatangan calon pemilih ke TPS. Pemilu di Amerika Serikat itu demokratis tapi tingkat kehadiran di TPS-nya 45 persen, jauh dibanding kita yang partisipasinya bisa 75 persen.

Husni Kamil Manik
TEMPAT DAN TANGGA-LAHIR: Medan, 18 Juli 1975 PENDIDIKAN: -S-1 Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang KARIER: Waki-Direktur Lembaga Studi Lingkungan dan Sosial, Padang (2000-2003) -Konsultan Kelembagaan Manajemen Irigasi DHV Nederland (2001) -Anggota Komisi Pemilihan Umum Sumatera Barat (2003-2008) -Anggota Komisi Pemilihan Umum Sumatera Barat (2008-2012) -Ketua Komisi Pemilihan Umum (2012-sekarang) ORGANISASI: -Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia (2002-2003) - Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatu-Ulama Sumatera Barat (2010-2015)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus