Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Ihwal Meninggalkan Dunia

Tanggapan Untuk Kolom Bagja Hidayat

9 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zen Hae*

Di majalah ini edisi 2-8 Maret 2015, Bagja Hidayat menulis "Ihwal Meninggal" yang merinci kekacauan makna terkait dengan kata tinggal dan meninggal dalam kamus kita, terutama Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menurut dia, meninggal tidak bermakna sebagaimana yang dikandung kata induknya: tinggal. Ia tidak melukiskan sesuatu yang menetap; sebaliknya, menjauh atau meninggalkan sesuatu.

Setelah memberikan sejumlah argumen, termasuk segi etimologis kata meninggal dunia, Bagja mengajukan usul. Saya kutip yang relevan: "Karena itu, 'meninggal' lebih baik dikeluarkan dari lema 'tinggal' dan ditempatkan dalam lema sendiri sebagai arti mati, karena jelas bukan itu makna yang dimilikinya."

Bagaimana duduk perkara yang sebenarnya?

Sejauh ini, kata meninggal dalam frasa meninggal dunia mengandung makna yang seolah-olah berlawanan dengan makna kata tinggal. Maknanya bukan "menetap" atau "tinggal" di tempat atau wilayah tertentu, melainkan, sebaliknya, pergi dari tempat atau wilayah itu. Kita tidak bisa memaknai frasa itu sebagai "sesuatu yang tinggal di dunia", tapi sebaliknya, "pergi dari dunia".

Kendati demikian, verba meninggal tidak bisa tidak diturunkan dari kata induk tinggal. Proses pembentukan kata bahasa Indonesia tidak mengenal me- + tinggal, kecuali jika diberi akhiran -kan, seperti dalam meninggalkan (rumah). Karena itu, meninggal dunia tak pelak diturunkan dari meninggalkan dunia. Artinya kurang-lebih "membiarkan dunia tinggal" atau "pergi dari dunia". Sang jasad tetap tinggal di dunia yang fana, tapi roh menuju tempatnya yang baka.

Untuk mengecek penggunaan frasa meninggal dunia, ada baiknya kita mengecek kamus-kamus yang ada. Hingga pada cetakan ke-10 (1987), Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta (halaman 1076) masih mendaftar kata meninggal sebagai ragam bahasa percakapan dari meninggalkan. Ia memberi contoh: Banyak orang yang meninggal kewajiban, yang bermakna "Banyak orang yang meninggalkan kewajiban". Tapi ia juga mendaftar meninggal (dunia) yang bermakna "wafat" atau "mati".

Dari contoh ini bolehlah kita menetapkan bahwa meninggal dunia sebenarnya satu-satunya variasi ragam cakapan dari bentuk yang lebih lengkap: meninggalkan dunia. Apakah sebelumnya kita pernah menggunakan versi lengkap frasa meninggalkan dunia? Pernah.

Dalam kitab Syair Kiamat (1865), saya kutipkan dua bait syair yang memberi informasi penting tentang kasus ini: Tatkala sudah nyawah melayang/ Tinggallah sekalian orang dan dayang/ Datanglah fakih yang kasih sayang/ Memandikan mayat lalu disembahyang// Tatkala nyawah sudahlah terbang/ Meninggalkan dunia dengannya bimbang/ Datanglah sekalian adik dan abang/ Dipikulnya mayat dibawa ke lubang.

Dalam kutipan itu, kita mendapatkan dua contoh sekaligus. Pertama, bentukan meninggalkan dunia yang masih lengkap, tidak dikurangi salah satu unsur imbuhannya (-kan), dengan makna yang sudah cukup jelas. Sedangkan di baris sebelumnya (disembahyang), kita mendapatkan contoh bahwa kebiasaan menghilangkan salah satu unsur imbuhan adalah hal yang wajar dalam bahasa sastra. Bentuk lengkapnya seharusnya disembahyangkan, versi negatif dari menyembahyangkan. Kenapa ini terjadi? Karena si penggubah syair (yang entah siapa) ingin mengejar persamaan bunyi akhir -ang pada kata disembahyang, sejajar dengan -ang dalam melayang, dayang, sayang. Jika bentuk lengkapnya (disembahyangkan) dipertahankan, prinsip rima akhir tidak tercapai.

Dalam puisi Indonesia modern, laku menghilangkan unsur imbuhan masih tetap terjadi. Tengoklah verba dalam puisi-puisi Chairil Anwar. Kerap terjadi penghilangan imbuhan karena sang penyair ingin mengejar kepadatan ungkapan bahasa puisinya. Misalnya, Kita jalan sama (puisi "Kawanku dan Aku"). Ada beberapa makna berbeda yang lahir dari frasa jalan sama.

Apakah kebiasaan kita menghilangkan unsur imbuhan ini dipengaruhi kerja para penyair di masa lalu? Bisa jadi begitu. Yang jelas, hasrat mengejar kepadatan ungkapan dalam percakapan-yang kelak nyelonong ke dalam ragam tulisan-juga tak bisa dihindari. Apakah bentukan ini akan punya pengaruh kepada bentukan yang lain, saya tidak yakin. Ini semacam pengecualian-dengan toleransi yang cukup besar pada bahasa puisi.

Dalam soal ini, kita mesti percaya pada satu kenyataan bahwa dalam penggunaannya yang melintasi ruang dan waktu, bahasa berkembang. Kata-kata akan mendapatkan makna baru sesuai dengan kepentingan pemakainya. Para penyusun kamus kita, sejauh ini, sudah menyadari itu dan menampung makna baru yang didapat kata meninggal (dunia). Makna baru yang seolah-olah berlawanan ini telah memperkaya makna kata induknya: tinggal.

Karena itu, terkait dengan usul Saudara Bagja Hidayat agar kata meninggal dikeluarkan dari lema tinggal, para penyusun kamus tidak perlu ambil peduli. Namun, sebagai usul, boleh-boleh saja, meski argumentasinya lemah dan kurang teliti.

*) Penyair Dan Kritikus Sastra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus