Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Suap 'Sawit' Dari Morotai

Bupati Pulau Morotai Rusli Sibua menjadi tersangka kasus suap untuk Akil Mochtar. Sang Bupati menuntut balik para saksi.

9 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan orang tak dikenal datang berbarengan, lalu berteriak-teriak di halaman Kantor Bupati Pulau Morotai, Maluku Utara, Senin pagi pekan lalu. Mereka membakar ban-ban bekas aneka ukuran di lapangan yang sebelumnya dipakai apel pagi pegawai itu.

Bukannya meninggalkan halaman kantor, pegawai kabupaten yang baru bubar upacara malah bergabung dengan massa. Aksi mereka pun tak kalah serunya. Bahkan sampai ada pegawai yang membakar seragam dinas.

Belakangan, sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai juga bergabung dengan aksi itu. Misalnya Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Al Fatah Sibua dan Kepala Bagian Pemerintahan Mufti Siruang.

Massa tak dikenal, pegawai, dan pejabat kabupaten menyerukan hal yang sama. Mereka menentang langkah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Bupati Pulau Morotai Rusli Sibua sebagai tersangka suap. "Aksi itu merupakan solidaritas untuk mendukung Bupati Rusli," kata Hisbullah, Kepala Bagian Humas Kabupaten Pulau Morotai, Selasa pekan lalu.

Komisi antikorupsi menetapkan Rusli sebagai tersangka pada 25 Juni lalu. Tak terusik oleh unjuk rasa itu, penyidik KPK terus bergerak. Di kantor Kepolisian Resor Ternate, Maluku Utara, penyidik memeriksa sejumlah saksi, antara lain Muhammad Djuffry dan Baharullah A. Karim. Keduanya diperiksa sekitar delapan jam.

Djuffry dan Baharullah diperiksa lantaran diduga mengetahui transfer dana Rp 2,9 miliar ke rekening CV Ratu Samagat milik Ratu Rita, istri bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. "Ini hanya rangkaian pemeriksaan tambahan," ujar ketua tim penyidik KPK, Novel Baswedan, di Ternate.

Dugaan suap ini terkuak dalam penyidikan dan persidangan kasus Akil Mochtar. Akil divonis bersalah antara lain karena terbukti menerima suap Rp 2,9 miliar dari orang-orang Rusli Sibua ketika menangani sengketa pemilihan kepala daerah Morotai di Mahkamah Konstitusi pada 2011.

Atas penetapan dirinya sebagai tersangka, Rusli melawan dengan mengajukan permohonan praperadilan. Namun, menurut pelaksana tugas Wakil Ketua KPK, Johan Budi S.P., keterangan dan bukti yang dimiliki KPK solid. Johan pun mengaku tak khawatir terhadap langkah praperadilan Rusli. "Itu hak tersangka," katanya.

****

RUSLI Sibua berpasangan dengan Weni R. Paraisu dalam pemilihan kepala daerah Kabupaten Pulau Morotai pada 16 Mei 2011. Pasangan nomor urut tiga dari enam peserta ini mendapat dukungan beberapa partai, antara lain Partai Amanat Nasional, Partai Golkar, dan Partai Demokrat.

Lima hari setelah hari pencoblosan, Komisi Pemilihan Umum Daerah Morotai menetapkan pasangan nomor urut pertama, yakni Ahmad Sardan dan Demianus Ice.

Tak mau menerima hasil penetapan KPUD, Rusli dan Weni-yang sempat diunggulkan dalam hitung cepat-menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Rusli menunjuk Sahrin Hamid sebagai kuasa hukumnya. "Saya meminta Sahrin sebagai kuasa hukum saat pendaftaran perkara karena waktunya mepet," ucap Rusli.

Selama persidangan kasus Akil Mochtar, ada tiga saksi kunci yang dihadirkan jaksa. Mereka adalah Sahrin Hamid, Muchlis Tapi Tapi, dan Muhammad Djuffry.

Sewaktu bersaksi di pengadilan, Sahrin Hamid mengaku menghubungi Akil Mochtar ketika proses sidang di Mahkamah Konstitusi baru dimulai. Dalam sengketa pilkada Morotai, Akil menjadi ketua panel, dengan Muhammad Alim dan Hamdan Zoelva sebagai anggota.

Awalnya Sahrin menghubungi Akil melalui layanan pesan pendek. Beberapa hari kemudian, Akil balik menghubungi Sahrin lewat percakapan telepon. Menurut Sahrin, Akil menghubunginya setelah sidang pemeriksaan selesai dan menunggu pembacaan putusan. Akil meminta Sahrin menyiapkan uang Rp 6 miliar, yang harus disetor sebelum putusan dijatuhkan.

Sahrin lantas menyampaikan permintaan Akil kepada Rusli dalam pertemuan di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat. Menurut pengakuan Sahrin, ketika itu Rusli hanya menyanggupi Rp 3 miliar.

Akil bersedia menerima tawaran Rusli. Ia meminta uang segera dikirim ke kantor Akil di Mahkamah Konstitusi. Namun Sahrin menolak permintaan tersebut dengan alasan tidak berani.

Akil lalu meminta Sahrin mengirim uang dengan cara transfer ke rekening CV Ratu Samagat di Bank Mandiri Cabang Diponegoro, Pontianak. Akil meminta setiap pengiriman disertai keterangan "angkutan kelapa sawit" pada kolom berita slip setoran.

Sahrin kemudian menghubungi dua rekannya dari Partai Amanat Nasional, Muchlis Tapi-Tapi dan M. Djuffry. Pada awal Juni 2011, mereka bertemu di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, lalu pindah ke Hotel Borobudur. Kepada Muchlis dan Djuffry, Sahrin menyampaikan permintaan setoran Rp 3 miliar dan meminta keduanya mencarikan dana. "Saya hanya diminta tolong menyiapkan uang," ujar Djuffry.

Djuffry lalu menghubungi seorang pengusaha bernama Petrus Sidarso. Kepada Petrus, Djuffry mengatakan membutuhkan Rp 3 miliar untuk membayar utang. Petrus bersedia memberikan uang dalam dua tahap.

Tahap pertama, Petrus memberikan uang di kantor Bank Jasa di kawasan Kota, Jakarta. Ketika mengambil uang di Bank Jasa, Djuffry ditemani Muchlis Tapi Tapi dan Baharullah A. Karim. Kala itu Petrus memberikan cek tunai senilai Rp 2 miliar. Cek tersebut diuangkan, lalu hasilnya ditukarkan ke mata uang dolar Amerika Serikat. Sisanya, Rp 1 miliar, diberikan Petrus beberapa hari kemudian.

Baharullah mengatakan dia menemani pengambilan uang di Bank Jasa atas permintaan Rusli. "Saya diminta menghubungi Sahrin. Selanjutnya Sahrin yang mengarahkan," kata Baharullah. Muchlis pun mengatakan hal senada. "Saya hanya tahu mengirimkan dana. Saya tidak tahu sumbernya dari mana," ujar Muchlis ketika ditemui Tempo di Boulevard Hotel, Ternate, Senin pekan lalu.

Muchlis dan kawan-kawan mentransfer uang ke rekening CV Samagat secara bertahap. Pertama, pada 16 Juni 2011, uang sebesar Rp 500 juta dikirim atas nama M. Djuffry. Setoran kedua, pada hari yang sama, sebesar Rp 500 juta atas nama Muchlis. Empat hari kemudian, setoran terakhir ke rekening CV Samagat di BCA Tebet sebesar Rp 1,98 miliar atas nama M. Djuffry.

Pada 20 Juni 2011, hari yang sama dengan setoran terakhir Muchlis dkk, Mahkamah Konstitusi menganulir hasil perhitungan KPUD Pulau Morotai. Panel hakim yang dipimpin Akil memenangkan pasangan Rusli-Weni dengan perolehan 11.384 suara, mengalahkan pasangan Ahmad-Demianus, yang disebut memperoleh 7.102 suara.

Seperti ketika bersaksi di persidangan kasus Akil Mochtar, Rusli membantah memerintahkan pengiriman uang ke rekening Ratu Samagat. "Saya tidak tahu," ucapnya Ahad lalu. Dia pun menyangkal bahwa Muchlis, Djuffry, dan Baharullah anggota tim suksesnya. "Sekadar kenal. Mereka bukan tim pemenangan saya," katanya.

Menurut kuasa hukum Rusli, Achmad Rifai, konstruksi hukum penetapan Rusli sebagai tersangka oleh KPK lemah. "Ada missing link. Rusli tak pernah memerintahkan tapi dijadikan tersangka," ujar Rifai.

Rusli pun melaporkan tiga saksi ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama. Mereka adalah Sahrin Hamid, Muchlis Tapi Tapi, dan M. Djuffry. "Mereka menyampaikan informasi yang bohong," ucap Rusli.

Menanggapi laporan pencemaran nama, Sahrin mengatakan hal itu merupakan hak Rusli. Toh, kata Sahrin, selama ini dia hanya menyampaikan apa yang diketahuinya di depan persidangan. "Tidak pernah ke media," ujarnya.

Yuliawati, Istman M.P., Budhy Nurgianto (ternate)


Terseret Suap Akil

Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar divonis hukuman seumur hidup karena menerima suap dan melakukan pencucian uang ketika menangani belasan sengketa pemilihan kepala daerah. Inilah kepala daerah yang terseret kasus Akil.

Pilkada Gunung Mas
Mantan Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Hambit Bintih, divonis empat tahun penjara. Ia terbukti menyuap Akil Rp 3 miliar agar menolak gugatan lawan politiknya.

Pilkada Lebak
Mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana, terbukti menyuap Akil Rp 7,5 miliar. Suap untuk memenangkan pasangan Amir Hamzah dan Kasmin yang kalah dalam pilkada Lebak pada 2013. Di tingkat kasasi, Atut dan Wawan dihukum tujuh tahun penjara.

Pilkada Tapanuli Tengah
Bupati nonaktif Tapanuli Tengah, Bonaran Situmeang, divonis empat tahun penjara karena menyuap Akil Rp 1,8 miliar. Suap itu untuk mengamankan posisi Bonaran yang digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Pilkada Palembang
Bekas Wali Kota Palembang Romi Herton divonis tujuh tahun penjara. Ia terbukti menyuap Akil Rp 14,145 miliar untuk mempermulus langkahnya menggugat hasil penghitungan pilkada Palembang.

Yuliawati, Berbagai Sumber

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus