Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Toleransi Harus Timbal-Balik

15 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para pemilik usaha tempat makan mungkin sudah berancang-ancang tetap buka selama bulan Ramadan tanpa rasa waswas. Musababnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di akun Twitter belum lama ini mencuit bahwa warung makan tak perlu dipaksa tutup karena menghormati muslim yang berpuasa. Menurut Lukman, orang yang tak berkewajiban ataupun tidak sedang berpuasa juga mesti dihormati.

Pernyataan itu menimbulkan kehebohan. Sebagian tweeps (warga Twitter) salut pada pendapat Lukman, tapi ada pula yang tak sepakat. Media massa pun tak bulat mendukung sikap politikus Partai Persatuan Pembangunan itu. Cuit soal warung makan, kata Lukman, lalu dipelintir sejumlah pihak, yang berujung pada perdebatan yang kontraproduktif.

Bukan sekali ini saja sikap dan pernyataan pria kelahiran Jakarta, 52 tahun lalu, itu berbuah perdebatan luas. Dua pekan lalu, nama Lukman kerap nongol di media massa lantaran idenya menampilkan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa dalam peringatan Isra Mikraj di Istana Negara.

Lukman bukannya tak sadar sejumlah gagasannya yang bisa dibilang nyeleneh berujung pada perdebatan. Tapi ia mengatakan sejak awal hanya berniat mengenalkan Islam yang dekat dengan tradisi di Indonesia. "Saya hanya mencari cara menjaga tradisi Nusantara dalam nilai-nilai Islam," ujarnya saat ditemui wartawan Tempo Tulus Wijanarko, Isma Savitri, Erwin Prima, dan fotografer Aditia Noviansyah untuk wawancara di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Rabu dua pekan lalu.

Lukman memang getol mengenalkan Islam yang "ramah". Kehidupan penuh toleransi antar-umat beragama dan Islam yang tidak hitam-putih menjadi impian Lukman. Sejak menjadi Menteri Agama tahun lalu, ia pun bergegas menggarap rancangan undang-undang tentang kerukunan umat beragama. Harapannya, undang-undang itu bisa mengurangi konflik soal agama di Indonesia. Merancang undang-undang yang mengatur hal sensitif seperti agama diakui tak mudah. "Pergulatannya panjang, tapi harus dimulai."

Anda kembali bikin heboh gara-gara tweet soal anjuran agar warung makan tetap buka saat Ramadan. Sebenarnya toleransi seperti apa yang hendak Anda sampaikan?

Jadi ada pengubahan tweet saya sehingga maknanya jadi sangat berubah. Kewajiban saya sebagai Menteri Agama adalah mengajak kaum mayoritas menghargai mereka yang tidak berpuasa, baik yang tidak berpuasa karena tidak berkewajiban untuk itu maupun yang berhalangan. Misalnya orang hamil, sedang menstruasi, ataupun musafir. Toleransi sendiri harus resiprokal. Tentu yang tidak berpuasa, apa pun alasannya, juga mesti menghormati yang berpuasa.

Tidak kapok diserang terus oleh kelompok tertentu karena dianggap terlalu berpemikiran terbuka?

Saya tidak kapok karena toleransi antarsesama adalah kewajiban semua orang. Soal toleransi itu harus dikedepankan pemaknaannya. Caranya, kita harus lebih proaktif dalam menghormati dan menghargai orang lain dibanding menuntut untuk dimengerti ataupun dipahami.

Sebelum ini juga ada kehebohan soal pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa. Itu ide Anda?

Tujuan saya sebenarnya semata menyampaikan kepada publik bahwa muslim Indonesia punya khazanah yang sangat kaya. Di negara lain, seperti Eropa dan Afrika, penyebaran Islam sampai menimbulkan pertumpahan darah. Sedangkan di Indonesia tidak ada setetes pun darah dalam masuknya nilai-nilai Islam. Padahal Nusantara ketika itu sudah cukup lama hidup dengan nilai-nilai Hindu dan Buddha. Bisa kita lihat Wali Songo, yang menyebarkan Islam lewat tradisi Jawa yang kental.

Mengapa kemudian soal langgam Jawa itu jadi polemik?

Sebenarnya pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa itu sudah yang kedua kalinya. Yang pertama di kantor Wakil Presiden, 26 Maret, dalam acara penutupan musabaqah hafalan Al-Quran tingkat Asia-Pasifik. Hanya, saat itu tidak disiarkan langsung oleh televisi sehingga publikasinya tidak seperti sekarang.

Juri-juri terbaik internasional dari Mesir, Arab Saudi, juga Suriah dalam acara itu tak ada yang menyalahkan apalagi mengharamkan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa. Memang makhorijul atau pembacaan hurufnya sudah sesuai dengan kaidah. Itulah mengapa saya merasa cukup pede untuk menampilkannya.

Anda memperkenalkan model akulturasi ini karena menilai masyarakat sudah lupa tradisi?

Tidak melupakan, hanya untuk menjadi ingatan kita. Sebab, dengan adanya globalisasi, sebagian dari kita merasa yang disebut Islam hanya yang datang dari Timur Tengah. Maka tradisi Timur Tengah itulah yang lebih "sah". Padahal, di mana pun di dunia ini, nilai-nilai Islam berakulturasi. Di India, Mesir, Sudan, dan Cina, misalnya, nilai-nilai Islam masuk ke budaya setempat. Di Indonesia pun kearifan pendahulu kita perlu dijaga.

Tapi, setelah terjadi geger, Anda sepertinya malah minta maaf....

Saya sebenarnya tidak ingin ini menimbulkan polemik karena malah tidak produktif. Ini kan persoalan yang ijtihadi atau menimbulkan penafsiran. Ada yang setuju bahkan menganjurkan, tapi ada pula yang mengharamkan, bahkan menganggapnya sebagai penistaan terhadap Al-Quran. Masing-masing punya argumentasinya sendiri. Maaf yang saya sampaikan setulusnya adalah karena saya telah menyebabkan kegaduhan, meski beberapa kalangan melihatnya dari sisi positif.

Apa saja sisi positifnya?

Bagus juga soal ini muncul sehingga umat Islam dituntut untuk mendalami. Sebab, setelah itu banyak orang yang merasa ahli ilmu tajwid dan qiraah sabah. Bagaimanapun saya merasa awam di bidang qoriah. Karena itu, saya tidak dalam posisi menghakimi benar atau salahnya. Ini adalah domain para ulama. Saya semata-mata mengikuti pendapat ulama yang membolehkan bahkan menganjurkan agar tradisi setempat dijaga. Namun saya menghormati pendapat ulama yang berbeda.

Anda sebelumnya tak mengira bakal menimbulkan reaksi penolakan dari sebagian masyarakat?

Saya tidak menyangka ada reaksi seperti ini. Saya dituduh menghina Islam, bahkan saya diminta bertobat. Itulah mengapa saya mohon maaf. Tapi bukan saya harus mengatakan ini salah atau tidak karena itu domain ulama. Saya minta maaf karena hanya berpegang pada satu sisi.

Saya bertanya kepada Yasser Arafat, pelantun Al-Quran dengan langgam Jawa, siapa yang menguji bacaannya. Dia menyebut Ahsin Sakho, Rektor Institut Ilmu Al-Quran, yang memang punya kapasitas untuk menguji. Pak Ahsin berujar tidak apa-apa Al-Quran dilantunkan seperti itu. Bahkan beliau malah menganjurkan.

Jadi sebenarnya banyak ulama yang mendukung Anda soal langgam Jawa?

Itulah mengapa saya berharap ijtima ulama Majelis Ulama Indonesia akan mengeluarkan beberapa fatwa. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga akan mengadakan muktamar, yang di dalamnya ada pembahasan masalah aktual keagamaan. Saya pikir ini menarik dikaji. Saya tentu akan mengikuti pandangan mayoritas ulama seperti apa. Pendapat mayoritas akan jadi acuan pemerintah.

Saat ini pemerintah tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB). Bagaimana cara Anda menyatukan pendapat dan bahkan kepercayaan yang berbeda-beda dalam pembahasan RUU tersebut?

Inilah realitas Indonesia yang sangat majemuk. Karena itu, sejak awal kami sadar tidak bisa memuaskan semua pihak. Tapi setidaknya kami harus banyak mendengar pandangan yang beragam, khususnya dari kalangan yang selama ini jarang didengar oleh negara. Syukur-syukur kalau kami bisa mencari solusi untuk mereka dan pihak lain memiliki empati kepada saudara sebangsanya.

Prinsip pembahasan RUU KUB adalah membangun dialog sebanyak mungkin. Misalnya berdiskusi dengan Indonesian Conference on Religion and Peace, Setara, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Front Pembela Islam, serta organisasi kemasyarakatan lainnya. Kalau dengan FPI, kami sekaligus mendengarkan pandangan mereka soal langgam Jawa.

Seberapa sulit merumuskan materi RUU KUB?

Memang tahapannya ada. Agama kan bukan persoalan yang mudah karena tingkat sensitivitasnya tinggi. Kami memilih pendekatan yang tidak terlalu berlebihan diekspos media karena itu bisa menimbulkan polemik pro dan kontra yang kontraproduktif. Jadi kami kerja saja, membikin kelompok diskusi dengan beberapa tokoh yang mewakili majelis agama, pemerhati hak asasi manusia, atau kalangan yang kami harap masukannya.

Seberapa gentingkah kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia sehingga diperlukan undang-undang tersebut?

Sudah cukup banyak keluhan bahkan jeritan dari saudara kita. Meski mereka bukan mayoritas, semestinya hak-haknya dipenuhi negara. Karena konstitusi menyatakan tiap penduduk dijamin haknya dalam memeluk dan menjalankan agama. Tapi kemudian pertanyaan mendasarnya: yang disebut umat beragama itu yang mana? Agama itu apa? Ini yang selama ini tak kunjung usai disamakan cara pandangnya.

Negara punya kewajiban memberi perlindungan, baik proteksi maupun pelayanan. Tapi negara tidak kunjung memiliki cara pandang yang sama soal agama sehingga kemudian sulit mengklaim apakah kewajibannya sudah tertunaikan atau belum. Masyarakat pun sulit menilai negara sudah menjalankan kewajibannya atau belum karena pengertian agama belum jelas. Kalau selama ini ada enam agama yang diakui, yang di luar itu bagaimana?

Misalnya dalam memandang Lia Eden dan jemaatnya, apakah itu termasuk umat beragama?

Di sini muncul perdebatan di antara kita. Pemerhati hak asasi manusia menilai itu hak Lia Eden dan jemaatnya sebagai warga negara yang harus dilindungi negara. Sedangkan yang lain mempertanyakan dasar agama yang dianut mereka. Agama kan punya definisi sosiologis, teologis, yang selama ini disimpan di bawah karpet saja, tidak pernah dibuka di atas meja untuk dibicarakan bersama.

Sepertinya sulit dan butuh waktu lama untuk merumuskan soal itu di Indonesia....

Ini persoalan yang sangat sensitif dan tidak sederhana. Kita berada di dalam negara yang punya umat muslim terbesar di dunia, tapi juga majemuk. Bukan negara formal Islam, tapi juga bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara yang sejak dulu meletakkan agama pada posisi yang tidak bisa dipisahkan, baik di kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Pancasila kita sarat dengan nilai agama, begitu pun Undang-Undang Dasar 1945. Tapi persoalan seperti ini jarang dibahas untuk dirumuskan dalam undang-undang.

Menurut Anda, dengan adanya undang-undang itu, kegiatan kepercayaan seperti kelompok Lia Eden tak akan menimbulkan gejolak di masyarakat?

Iya. Setidaknya ada cara pandang kita dalam menyikapi kelompok semacam itu. Jangan lalu kemudian negara dianggap abai dan lalai tak memenuhi hak mereka. Tapi kemudian ada juga yang ingin agar negara melarang memenuhi hak mereka karena tidak termasuk komunitas beragama. Kalau definisi agama tidak jelas, orang akan mudah mengklaim bahwa belasan orang saja dengan baju yang sama, dengan ritual tertentu yang bisa dibikin, adalah komunitas agama. Membedakan komunitas agama dengan paguyuban kesenian itu kan sulit.

Gagasan tentang RUU itu apakah juga dilatari kekhawatiran tergerusnya kerukunan umat beragama?

Tantangan bangsa ini di era globalisasi adalah menghindarkan keberagaman sebagai sumber potensi destruktif. Sekarang kan muncul paham agama yang hitam-putih, yang mudah menyalahkan dan "mengkafirkan" pihak lain hanya karena persoalan yang tidak terlalu prinsipiil. Nah, yang begini ini tidak hanya mengancam paham keagamaan Islam yang moderat, yang rahmatan lil alamin, tapi juga mengancam keutuhan negara dan bangsa ini.

Cara pandang kita soal penistaan agama juga belum jelas. Misalnya ada spanduk warga yang menolak Syiah dan Wahabi, yang begini belum diatur regulasi kita. Apakah itu harus dilindungi negara karena bentuk ekspresi ataukah harus dilarang karena secara demonstratif mereka menghina paham kelompok lain di ruang terbuka....

Banyak yang khawatir juga nantinya undang-undang ini malah memberikan kuasa terlalu besar kepada negara untuk mengatur urusan agama seseorang?

Bagi mereka yang konservatif dan fundamentalis, RUU ini dinilai sebagai cara membuat Indonesia menjadi liberal. Di sisi lain, kaum "liberal" khawatir RUU ini adalah cara negara melakukan represi, pengekangan terhadap kebebasan beragama. Karena itu, ini jadi tantangan pemerintah untuk membuka diri dan mendengar masukan dari berbagai pihak. Tapi saya percaya pada akhirnya kearifan yang bicara.

Langkah ini didukung Presiden Joko Widodo?

Ya. Presiden mengatakan perlu kehati-hatian dan kecermatan, juga kesabaran untuk lebih bijak mendengar semua pandangan. Karena, ya, begitulah realitas di Indonesia.

Memangnya undang-undang yang ada selama ini belum cukup mengakomodasi soal penistaan agama?

Aparat penegak hukum kita tak punya payung hukum yang cukup. Padahal kadang ada ceramah yang membandingkan, menjelekkan, bahkan menyalahkan agama lain. Ceramah itu tak hanya di masjid, tapi juga di gereja. Padahal itu kan yang kemudian membakar emosi umat.

Beragama itu saya andaikan seperti kita punya istri atau suami. Saya boleh saja mengatakan istri saya adalah perempuan tercantik sedunia. Itu hak saya dan semua orang akan menghormati itu. Tapi ini akan jadi konflik sosial jika kemudian saya menganggap istri saya paling cantik, sementara perempuan lain jelek semua. Jadi, ya, kita harus mengembalikan agama pada esensinya, memanusiakan manusia.

Di luar RUU ini, apa langkah pemerintah untuk menjaga toleransi antarumat beragama?

Dalam kaitannya dengan pendidikan keagamaan, kami lebih mengedepankan nilai-nilai agama yang menyejahterakan dan memanusiakan manusia. Maka kita memahami semua agama mengajarkan kebajikan. Kami juga lebih memperbanyak forum dialog antarumat beragama. Di beberapa daerah, guru-guru agama juga kami buatkan forum pertemuan antarmereka untuk setidaknya meredam ego masing-masing.

Untuk di pesantren, ada program khususkah? Sebab, sebagian orang mungkin melihat pesantren sebagai tempat tumbuhnya radikalisme.

Saya pikir itu tidak benar. Umumnya lulusan pesantren sangat toleran, menghargai keberagaman pandangan, pun yang prinsipiil. Saya sendiri masih percaya pesantren punya ciri pokok: mengajarkan Islam yang moderat, toleran, tidak pernah mengklaim kebenaran ada pada dirinya, dan cinta tanah air. Belakangan, lalu ada sebagian orang yang manipulatif. Mengatasnamakan pesantren lalu mengajarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan yang diajarkan di pesantren selama ini.

Masyarakat kita selama ini moderat, tapi belakangan ini yang ekstrem terlihat malah mendominasi. Apakah Anda selama ini juga mendapat tekanan dari kelompok ekstrem?

Tentu ada harapan dari mereka agar pemerintah tidak terlalu bebas atau liberal dalam mengatur kehidupan keagamaan. Kami menghormati pandangan itu, tapi tentu kami harus melihatnya secara menyeluruh. Yang ingin saya katakan, perilaku ekstrem itu tidak karena paham keagamaan saja.

Saya lebih percaya tindakan ekstrem yang radikal lebih karena seseorang merasa diperlakukan tidak adil, baik secara politik, ekonomi, maupun hukum, dan menjadikan agama sebagai landasan pembenar. Jadi saya tidak percaya ada konflik agama. Sebab, tidak mungkin agama yang mengajarkan kebajikan itu berujung pada konflik dengan sesamanya. Nalar saya tidak bisa menerima itu....

Sekarang sudah ada Undang-Undang Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Seperti apa nanti implementasinya?

Nanti BPKH akan mengelola dana terkait dengan haji, seperti Dana Abadi Umat dan Setoran Awal Jamaah, untuk kebutuhan jemaah haji. Undang-undang itu sendiri nantinya punya mandat menginvestasikan sebagian dana yang dikelola. Nah, selama ini dana haji yang besar itu hanya bisa ditaruh di sukuk dan deposito, tapi belum ada payung hukumnya. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 nanti, soal investasi itu akan diatur.

Investasinya akan dialokasikan ke mana?

Rencananya akan diinvestasikan ke infrastruktur karena sektor itu yang jarang rugi. Jadi nantinya investasi tidak hanya ke kebutuhan calon jemaah haji, tapi juga ke sektor lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.

Seperti apa pengawasan dananya agar tak malah jadi "bancakan"?

BPKH terdiri atas Dewan Pelaksana dan Dewan Pengawas. Yang terakhir tugasnya sebagai pengawas internal. Sedangkan pengawas eksternal bisa dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa Keuangan. Di rapat terbatas kemarin, kami sudah membicarakan ini dengan Presiden Jokowi.

Anda berencana mengompakkan awal Ramadan dan Lebaran antara NU dan Muhammadiyah. Bagaimana caranya?

Umat kita mendambakan ada cara pandang yang sama dalam menentukan kapan memulai 1 Ramadan dan 1 Syawal. Khas Indonesia, Idul Fitri kan tidak hanya persoalan syariat ibadah maghdoh, tapi juga festivalnya. Maka ada kebutuhan untuk kebersamaan dalam memulainya. Saya sudah bertemu dengan tokoh Muhammadiyah dan PB NU soal ini. Ya, mudah-mudahan ada jalan keluarnya. Ini kan ekspektasi banyak orang juga, saya hanya melanjutkan.

LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 25 November 1962 Pendidikan: Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (1983) | Sarjana (S-1) Universitas Islam As-Syafi'iyah Jakarta (1990) Karier: Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2009-2014, anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009, anggota DPR periode 1999-2004, anggota DPR periode 1997-1999 | Project Manager Helen Keller International, Jakarta (1995-1997) | Kepala Program Kajian Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (1989-1995) Organisasi: Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (1985-1988) | Ketua Badan Pengurus Pengembangan Sumber Daya Manusia NU (1996-1999) | Ketua Lembaga Pusat Pendidikan dan Latihan Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (1999-2003) | Sekretaris Pengurus Harian Pusat DPP PPP periode 2003-2007 | Ketua DPP PPP periode 2007-2012 | Wakil Ketua Umum DPP PPP periode 2011-2015 | Menteri Agama (2014-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus