Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketua Umum Federasi Serikat Musisi Indonesia, Candra Darusman, dilibatkan dalam pembahasan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021.
Candra Darusman mengatakan pembuatan pusat data serta sistem informasi lagu dan musik akan memperbaiki tata kelola royalti.
Menurut Candra, pemerintah sedang menyiapkan peraturan baru tentang pelisensian lagu dan musik di era digital.
PEMBAHASAN Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 telah berlangsung separuh jalan ketika Candra Nazarudin Darusman dilibatkan dalam perumusan drafnya pada tahun lalu. Saat itu Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sedang menggodok aturan tentang pengelolaan royalti hak cipta lagu dan musik tersebut. “Ada desakan dari kondisi, termasuk para musisi yang mengeluh soal pembagian royalti yang jomplang,” kata Candra, 63 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis, 22 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai Ketua Umum Federasi Serikat Musisi Indonesia yang memiliki seabrek pengalaman dalam penegakan hak kekayaan intelektual, Candra memberikan sejumlah masukan. Ia mengatakan peraturan yang disahkan pada 30 Maret lalu itu tak hanya mengatur 14 sektor usaha dan kegiatan yang wajib membayar royalti, tapi juga pembentukan pusat data dan sistem informasi lagu serta musik oleh pemerintah. Tujuannya: pengumpulan royalti lebih efektif dan pembagiannya lebih adil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), yang dibentuk pemerintah untuk menaungi delapan lembaga manajemen kolektif di Tanah Air, menghimpun royalti Rp 80 miliar pada 2019. Jumlah ini meningkat pesat dibanding royalti yang dikumpulkan lembaga manajemen kolektif pertama, Yayasan Karya Cipta Indonesia (KCI), pada 1991. "Saat itu KCI baru mengumpulkan Rp 490 juta," ujar Candra, yang membidani lahirnya KCI. Menurut musikus dan pencipta lagu yang pernah mewakili Indonesia di World Intellectual Property Organization selama 18 tahun ini, pandemi telah menggerus jumlah royalti sepanjang tahun lalu hingga kurang dari separuh angka tahun sebelumnya.
Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus dan Mahardika Satria Hadi, Candra menceritakan pentingnya pusat data lagu dan musik, dampak pandemi terhadap musikus, hingga rencana penerbitan aturan baru tentang pelisensian lagu di era digital. Personel grup musik Chaseiro dan Karimata yang berjaya pada 1970-1980-an itu tidak memungkiri bahwa masih ada sejawatnya yang enggan mengikuti sistem karena ragu terhadap kinerja lembaga manajemen kolektif.
Bagaimana keterlibatan Anda dalam penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021?
Saya sebenarnya baru diikutsertakan di tengah. Sekitar kuartal ketiga tahun lalu. Pembahasannya lumayan cepat karena ini memberikan fondasi secepatnya untuk memperbaiki infrastruktur, yaitu database dan aplikasinya, yang akan memakan waktu paling tidak dua-tiga tahun. Saya masuk untuk memberikan tanggapan, akhirnya diajak sampai selesai.
Apa saja poin krusial yang menjadi perdebatan dalam pembahasannya?
Justru soal database dan aplikasi sempat muncul berbagai pendapat, antara lain siapa yang membiayai pembuatannya. Para pemegang hak cipta menganggap jangan dibebankan kepada mereka. Ini kan inisiatif pemerintah, ya pemerintahlah yang menanggung.
Bagaimana jalan keluarnya?
Akhirnya dicapai kompromi. Yang membangun database pemerintah. Untuk aplikasinya, namanya Sistem Informasi Lagu dan Musik, yang membuat LMKN, para pemegang hak cipta.
Apa pertimbangan pemerintah mengeluarkan aturan ini?
Ada desakan dari kondisi, termasuk para musisi yang mengeluh soal pembagian royalti yang jomplang, tidak adil, tidak ilmiah. Membagi royalti itu tidak gampang prosesnya. Ada puluhan ribu lagu dicocokkan dengan ribuan pemilik. Kalau enggak ada sistem infrastruktur IT (teknologi informasi) yang canggih, hasilnya juga jelek, sehingga timbul anggapan, kok, saya dapat segini, kamu kok dapat segitu.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 terbit di tengah pandemi yang memicu lesunya industri hiburan. Apakah keputusan ini tepat?
Tidak bisa kita mungkiri, PP Nomor 56 mengundang tanggapan yang bermacam-macam. Sebenarnya isi PP Nomor 56 adalah sesuatu yang sudah berjalan sejak 1991. Ketika lembaga manajemen kolektif (LMK) pertama berdiri, namanya Yayasan Karya Cipta Indonesia, royalti bisa dikumpulkan dan dibagikan.
Jika pengumpulan dan pembagian royalti sudah berjalan, mengapa pemerintah perlu mengeluarkan aturan baru?
Ini sebenarnya bertujuan mengingatkan mereka yang belum membayar. Apalagi di masa pandemi semuanya menderita. Sektor usaha suffer, para artis juga suffer. Tapi, menurut hemat saya, terobosannya ada di pasal yang mengatakan pemerintah akan membangun database lagu dan musik secara nasional serta aplikasinya.
Seperti apa tekniknya?
Sekarang ada delapan LMK. Masing-masing punya database. Ini mau digabungkan menjadi satu database yang solid secara nasional. Tujuannya, pertama, ada suatu sumber data yang bisa dipercaya. Kedua, untuk memperbaiki distribusi royaltinya. Itu bukan buat LMKN, tapi buat para anggotanya. Selama ini memang pembagian royalti belum akurat, belum adil, belum baik. Dengan adanya database, data yang terkumpul bisa dipakai untuk membagi royalti.
Bagaimana nasib musikus dan pencipta lagu yang tidak terdaftar sebagai anggota LMKN?
Musisi atau pencipta lagu itu mungkin tidak mendapat royalti. Sesimpel itu.
Apakah LMKN juga memungut royalti dan membayarkannya kepada musikus atau pencipta lagu asing?
Iya, kalau memang lagu asing dipakai. Pemungutan royalti bersifat blanket license atau lisensi paket. Lisensi diberikan kepada si pengguna yang bebas menggunakan lagu apa saja, baik lokal maupun asing.
Bagaimana reaksi musikus atau pencipta lagu yang tidak mendapat royalti?
Yang paling banyak ditanyakan adalah, "Nama saya kok enggak dicantumkan, sih, di YouTube? Rugi, dong." Biasanya saya jawab dengan analogi begini. Suatu saat pemerintah membagikan bantuan sosial melalui kelurahan. Jika Anda terdaftar di kelurahan, mungkin Anda mendapatkan bansos. Kalau tidak terdaftar, Anda pasti tidak mendapat bansos. Jadi kita harus aktif mendaftar karena royalti yang dikumpulkan tersedia di situ (LMKN) dan ditahan dulu. Misalnya ada royalti untuk lagu A yang penciptanya belum mendaftar, LMKN memberi kesempatan selama dua tahun. Kalau yang bersangkutan bisa datang dan mengklaim, royaltinya diberikan.
Apakah semua pemusik, pencipta lagu, dan produser otomatis terhimpun dalam LMK?
Undang-undangnya mengatakan demikian. Kalau Anda ingin mendapatkan royalti, daftarkanlah diri Anda di LMK. Misalnya saya pencipta lagu dan belum mendaftar di LMK, lalu saya menagih sendiri ke stasiun radio, ya pasti ditolak. Walaupun si pencipta lagu berhak menagih langsung karena dia memegang hak eksklusif.
Ada yang menagih langsung seperti itu?
Ada. Ini menyulitkan sistem yang sedang dibangun. Mbok ya masuk ke LMK. Mereka jawabnya begini, "Tapi saya enggak percaya dengan LMK." Wah, ini, ha-ha-ha…. LMK harus bekerja secara baik untuk meraih kepercayaan itu, supaya para musisi yang belum terdaftar di LMKN berduyun-duyun masuk ke sistem besar agar dikelola.
Berapa jumlah penyanyi, pencipta lagu, dan produser yang kini sudah terdaftar di LMKN?
Kalau tidak salah jumlah total anggota delapan LMK hampir 5.000 orang. Itu yang aktif, ya, lagu-lagunya diputar di tempat umum. Tentu masih banyak pencipta lagu yang belum terdaftar atau penyanyi yang mungkin tidak aktif.
Apakah aspirasi dan kepentingan para musikus dan pencipta lagu sudah terakomodasi dalam peraturan ini?
Terwadahi, tapi kita harus terus menyukseskannya karena masih banyak orang yang sinis, masih banyak yang curiga. Wajar, lah. Di Indonesia masih banyak di sana-sini yang menggelapkan uang dengan berbagai alasan. Kondisi ini mempengaruhi state of mind dan state of play LMKN. Tugas LMKN harus meraih kepercayaan.
Bagaimana memastikan pemungutan dan penyaluran royalti berjalan transparan dan akuntabel?
PP Nomor 56 ada lanjutannya. Ada peraturan menteri yang menegaskan LMK dan LMKN harus diaudit.
Berapa royalti yang selama ini bisa dikumpulkan LMKN?
Pada 2019, LMKN berhasil mengumpulkan Rp 80 miliar. Tapi tahun lalu turun menjadi kurang dari setengahnya (karena pandemi Covid-19).
Dari jumlah royalti yang terkumpul itu, berapa nilai nominal yang dapat dikantongi seorang pemusik atau pencipta lagu?
Bervariasi sekali. Ada yang setahun hanya menerima Rp 500 ribu. Ada yang Rp 50 juta. Bisa lebih dari Rp 100 juta kalau lagunya sedang meledak. Ada yang bisa menggantungkan hidup ke situ, ada yang tidak.
Selama ini pemasukan royalti paling besar berasal dari mana?
Karaoke. Bisnis karaoke sebelum pandemi luar biasa.
Dari mana sumber utama penghidupan pemusik dam pencipta lagu?
Konser. Makanya pada masa pandemi ini terpukul banget. Dulu bisa mengandalkan hasil penjualan CD (cakram padat). Misalnya album saya, Detik Waktu: Perjalanan Karya Cipta Candra Darusman, laku 300 ribu keping di gerai KFC. Berapa ratus juta rupiah? Tentunya saya hanya mendapat sedikit, he-he-he…. Sekarang CD boleh dikatakan sudah habis dan digantikan digital, tapi pemasukan digital kecil sekali, misalnya dari streaming.
Seberapa kecil jumlahnya?
Sebagai contoh, Raisa kemarin mengumumkan lagunya telah diputar 20 juta kali. Kalau itu di-stream di Spotify, pencipta lagunya paling tidak bisa mendapat Rp 80 juta. Penyanyinya bisa mendapat lebih banyak. Tapi harus 20 juta streaming. Siapa yang bisa mencapainya kalau bukan Raisa, he-he-he….
Berapa banyak royalti yang biasanya Anda terima?
Bervariasi juga. Kadang-kadang setahun Rp 15 juta, terkadang bisa Rp 100 juta. Tergantung apakah karya saya dipakai juga untuk iklan. Saya termasuk pencipta lagu yang bukan papan atas karena vakum 18 tahun di dunia musik. Akhir-akhir ini baru membuat lagu lagi. Saya bukan contoh yang baik, he-he-he….
Ada pengusaha kafe dan restoran yang mengeluh lantaran aturan baru ini diberlakukan di masa pandemi….
Memang ada yang mengeluhkan, "Ada biaya lagi zaman gini." Tapi harus disadari, lagu adalah bagian dari usaha mereka. Tanpa musik, restoran bisa saja tetap berjalan. Tapi dengan musik bisa datang lebih banyak pengunjung karena suasananya lebih enak.
Berapa royalti yang harus dibayar oleh pengusaha kafe dan restoran?
Restoran yang memiliki 100 kursi harus membayar Rp 12 juta per tahun. Ada jutaan lagu, dia boleh pilih apa saja. Per hari dia membayar sekitar Rp 38 ribu. Satu porsi mi bakso, selesai urusannya, he-he-he….
Candra Darusman, musisi sekaligus ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) saat ditemui di kediamannya di Tangerang Selatan, Jumat 23 April 2021. TEMPO/Nurdiansah
Dari komunikasi Anda dengan para musikus dan pencipta lagu, sejauh mana pandemi berdampak terhadap kehidupan mereka?
Fesmi (Federasi Serikat Musisi Indonesia) sudah melakukan survei dan riset dari awal pandemi hingga satu-dua bulan terakhir. Terlihat banyak musisi beralih profesi karena tidak bisa mengandalkan lagi pemasukan dari musik, terutama para musisi kafe. Mereka terkena pemutusan hubungan kerja karena restoran atau hotel tidak diperbolehkan menggelar live music. Ada yang tabungannya sudah habis, alat musiknya dijual, dan terpaksa mencari bidang lain, misalnya berjualan keripik pedas, sayuran, hingga APD (alat pelindung diri). Mereka terpaksa. Talenta-talenta dihamburkan begitu saja.
Apa upaya Fesmi untuk membantu mereka?
Para musisi itu maunya kesempatan kerja di kafe, restoran, dan hotel dibuka lagi dengan protokol yang ketat. Misalnya pengunjung tidak boleh lebih dari 50 persen kapasitas. Pemain band juga jangan keroyokan. Harus ada sedikit demi sedikit penciptaan lapangan pekerjaan. Ini sedang kami koordinasikan dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pemerintah daerah, kepolisian, dan Satgas (Satuan Tugas Penanganan Covid-19) untuk mencari kompromi. Kita juga tidak mau ada gelombang kedua, kluster baru. Tapi musisi kafe makin lemas.
Bagaimana respons pemerintah?
Pihak kepolisian masih tegas, tidak ada izin.
Apakah musikus yang bisa mengakses dapur rekaman bernasib lebih baik?
Kalau itu jalan terus. Mereka hebat. Musisi yang rekaman kadang-kadang tahan banting. Mereka terus menciptakan single, diedarkan di YouTube, Spotify. Tapi ya pendapatannya ada yang bagus ada yang tidak.
Dalam hal regulasi dan tata kelola royalti musik dan lagu, negara mana yang bisa menjadi standar ideal bagi Indonesia?
Tentunya di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, sudah stabil. Tapi kondisi di Indonesia agak unik karena ada delapan LMK. Di negara lain umumnya hanya satu-dua. Satu untuk hak cipta atau pencipta lagu, satu lagi untuk hak terkait atau penyanyi dan produser. Ada satu contoh yang serupa dengan Indonesia, yaitu Brasil. Di sana juga banyak LMK dan mereka membentuk suatu central agency, namanya ECAD, untuk mengkoordinasikan banyak LMK di sana.
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 belum mengatur lagu dan musik di platform digital. Bagaimana aturan ini dapat melindungi hak cipta dan kepentingan ekonomi para pemusik di tengah pesatnya perkembangan teknologi?
Akan ada peraturan pemerintah baru yang mengatur soal pelisensian lagu di era digital. Tidak bisa dimungkiri bahwa inovasi, dalam arti cara-cara baru mengeksplorasi musik lewat Spotify, YouTube, atau platform digital lain, tidak bisa ditahan. Ada peningkatan secara eksponensial dalam hal orang menikmati musik dengan mudah. Tapi ada komersialisasi yang enggak boleh dilupakan. Ini akan ditata lebih baik.
Apa pendekatan berbeda yang diusung dalam peraturan baru nanti?
Kalau zaman dulu, sebelum era digital, dalam perundingan itu meja sisi sini adalah para pencipta lagu dan penyanyi, di sisi sana perusahaan rekaman atau label. Mereka "berantem" soal royalti dan lain-lain. Sekarang di sisi meja sebelah sini pencipta, penyanyi, dan produser. Di sisi sana perusahaan teknologi, platform-platform digital itu. Jadi pertempurannya berubah, konstelasinya berubah. Yang membuat sulit adalah kadang-kadang para pemilik label bekerja sama dengan perusahaan teknologi. Jadi dia mau berada di sisi mana?
Perusahaan rekaman semestinya tidak berada di satu kubu dengan platform digital?
Tidak ada salahnya. Saya enggak mengkritik, ya. Ini hanya suatu perkembangan, dinamika perpolitikan musik di dunia. Kerja sama antara label rekaman dan platform digital cukup erat. Namun yang dikehendaki adalah, kalau mau berunding, pencipta lagu dan penyanyinya diajak juga. Tapi enggak bisa disalahkan juga karena terkadang ada perusahaan label mewakili penyanyi karena penyanyinya ada kontrak dengan si label. Tapi ada juga penyanyi yang tanpa label, memiliki label sendiri. Maka peraturan pemerintah yang baru nanti mencoba menyeimbangkan posisi setiap pihak. Jangan satu berdiri tinggi, satu berdiri rendah.
Benarkah munculnya platform digital membuat isu pembayaran dan pembagian royalti lagu dan musik menjadi lebih rumit?
Lebih rumit dan lebih tricky karena teknologi berjalan terus. Cara baru eksploitasi musik dengan TikTok, Twitch, bahkan Facebook juga akan masuk. Semua pihak ingin merumuskan peraturan, tapi atas moving target, sesuatu yang bergerak terus.
CANDRA NAZARUDIN DARUSMAN | Tempat dan tanggal lahir: Bogor, Jawa Barat, 21 Agustus 1957 | Pendidikan: S-1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1976) | Karier: Pegawai Citibank; Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia; Periset di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia; Perwakilan Indonesia untuk World Intellectual Property Organization (2001-2019); Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia (sejak 2019); Musikus, Pencipta Lagu, Penata Musik, Penyanyi, dan Penulis Buku (1978-sekarang) | Organisasi: Direktur Persatuan Artis Pencipta Lagu, Penata Musik Rekaman Indonesia (1987-2001); General Manager Yayasan Karya Cipta Indonesia (1991-2001); Sekretaris Jenderal Yayasan Musisi Indonesia (1995-2001); Anggota Dewan Hak Cipta; Anggota Tim Penanggulangan Pembajakan; Anggota Tim Perancang Undang-Undang Kebudayaan; Anggota Tim Perancang Undang-Undang Hak Cipta | Diskografi: Album Solo: Indahnya Sepi (1981), Kekagumanku (1983); Kompilasi: Detik Waktu: Perjalanan Karya Cipta Candra Darusman (2018); Bersama Chaseiro: Pemuda (1979), Bila (1979), Vol. 3 (1981), Ceria (1982), Persembahan (2001), Retro (2011), Retro 2 (2014); Bersama Karimata: Pasti (1985), Lima (1987), Biting (1989), Karimata-Dave Valentin (1990), Jezz (1991) | Penghargaan: Album Musik Terbaik 2018 AMI Awards untuk Detik Waktu
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo