Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Tidak Semua Dokter Siap

Direktur Utama Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Mohammad Syahril, menekankan pentingnya alat pelindung diri dalam perawatan pasien Covid-19. Selama satu bulan terakhir, rumah sakit yang dia pimpin telah menangani puluhan kasus yang berkaitan dengan infeksi virus corona. Belasan pasien berstatus positif Covid-19 masih dirawat intensif di ruang-ruang isolasi.

4 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Direktur Utama Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Mohammad Syahril/TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • RSPI Sulianti Saroso menjadi rumah sakit rujukan utama untuk perawatan pasien-pasien Covid-19 yang kondisinya berat.

  • Membeludaknya penderita Covid-19 sempat membuat gentar para dokter dan perawat di RSPI Sulianti Saroso karena takut tertular.

  • Alat pelindung diri (APD) menjadi perlengkapan utama bagi staf medis yang setiap hari kontak langsung dengan pasien positif virus corona.

MELONJAKNYA jumlah penderita Covid-19 mengingatkan Mohammad Syahril pada peristiwa Januari lalu. Saat itu, ia menghadapi dampak wabah penyakit yang disebabkan oleh virus corona tersebut selepas dilantik menjadi Direktur Utama Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso. RSPI merawat sejumlah pasien rujukan yang menderita gejala terinfeksi virus yang pertama kali muncul di Kota Wuhan, Cina, tersebut. “Daerah endemis kan sudah ada, misalnya Wuhan. Jadi, begitu ada orang yang baru kembali dari Wuhan, juga dikirim ke sini,” kata Syahril, 57 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Selasa, 24 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Syahril, sejak mengumumkan wabah virus corona sebagai darurat kesehatan global pada akhir Januari lalu, Badan Kesehatan Dunia menetapkan kriteria orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP). Kala itu, virus telah menewaskan lebih dari 200 orang di Cina dan menginfeksi 9.000 orang di 19 negara. RSPI Sulianti Saroso sejak itu telah mempersiapkan diri. Tapi, saat virus corona jenis baru ini terdeteksi di Indonesia, RSPI tetap kewalahan menangani pasien.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak menerima dua pasien pertama positif Covid-19 pada 29 Februari lalu, satu per satu orang yang diyakini terinfeksi dirujuk ke rumah sakit yang terletak di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, itu. Membeludaknya pasien membuat ruang isolasi yang semula hanya 11 kamar diperbanyak. Dokter dan perawat sempat keteteran, bahkan gentar saat mendapati bahwa virus dari tubuh pasien telah menginfeksi beberapa kolega mereka di rumah sakit lain hingga tewas. “Dokter dan perawat kan juga manusia,” tutur Syahril, yang sampai harus menenangkan staf medisnya.

Syahril menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Nur Alfiyah, di kantornya yang merupakan zona hijau dan aman untuk dikunjungi. Dokter spesialis paru ini menceritakan pengalaman staf medis rumah sakitnya dalam menangani penderita Covid-19, kebutuhan alat pelindung diri, hingga pengobatan pasien. Wawancara dilengkapi dengan percakapan melalui WhatsApp pada Selasa dan Jumat, 31 Maret dan 3 April lalu.

Lonjakan jumlah pasien Covid-19 sempat membuat tenaga medis di RSPI Sulianti Saroso kewalahan dan sampai kekurangan ventilator. Bagaimana ceritanya?

RSPI hanya mempunyai empat ruang perawatan intensif (ICU) isolasi dan tiga dokter spesialis anestesi. Lonjakan pasien yang datang dengan keluhan berat atau kritis yang memerlukan ventilator cukup membuat repot. Tapi sekarang sudah ada tambahan dua ventilator yang siap pakai dan sudah berjalan persiapan penambahan 12 ruang yang dapat memakai ventilator.

Apakah fasilitas dan tenaga medis di RSPI masih mencukupi?

Masih cukup. Kalau tidak salah, 15 Maret lalu kami sudah menjadi rumah sakit khusus Covid. Tidak lagi menerima pasien non-Covid. Instalasi gawat darurat pun tidak lagi menerima pasien non-Covid.

Dengan tenaga medis dan fasilitas yang memadai, kenapa masih ada pasien Covid yang meninggal di rumah sakit ini?

RSPI adalah rumah sakit rujukan Covid. Artinya, pasien-pasien tersebut sebagian besar ditangani di rumah sakit sebelumnya. Bahkan ada pasien yang dirujuk sudah dengan kondisi berat dan memakai ventilator. Semua pasien selalu ditangani secara intensif karena dikategorikan pasien darurat. Dari data pasien yang meninggal, sebagian besar mempunyai penyakit komorbid, di antaranya diabetes mellitus, hipertensi, kelainan jantung, dan ginjal. Ada pula pasien dengan komplikasi infeksi sekunder sampai sepsis.

Bagaimana Anda menjelaskan soal adanya pasien yang ditolak RSPI Sulianti Saroso hingga meninggal karena terlambat ditangani?

Sebetulnya bukan penolakan, tapi saat itu ruang isolasi di RSPI sudah penuh. Pasien Covid harus dirawat di ruang isolasi, bukan di ruang rawat biasa. Jadi pasien dirujuk ke rumah sakit rujukan lain, seperti Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto dan Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. RSPI adalah rujukan akhir. Artinya, hanya menerima rujukan dari rumah sakit-rumah sakit lain yang tidak menangani atau tidak mampu menangani pasien Covid lebih lanjut atau pasien dengan sakit sedang sampai berat.

Kapan rumah sakit ini pertama kali menangani pasien yang diduga terinfeksi virus corona?

Kami telah merawat pasien sejak Januari-Februari lalu. Rujukan dari rumah sakit lain. Hasil tesnya negatif semua.

(RSPI Sulianti Saroso pertama kali merawat dua perempuan yang diduga terinfeksi virus corona, akhir Januari lalu. Mereka pasien rujukan dari Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, yang mengalami gejala terinfeksi corona, seperti batuk, demam, dan sakit tenggorokan. Salah satu pasien pernah ke Wuhan.)

Bagaimana perawatan terhadap mereka?

Dirawat di ruang isolasi. Sejak zaman flu burung pada 2003 ada 11 ruangan isolasi ketat. Satu ruangan satu pasien supaya memutus rantai penularan virus. Di dalamnya ada mesin bertekanan negatif, AHU (air handling unit) untuk mengatur sirkulasi udara agar ruangan senantiasa bebas virus.

Pasien-pasien itu rujukan dari mana saja?

Rumah sakit swasta di Jabodetabek, termasuk dari kantor kesehatan pelabuhan. Kan, mereka pakai thermal scanner semua. Begitu ada (terduga suspek) dikirim ke sini. Daerah endemis kan sudah ada, misalnya Wuhan. Jadi, begitu ada orang yang baru kembali dari Wuhan, juga dikirim ke sini. Kami memeriksa dari gejala dan riwayat kontak atau riwayat bepergian.

Apakah situasi yang dihadapi staf medis ketika itu masih kondusif?

Untungnya saat itu hasilnya masih negatif. Begitu Presiden Joko Widodo mengumumkan dua kasus pasien positif pertama, 2 Maret lalu, penambahan pasien jadi cepat. Empat pasien pertama dirawat di sini.

Bagaimana kondisi mereka saat pertama kali dirawat?

Pasien 01, menurut kami, orangnya proaktif dan melihat dunia luar. Dia tahu persis tentang Covid. Artinya, begitu mengalami gejala, dia ngomong sama dokternya (di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, Jawa Barat). Makanya langsung dirujuk ke sini bersama ibunya (pasien 02). Ibunya juga sangat kooperatif dan siap dengan apa pun, walaupun awalnya dia stres juga.

Berapa lama rumah sakit memperoleh hasil pemeriksaan sampel pasien 01 dan 02 dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan?

Dua hari. Hasilnya langsung disampaikan ke Menteri Kesehatan lewat PHEOC (Public Health Emergency Operations Center). Semua hasil pemeriksaan disetor ke sana. Setelah disampaikan ke publik lewat konferensi pers oleh juru bicara penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, baru ditindaklanjuti rumah sakit.

Dalam rentang waktu dua hari itu, bagaimana prosedur dokter dalam menangani pasien yang ternyata sudah positif terkena Covid?

RSPI sudah punya standar operasional prosedur bahwa perlakuan semua pasien yang dirawat di ruang isolasi sama dalam persiapan dan penanganannya. Semua dokter dan petugas yang masuk ke ruang isolasi harus memakai alat pelindung diri (APD) lengkap. Pemakaian dan saat melepas APD itu diawasi langsung oleh Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi. Jadi semuanya harus dan sangat wawas diri untuk keamanan dan keselamatan petugas itu sendiri.

Sebelum ada pasien 01 dan 02, berapa orang yang telah datang untuk memeriksakan diri?

Pada Januari lalu itu banyak orang panik, “Wuhan… Wuhan….” Di sekitar sini kan banyak perusahaan Cina juga. Mereka telepon ke sini berbondong-bondong, mau diperiksa bebas corona dan segala macam. Akhirnya kami membuat posko 24 jam untuk melayani informasi, edukasi, dan konsultasi. Banyak orang panik karena enggak ngerti.

Seheboh apa keadaan saat itu?

Setiap hari ada 100-150 orang ke posko. Ada yang datang tengah malam karena ingin diperiksa duluan. Tapi, setelah kami beri penyuluhan, kalau ternyata tidak apa-apa, kami minta dia pulang. Jika ada yang perlu diperiksa, ya kami periksa. Ada juga yang harus diambil sampel dahaknya dengan swab karena demam dan flu berat. Kami rawat untuk menjaga kondisinya, diberi infus, oksigen, segala macam.

Siapa saja orang-orang itu?

Mereka yang habis bepergian dari Cina, Singapura, atau Malaysia. Kan, negara-negara itu lebih dulu (ada kasus) daripada Indonesia. Memang rata-rata orang datang ke sini karena ketakutan dan kekhawatiran tadi. Tapi ada juga beberapa perusahaan asing yang memaksakan ada surat bebas corona. Setelah kami beri penjelasan, mereka paham bahwa tidak ada tes untuk bebas corona. Sampai sekarang kami tidak pernah mengeluarkan surat bebas corona.

 

Mohammad Syahril, Direktur Utama Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso saat ditemui Tempo, Jakarta 24 Maret 2020./TEMPO/Nurdiansah

Apakah orang-orang yang hasil tesnya negatif tidak menunjukkan gejala?

Kami harus memastikan. Begitu mereka datang ke posko, kami screening. Ada yang ternyata tidak apa-apa, ada yang diminta periksa darah atau roentgen. Begitu diperiksa darah dan roentgen, hasilnya aman saja, tidak apa-apa. Bagi yang batuk diberi obat batuk dan obat penurun panas untuk yang demam.

Penambahan pasien Covid setelah pasien 01 dan 02 itu membuat staf medis rumah sakit kelabakan?

Ini baru pertama kami menangani banyak pasien wabah. Kalau flu burung dulu kan sedikit. Dokter dan perawat juga sempat ketakutan. Mereka bertanya ke saya, “Bagaimana nasib kami? Bagaimana jaminan kesehatan untuk kami?” Itu yang paling berat buat saya. Mereka kan juga manusia, punya rasa takut.

Apa yang Anda lakukan saat itu?

Saya coba mengajak mereka berdiskusi, menasihati, bahwa bekerja di rumah sakit ini kan pilihan mereka. Jadi tidak ada lagi alasan untuk tidak mau melakukan apa pun. Kedua, negara sedang memanggil. Jadi perjuangan bukan hanya dengan mengangkat senjata. Diskusi seperti itu berulang kali, sampai saya datangi dokter satu per satu. Jangan dikira dokter-dokter saya tidak protes sana-sini. Tidak semua dokter siap, lho, apalagi kalau bukan dokter spesialis paru.

(Berdasarkan data RSPI Sulianti Saroso, dari total 62 dokter, ada 8 dokter spesialis paru dan 4 dokter penyakit dalam spesialis infeksi yang menjadi dokter penanggung jawab pasien Covid-19.)

Bukankah sejak Januari lalu sudah menangani pasien dengan dugaan terinfeksi virus corona?

Tapi, begitu ada kasus positif, lebih banyak lagi yang datang. Sampai ada dokter yang bilang, “Pak, kami takut, mau istirahat saja di rumah.” Apalagi setelah ada kasus perawat dan dokter yang meninggal karena ini. Covid menyerang siapa saja dan di mana saja. Jangankan kami yang bekerja di rumah sakit, menteri saja ada yang kena. Tapi saya selalu tekankan ke staf medis bahwa kita bisa enggak kena asalkan patuh terhadap pencegahan melalui APD.

Pernah ada tenaga medis yang terinfeksi?

Ada yang pernah kena. Seorang perawat sempat positif, tapi sudah sembuh. Itu saya sampaikan sehingga tenaga medis yang lain tidak panik.

Bagaimana perawat itu bisa tertular?

Dia merawat pasien yang positif sehingga kontak erat. Mungkin pas daya tahan tubuhnya sedang tidak fit. Pertama ketahuan dari gejala. Kami juga rutin mengecek semua pegawai lewat pemeriksaan medis. Pegawai yang berisiko paling tinggi lebih dulu diperiksa, diambil sampel swab semua. Setelah itu baru pegawai di bagian lain. Nanti diulang setiap dua minggu atau ketika diperlukan.

Siapa saja pegawai yang berisiko tinggi terinfeksi?

Mereka yang bertugas di ruang isolasi, unit perawatan intensif, instalasi gawat darurat, laboratorium, sampai petugas kebersihan. Selain dokter dan perawat, analis kesehatan yang mengambil sampel swab dahak itu berisiko. Mereka kontak langsung dengan pasien.

Seperti apa standar ruang isolasi untuk pasien Covid?

Ruangannya berukuran 3 x 3 meter, ada kamar mandi dalam, televisi, interkom, hingga kamera pengawas. Tadinya ada 11 ruang isolasi, sekarang diperluas menjadi 30 ruang. Ruang tambahan tidak bertekanan negatif tapi punya standar isolasi. Ruangannya nyaman. Setiap hari ada visite, dari dokter, perawat, petugas kebersihan, sampai pengantar makanan. Makanya APD itu menjadi senjata utama.

Berapa kebutuhan APD di rumah sakit ini?

Untuk satu pasien, kami butuh 20 set APD lengkap dalam satu hari satu malam. Harus sekali pakai kalau pasiennya positif. Bayangkan jika ada 26 pasien positif, butuh berapa? Nah, itu enggak gampang. Rumah sakit rujukan lain juga mengalaminya.

(Berdasarkan data per 31 Maret lalu, RSPI Sulianti Saroso telah menangani 95 kasus terkait dengan virus corona. Sebanyak 24 pasien masih dirawat intensif, 57 sudah sembuh, dan 14 meninggal. Dari 24 pasien yang masih dirawat, sebanyak 18 orang positif Covid-19, sisanya berstatus PDP. Adapun jumlah ODP mencapai 2.644.)

Benarkah pasokan APD sempat terhambat?

Sebagai rumah sakit pemerintah, kami memang ada anggaran pemerintah. Tapi kami tidak menyetok sedemikian banyak karena kami enggak tahu akan seperti ini.

Bagaimana solusinya?

Kami terkadang mengefisienkan. Kalau enggak perlu banget memakai APD, ya bisa enggak harus pakai. Misalnya sarung tangan biasanya dobel, karena untuk efisiensi, yang dilepas bagian luarnya saja, yang bagian dalam dipakai lagi. Itu salah satu cara.

Sering terjadi seperti itu?

Itu salah satu cara apabila kami melakukan efisiensi. Tapi, saat stoknya ada, ya enggak usah. Harus memakai APD standar lengkap. Kami mematok standar tertinggi, enggak boleh main-main.

Apakah pernah kehabisan APD?

Bukan kehabisan, tapi stoknya menipis karena tidak gampang mencarinya. Ada duitnya, tapi barangnya enggak ada.

Persediaan APD yang ada sekarang cukup sampai kapan?

Pihak swasta banyak yang membantu kami. Ada Yayasan Buddha Tzu Chi, Human Initiative, dan lainnya. Dari Yayasan Buddha Tzu Chi ada 600-an APD dan beberapa ventilator. Saat ini masih cukup untuk beberapa minggu ke depan.

Selama ini, bagaimana RSPI Sulianti Saroso mendapatkan APD?

Kami beli langsung ke distributor lokal. Pemerintah memberi uang ke kami, kami yang beli. Tapi, dengan kondisi sekarang, banyak distributor kehabisan APD. Pemerintah lalu mengambil jalan, salah satunya dengan mengimpor beberapa ton APD dari Cina.

 


 

MOHAMMAD SYAHRIL

Tempat dan tanggal lahir: Lahat, Sumatera Selatan, 23 Juli 1962 • Pendidikan: Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah (1988); Dokter Spesialis Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta (2003); Magister Manajemen Rumah Sakit Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2011) • Karier: Kepala Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta (2006-2011); Direktur Utama Rumah Sakit Paru Ario Wirawan, Salatiga (2011-2013); Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta (2013-2015); Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Dr Mohammad Hoesin, Palembang (2015-2020); Direktur Utama Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr Sulianti Saroso, Jakarta (sejak Januari 2020) | Penghargaan: Gold Champion of Indonesia WOW Service Excellence Award (2016), Penghargaan/Sertifikat Akreditasi Internasional Rumah Sakit dari Joint Commission International (2016)

 


 

Bagaimana jika stok APD di distributor juga habis?

Kami dapat dari donatur. Kami enggak tahu mereka dapat dari mana. Sebagian juga berasal dari donasi masyarakat.

Apakah tidak memperoleh APD dari pemerintah?

Kemarin sudah dapat 1.500 unit. Bantuan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, diserahkan lewat Dinas Kesehatan DKI Jakarta.

Apa tantangan lain yang dihadapi selama menangani kasus corona?

Membeludaknya pasien. Yang antre banyak. Makanya perlu rumah sakit darurat penanganan Covid-19 di Wisma Atlet. Rumah sakit yang bukan rujukan, kirimlah pasien ke situ. Rumah Sakit Wisma Atlet bisa menerima langsung pasien atau pasien rujukan yang kondisinya ringan sampai sedang. Biarlah kami berfokus pada pasien yang kondisinya berat.

Apa saja pengobatan yang diberikan bagi pasien Covid?

Terapi Covid-19 menggunakan, antara lain, azitromisin, isoprinosin, klorokuin difosfat atau hidroklorokuin, dan vitamin C. Obat Avigan baru datang per 31 Maret lalu.

Klorokuin diperoleh dari mana?

Klorokuin ada banyak. Bantuan dari PT Indofarma (Persero) Tbk. Itu obat malaria zaman dulu.

Bagaimana pihak rumah sakit menangani dampak psikis pada pasien yang diisolasi lama?

Kami ada psikolog. Berdasarkan diagnosis dokter penanggung jawab, bisa diketahui pasien tertentu perlu konsultasi. Dokter kan bisa tahu pasien yang mengalami stres atau trauma.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus