Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Uni Eropa dan sejumlah kalangan merespons aturan baru tentang ekspor produk kehutanan yang menghapus syarat V-Legal.
Berawal dari lobi pengusaha mebel ke Istana.
Perbedaan pendapat Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kehutanan mewarnai rapat koordinasi.
REGULASI baru tentang ekspor produk industri kehutanan yang diterbitkan Kementerian Perdagangan pada pertengahan Februari lalu menarik perhatian Vincent Piket. Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia ini menyatakan akan menilai dampak aturan tersebut terhadap fungsi Perjanjian Kemitraan Sukarela antara Uni Eropa dan Indonesia dalam perdagangan produk kayu. “Kami telah meminta konsultasi resmi dengan pemerintah Indonesia,” kata pria berkebangsaan Belanda ini kepada Tempo, Kamis, 26 Maret lalu.
Kebijakan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020. Diteken Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pada 18 Februari lalu, regulasi ini mengubah ketentuan ekspor produk industri kehutanan yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2016 juncto Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2017.
Ketentuan terbaru yang akan efektif berlaku pada Mei mendatang tersebut menghapus kewajiban melampirkan dokumen V-Legal bagi eksportir produk kehutanan. Padahal dokumen V-Legal selama ini menjadi tanda bahwa kayu yang dimanfaatkan industri telah memenuhi semua aspek dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Dikembangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2009, SVLK merupakan mekanisme untuk meredam illegal logging, yang kala itu tercatat telah melenyapkan 24 juta hektare hutan Nusantara hanya dalam waktu dua dekade. Lewat SVLK, pemerintah mewajibkan pelaku industri kehutanan melaporkan rencana dan realisasi produksi industri, asal-usul kayu, hingga pemenuhan kewajiban pembayaran kepada negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penerapan penuh SVLK terhadap semua pelaku industri kehutanan pada 2015 pula yang menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang mengantongi Forest Law Enforcement, Governance, and Trade License dari Uni Eropa. Lisensi yang diberikan pada 2016 tersebut menjamin setiap kayu dari Indonesia tak perlu melalui pemeriksaan khusus untuk masuk ke pelabuhan di negara-negara Eropa karena diyakini bukan hasil pembalakan liar.
Vincent Piket belum bersedia menjelaskan lebih detail langkah yang bakal ditempuh Uni Eropa, juga dampak terhadap pasar kayu Indonesia di Benua Biru kelak, atas terbitnya aturan baru tersebut. Saat ini, ia menyatakan masih menunggu hasil konsultasi resmi dengan pemerintah.
Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), kelompok sipil yang turut serta dalam skema pengawasan publik di SVLK, khawatir kebijakan baru Kementerian Perdagangan bakal membuat pemasaran produk kayu ilegal makin marak. Juru kampanye JPIK, Muhammad Ichwan, menilai longgarnya aturan perdagangan di industri hilir kehutanan berpotensi kembali memicu pembalakan liar di industri hulu. “Ini ancaman yang bisa mencoreng citra produk kayu Indonesia,” ucap Ichwan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
DESAKAN agar industri hilir tidak diwajibkan dalam mekanisme SVLK sebenarnya mengemuka sejak skema verifikasi ini diterapkan ke semua rantai pasok produk kehutanan pada 2015. Setahun terakhir, lobi pengusaha kembali menggeliat lewat Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI).
Perkumpulan yang dulu bernama Asosiasi Mebel dan Kerajinan Republik Indonesia ini memang dekat dengan lingkaran pemerintah. Rachmat Gobel, pengusaha yang juga mantan Menteri Perdagangan dan kini menjabat Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, salah satu anggota dewan pembinanya. Dalam daftar anggota HIMKI juga tertera PT Rakabu Furniture, perusahaan mebel yang dibangun Presiden Joko Widodo.
Pada 3 Agustus 2019, HIMKI melayangkan surat kepada Joko Widodo. Surat yang diawali dengan ucapan selamat atas terpilihnya kembali Jokowi sebagai Presiden RI tersebut disertai sejumlah rekomendasi dan catatan hasil Rapat Pimpinan Nasional HIMKI pada 25 Juli 2019 di Bali. Pada intinya, HIMKI menilai SVLK merupakan salah satu hal yang melemahkan daya saing industri mebel dan kerajinan Indonesia. Mereka mengusulkan pemerintah mengubah status SVLK menjadi voluntary alias sukarela dari semula mandatory. Sebulan berikutnya, 9 September 2019, warkat berisi tuntutan serupa dilayangkan kepada Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Rekomendasi HIMKI tersebut sempat dipaparkan Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian saat itu, dalam rapat koordinasi terbatas, September 2019. Dalam konferensi pers, kala itu Darmin menyatakan sejumlah pengusaha mebel kayu dan rotan mengusulkan SVLK tak lagi diberlakukan terhadap produk ekspor dengan negara tujuan yang tidak mensyaratkan verifikasi legalitas. Setelah itu, sejumlah rapat digelar di Kementerian Koordinator Perekonomian untuk menindaklanjuti usul ini dengan melibatkan Kementerian Perdagangan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Seorang pejabat di lingkungan kementerian yang mengetahui serangkaian rapat tersebut mengungkapkan, semula muncul kesepakatan bahwa segala urusan tentang penerbitan bukti legalitas kayu diatur terpisah di Kementerian Kehutanan. Sedangkan tata kelola perdagangannya, termasuk soal lembaga surveyor, diatur Kementerian Perdagangan. Rencana awalnya, dua aturan dari kedua kementerian tersebut diberlakukan bersamaan.
Persoalan utama, kata dia, muncul dari gagasan memisahkan industri hulu dan hilir kehutanan dalam skema mandatory SVLK. Kementerian Kehutanan menilai wacana ini bakal meruntuhkan citra SVLK dan produk ekspor Indonesia di mata pasar internasional. Begitu pula gagasan mensyaratkan V-Legal hanya untuk ekspor ke negara tujuan yang memintanya, seperti Uni Eropa. Itu sebabnya, menurut sumber Tempo tadi, Kementerian Kehutanan sempat menginginkan aturan lembaga surveyor dan penerbitan V-Legal tak dipisahkan. “Tapi belakangan Kementerian Perdagangan tetap menaikkan draf yang hanya mengatur lembaga surveyor,” ujarnya.
Sumber lain Tempo di Kementerian Kehutanan menerangkan, dalam rapat terakhir, kementeriannya menolak membubuhkan paraf terhadap draf yang disodorkan Kementerian Perdagangan. Meski demikian, Kementerian Kehutanan melanjutkan rapat untuk menyusun draf rancangan peraturan menteri tentang V-Legal. “Tapi Kemendag tiba-tiba menerbitkan aturan baru lebih dulu dengan (V-Legal) hilang sama sekali,” tuturnya. “Ini tekanan lain buat kami.”
Sekretaris Jenderal HIMKI Abdul Sobur/Foto: dok.pri
Hingga Jumat, 3 April lalu, upaya Tempo meminta tanggapan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar tak membuahkan hasil. Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan yang merangkap sebagai pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Bambang Hendroyono, juga tak merespons pesan dan panggilan telepon dari Tempo mengenai aturan baru Kementerian Perdagangan tersebut. Sekretaris Kabinet Pramono Anung pun tak membalas pertanyaan Tempo mengenai surat HIMKI kepada Istana Negara.
Konfirmasi justru datang dari Sekretaris Jenderal HIMKI Abdul Sobur. Dia mengklaim sempat menemui Menteri Siti Nurbaya pada 20 Desember 2019 karena Kementerian Kehutanan tak kunjung merespons rekomendasi HIMKI. “Selama ini kami mendapat dukungan penuh dari Kementerian Perindustrian dan Kemenko Perekonomian dalam perjuangan menghapus SVLK di industri hilir,” ucap Sobur kepada Tempo, Rabu, 25 Maret lalu.
Menurut Sobur, SVLK selama ini menjadi penghambat dan penyebab utama berkurangnya daya saing ekspor produk mebel serta kerajinan nasional lantaran terlalu banyak menuntut kelengkapan persyaratan. Banyak pemeriksaan, kata dia, tak berhubungan dengan kayu bahan baku industri di hilir. Dalam surat rekomendasinya ke Istana, September 2019, HIMKI mengingatkan bahwa tak semua produk mebel menggunakan kayu hasil hutan, tapi juga dari kebun.
Sobur hakulyakin pembebasan kewajiban SVLK bakal menggenjot ekspor furnitur dan kerajinan. “Diproyeksikan tumbuh di kisaran 8-10 persen,” ujarnya.
•••
SEJAK menjabat pelaksana tugas Asisten Deputi Peningkatan Ekspor dan Fasilitasi Perdagangan Internasional Kementerian Koordinator Perekonomian pada November 2019, Ichsan Zulkarnaen mengikuti sejumlah pembahasan tentang rencana penerbitan Peraturan Kementerian Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020. “Permendag ini menindaklanjuti ratas (rapat terbatas) dengan Presiden untuk mempermudah eksportir kayu, furnitur, mebel. Arahannya langsung dari Presiden,” kata Ichsan saat dihubungi Tempo, Kamis, 2 April lalu.
Menurut dia, lantaran diterbitkan di tengah kondisi wabah Covid-19, akhirnya peraturan itu turut dimasukkan ke paket kebijakan stimulus nonfiskal dalam bentuk penyederhanaan dan pengurangan jumlah larangan dan pembatasan aktivitas ekspor. Namun Ichsan menampik jika aturan baru ini diartikan telah menghapus sepenuhnya SVLK dan V-Legal. Sebab, peraturan Kementerian Perdagangan itu hanya menghilangkan kewajiban penyertaan V-Legal di industri hilir.
Selama ini, Ichsan melanjutkan, dokumen V-Legal dalam SVLK merupakan bagian dari persyaratan yang tercantum pada perjanjian dagang Indonesia dan Uni Eropa. “Negara yang tak meminta V-Legal tak usah diberi, kan?”
Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan berargumen serupa. Mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri tersebut menuturkan, banyak keluhan dari pengusaha kayu dan mebel yang mengekspor produk ke negara tanpa syarat V-Legal layaknya di Uni Eropa. “Kebutuhan negara tetangga yang tak mensyaratkan apa-apa jadi tak terpasok karena terganjal di sini (pelabuhan Indonesia),” ucap Oke saat dihubungi pada Rabu, 25 Maret lalu.
Menurut Oke, jika industri kayu di hulu ketat menerapkan SVLK, legalitas semua produk industri hilir akan otomatis terverifikasi. Maka, dia menambahkan, yang penting saat ini adalah meningkatkan jaminan dan pengawasan ketat terhadap bahan baku di hulu yang menjadi tugas Kementerian Kehutanan.
Namun tak semua pengusaha mebel sependapat dengan HIMKI dan Kementerian Perdagangan. Wakil Ketua Bidang Regulasi dan Sertifikasi Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia, Robert Wijaya, tak menganggap SVLK sebagai penghambat laju pertumbuhan ekspor furnitur dan kerajinan kayu. Sebaliknya, dia menjelaskan, SVLK selama ini justru menguatkan posisi tawar produk olahan kayu Indonesia di pasar global. “Bagaimana SVLK bisa diakui sampai Uni Eropa ini melalui perjalanan panjang karena memang usaha memerangi ilegal logging,” kata Robert kepada Tempo, Rabu, 25 Maret lalu.
Dia mengingatkan, data menunjukkan ekspor furnitur meningkat setelah penerapan SVLK. Badan Pusat Statistik bahkan mencatat industri furnitur dalam daftar lima industri dengan nilai pertumbuhan ekspor terbesar pada 2019, yakni mencapai US$ 1,95 miliar, atau naik sekitar 14.6 persen dibanding 2018. Pada periode yang sama, nilai ekspor industri kerajinan naik 3 persen menjadi US$ 892 Juta.
Menurut dia, biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi SVLK lebih murah ketimbang sertifikasi internasional seperti dari Forest Stewardship Council (FSC) dan Programme for the Endorsement of Forest Certification. “Biaya FSC itu dua-tiga kali lebih mahal dari SVLK,” tutur Robert.
Alih-alih menerbitkan peraturan yang membuat fungsi SVLK timpang, Robert beranggapan, pemerintah semestinya memilih langkah lain jika memang bertujuan menumbuhkan industri furnitur. Dia mencontohkan, pemerintah sebenarnya bisa memperbaiki iklim investasi lewat kemudahan legalitas perizinan, bantuan restrukturisasi mesin, hingga perluasan akses industri terhadap pinjaman perbankan.
AISHA SHAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo