Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Masih Banyak Isu Belum Disentuh Kartunis Asia Tenggara

Kartunis Malaysia, Zulkiflee Anwar Ulhaque atau Zunar, akhirnya dapat mewujudkan pameran kartun se-Asia Tenggara. Pameran bertajuk The ASEAN Human Rights Cartoon Exhibition yang berlangsung secara virtual sepanjang Mei 2021 ini menyuguhkan 100 karya dari 37 kartunis asal Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Myanmar. Karya mereka antara lain menggambarkan pelanggaran hak asasi manusia hingga pembatasan kemerdekaan berpendapat di negara masing-masing dan kawasan Asia Tenggara. Zunar, yang dikenal berani mengkritik pemerintah Malaysia, berulang kali dilarang menerbitkan buku, ditangkap, dan bahkan didakwa dengan tuntutan 43 tahun penjara. Ia harus memenuhi panggilan polisi pada 7 Mei lalu karena salah satu karikaturnya di Facebook dianggap menyerempet isu rasisme.

15 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH sekitar enam tahun memimpikan pameran kartun se-Asia Tenggara yang mengangkat isu hak asasi manusia, Zulkiflee Anwar Ulhaque atau Zunar, 58 tahun, akhirnya dapat mewujudkannya. Kartunis Malaysia yang dikenal karena keberaniannya mengkritik pemerintah itu mengajak kartunis serumpun menyuarakan berbagai persoalan kekerasan, represi, dan pembatasan kemerdekaan berpendapat di negara masing-masing. ASEAN Human Rights Cartoon Exhibition, pameran tersebut, berlangsung secara virtual sepanjang Mei ini. Di sana dipamerkan 100 karya dari 37 kartunis asal Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Myanmar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari Indonesia, misalnya, muncul karikatur bergambar sebongkah tengkorak dengan timbunan emas di matanya, sementara di pucuk kepalanya berjubel ratusan orang berwajah merana. Karya Tommy Thomdean ini diberi judul Save Papua: Is There Profit over Human Rights?. Sementara itu, kartunis Thailand, Erdy, menggambar sebuah tangan dengan borgol bertulisan “112”. Section 112 dalam hukum Thailand adalah aturan yang menerabas siapa pun yang dianggap menghina raja dan keluarganya. Kartunis lain juga menyoroti persoalan pengekangan media, impunitas aparat, dan pembunuhan di luar hukum. Situasi di Myanmar menjadi sorotan khusus dalam pameran. Sebuah sesi pameran bernama The ASEAN Human Rights Cartoon Exhibition Solidarity Gallery dihadirkan untuk karya-karya karikatur yang mendukung rakyat Myanmar, yang sejak 1 Februari lalu berada di bawah kekuasaan militer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah penyelenggaraan pameran, Zunar juga berhadapan dengan ancaman kebebasan berekspresi dari negaranya sendiri. Dia terancam melanggar hukum komunikasi dan multimedia serta Kanun Keseksaan (Penal Code) Malaysia untuk sebuah kartunnya di Facebook yang menggambarkan Menteri Besar Kedah Muhammad Sanusi Md. Nor membelah empat orang, yang merepresentasikan empat kelompok ras, dengan sebuah golok. Sesungguhnya Zunar sudah kenyang akan tindakan represif negara atas karya seninya. Dia pernah didakwa atas sembilan tuduhan sekaligus terkait dengan pasal penghasutan terhadap pemerintah dengan ancaman hukuman penjara 43 tahun. Dia juga pernah dicegah bepergian ke luar Malaysia setelah menerima Cartooning for Peace Prize dari Kofi Annan di Swiss pada 2016. Namun Zunar tak pernah gentar. “Why pinch when you can punch?” adalah prinsip yang ia pegang dengan kuat.

Lewat wawancara virtual pada Selasa, 4 Mei lalu, bersama awak redaksi majalah Tempo, Zunar berbagi cerita tentang penyelenggaraan pameran, kebebasan berekspresi, dan perkembangan kartun politik di negara-negara Asia Tenggara.

Bagaimana ASEAN Human Rights Cartoon Exhibition ini bermula?

Ide mengadakan sebuah pameran yang melibatkan kartunis se-Asia Tenggara ini sudah saya kemukakan lima-enam tahun yang lalu. Ide awalnya adalah pameran fisik, bisa di Kuala Lumpur atau Jakarta. Namun untuk mewujudkannya perlu banyak sekali biaya. Kami sudah menghubungi sejumlah lembaga dan NGO (lembaga swadaya masyarakat), terutama yang bergerak di bidang kebebasan berekspresi, tapi akhirnya gagal mendapatkan biaya yang diperlukan. Tahun lalu saya terpikir bagaimana kalau diadakan secara online. Biayanya mungkin tidak banyak dan tidak perlu juga mengundang kartunis untuk datang langsung.

Barangkali Covid-19 ini blessing in disguise (tertawa) karena kita dapat lebih kreatif mengusahakan sesuatu yang dampaknya sama tapi dengan biaya minim.

Usaha mengadakan pameran dimulai pada September dengan mengontak teman-teman kartunis lewat telepon dan e-mail. Untuk di Jakarta cukup mudah karena saya ada kontak dengan Pakarti (Persatuan Kartunis Indonesia), jadi saya sendiri yang urus. Di Filipina juga saya ada kontak dengan kartunis senior di sana. Yang cukup rumit adalah menghubungi Thailand dan Myanmar. Pada mulanya mengusahakan Kamboja juga. Sebab, kalau ingin menggelar pameran yang membawa nama ASEAN, sekurang-kurangnya harus ada lima negara.

Mengapa mengambil tema hak asasi manusia?

Tema HAM adalah salah satu masalah yang paling banyak disorot kartunis di seluruh dunia. Tapi biasanya yang menjadi perhatian adalah isu HAM di Amerika Serikat, Israel, Korea Utara, atau Cina. Juga kartunis ASEAN. Sering kartunis ASEAN lantang mengkritik isu atau pemimpin negara lain tapi diam terhadap isu di negara sendiri. Untuk pameran ini, saya ingin semuanya melukis tentang negaranya sendiri. Tak mau lagi tentang Kim di Korea Utara atau Presiden Amerika karena sudah ramai yang menggarap itu.

Bagaimana tanggapan para kartunis saat menerima undangan?

Baik sekali. Respons paling ramai dari Indonesia karena Indonesia punya sejarah kartun politik yang panjang. Malaysia tidak punya sejarah panjang tentang editorial kartun. Kebanyakan kartunis Malaysia memilih tidak menyentuh politik. Kalau di Thailand tinggal golongan muda, kartunis senior sudah tidak ada. Pada 1980-an, saya turut serta sebuah pameran kartun di Tokyo. Di situ saya bertemu dengan banyak kartunis Thailand yang menggambar untuk Bangkok Post, The Nation. Sekarang saya mencoba menghubungi mereka kembali, tapi ternyata mereka sudah tidak eksis. Ada kekosongan yang besar sehingga tinggal yang muda. Saya tidak tahu mengapa.

Di Thailand, saya lihat kartunis muda sekarang juga bagus. Cuma, mereka tak lagi berkarya di media, tapi melalui media sosial. Yang menarik, beberapa kartunis muda Thailand menyanggupi ikut pameran yang saya adakan, tapi memberi syarat agar identitas mereka tidak disertakan. Mereka takut akan keselamatan diri. Salah satunya kartunis yang sangat populer di sana. Kartun mereka banyak menyinggung isu terkait dengan kerajaan yang sangat sensitif di Thailand. Di sana mengkritik raja tidak boleh.

Itu berbeda dengan Filipina. Di Filipina, dari dulu sampai sekarang begitu subur budaya kartun politiknya. Pada zaman Ferdinand Marcos demikian banyak kartunis politik yang mengkritiknya. Selepas Marcos pun, walaupun ada kekangan, karikaturis masih dibenarkan, tak punya masalah. Para kartunis Filipina itu kalau mengkritik sampai mengkritik karakter kepala negaranya. Kalau di Indonesia tidak, lebih mengkritik isunya.

Mengapa kartunis Filipina bisa berani?

Saya tak bisa menjawab secara pasti. Tapi saya menduga karena mereka punya sejarah yang panjang, jadi lebih berani. Mereka juga sangat dekat dengan Amerika. Kartunis terkenal Filipina seperti Corky Trinidad tinggal di Florida. Angelo Lopez juga di Amerika. Kalau kita lihat betul, cara mereka berkartun mirip budaya Amerika, yang juga bertumpu pada karakter.

Pada informasi peluncuran acara, ada nama kartunis Myanmar, Lailone (Salai), tapi ternyata dia tidak hadir. Apa yang terjadi?

Awalnya ada tiga kartunis dari Myanmar yang setuju ikut. Kami berhubungan lewat media sosial. Mereka dari grup Irrawaddy, kelompok yang kuat. Namun, ketika sampai tenggat mengumpulkan karya, hanya Salai yang menyerahkan. Dua orang lagi tak dapat dihubungi. Bulan April, Salai juga sudah tak bisa lagi dihubungi. Tebakan saya ada dua. Pertama, karena Internet sudah tak bisa lagi digunakan di sana. Kedua, mungkin mereka sudah begitu takut karena sekarang makin banyak jurnalis yang dibunuh. Ancamannya sudah fisik, penembakan, dan sebagainya.

Bagaimana dengan negara seperti Kamboja, Laos, dan Vietnam?

Masalahnya, di sana korannya tidak dahsyat. Mereka juga tidak mendapat tempat di koran-koran, cuma bisa lewat media sosial. Tapi, di sana, media sosial pun dikawal sangat ketat. Di Vietnam, media sosial langsung dipantau oleh pemerintah. Militer datang ke kafe-kafe Internet. Makanya begitu sukar. Kedua, komunitas kartunis di sana juga tak banyak. Sedikit yang ada, terus dihambat. Sama seperti di Singapura.

Media massa Singapura bukannya sudah maju?

Pernah dengar nama Morgan Chua? Pada 1980-an, Morgan sangat terkenal di Asia. Ia bekerja untuk Far East Economic Review. Dia pernah mengkritik Lee Kuan Yew dan harus kabur ke Hong Kong. Yang terbaru, baru tiga-empat tahun lalu, Leslie Chew didakwa dengan pasal hasutan karena komiknya di Facebook (Demon-cratic Singapore). Saya sempat mewawancarainya di Singapura. Dia tidak mau dipotret dan didampingi pengacara. Dia bilang kepada saya, “Pak Zunar punya banyak pendukung di Malaysia, sementara di Singapura tidak ada seorang pun yang mendukung saya.” Padahal karyanya populer.

Apakah kesulitan itu yang menyebabkan hanya lima negara yang ikut serta dalam pameran ini?

Betul. Kami mau semuanya ikut, tapi tidak mungkin. Tujuan kami mengadakan pameran bersama ini sebenarnya agar semuanya dapat bergabung dan berbagi supaya kartunis Asia Tenggara bisa menjadi lebih kuat. Mungkin kita tidak dapat saling menolong, tapi setidaknya bisa memberi semangat.

Bagaimana kondisi kartunis di Myanmar secara umum?

Myanmar punya kelompok karikatur Irrawaddy. Sebelum periode Aung San Suu Kyi, mereka eksil di Thailand. Saya bertemu dengan mereka di Bangkok ketika itu. Namun, ketika saya ke Rangoon pada 2015, mereka sudah bisa pulang ke Myanmar dan bisa menggambar untuk koran. Itu bagus sekali. Saya sendiri malah tak bisa melukis di koran Malaysia. Tampaknya, pada periode awal Suu Kyi naik, kartun di Myanmar subur lagi. Secara umum, seni dan budaya mereka juga berkembang. Saya datang ke sana untuk Human Rights Film Festival. Bayangkan, mereka berani memutar film pendek tentang saya di bioskop-bioskop besar. Wah, padahal film yang sama di Malaysia tidak boleh masuk bioskop. Malah di Malaysia ketika disiarkan di tempat kecil pun langsung didatangi polisi. Jadi ketika itu saya berpikir ada harapan bagus untuk Myanmar. Tapi sekarang Myanmar jadi represif lagi.

Bagaimana pengalaman Anda sendiri sebagai kartunis di Malaysia?

Saya sudah didakwa dan ditangkap tujuh kali. Dari 18 buku saya, 9 diharamkan, selebihnya makruh, ha-ha-ha.... Karena yang tidak dilarang secara resmi pun tetap tidak boleh dibaca. Penerbit dan percetakan buku saya didatangi polisi. Ada yang sampai tiga kali, jadi mereka tidak berani lagi. Kebanyakan kartunis di Malaysia tidak menyentuh isu politik, lebih banyak isu sosial.

Apa beda kartun politik dan kartun sosial?

Kartun politik menggugah kebijakan kerajaan (pemerintah) secara terang-terangan. Sasarannya adalah orang berkuasa, seperti perdana menteri dan presiden. Begitu juga aparat lain, seperti mahkamah (pengadilan), kepolisian, atau badan pencegah korupsi. Sedangkan kartun sosial tidak menceritakan itu. Kartun sosial, misalnya, mengeluhkan naiknya harga bahan bakar. Tapi tidak dibawa ke pucuk masalahnya, yaitu aktor politik yang menyebabkan harga bahan bakar itu mahal.

Mengapa Anda masih berani?

Karena pendukung saya banyak, walaupun saya tidak tahu persis jumlahnya. Ketika saya mendapat sembilan tuduhan atas hasutan pada 2015 dan harus membayar jaminan sebanyak 45 ribu ringgit dalam semalam, saya sampaikan itu di media sosial. Saya bilang saya butuh bantuan uang paling lama besok pagi, kalau tidak saya akan dipenjara. Lalu saya cantumkan nomor rekening. Besok paginya uang yang masuk tak hanya mencukupi (untuk bayar jaminan), bahkan lebih. Ada yang mengirim dari luar negeri, seperti Swiss dan Inggris. Ini yang membuat saya tahu bahwa saya punya pendukung.

Mengapa karya Anda begitu ditakuti pemerintah?

Alasan resmi yang disampaikan kerajaan (pemerintah) ketika melarang buku kartun saya adalah buku itu dianggap mengganggu ketenteraman publik dan dapat menghilangkan kepercayaan kepada kerajaan. Buku-buku saya ditakutkan akan mengubah pandangan anak muda terhadap perpolitikan Malaysia. Jadi anak muda yang ditakuti, orang-orang yang bisa membuat perubahan.

Bagaimana situasi kartun politik di Indonesia menurut Anda?

Dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia punya lebih banyak kartun politik. Misalnya, di antara 100 kartunis Malaysia, hanya 10 yang berbicara politik. Kalau di Indonesia mungkin 50-60 kartun politik. Padahal kartunis di Malaysia lebih banyak daripada Indonesia. Kami bahkan punya banyak majalah kartun, sementara di Indonesia tidak ada majalah kartun.

Zulkiflee Anwar Ulhaque atau Zunar, kartunis Malaysia, saat mengajar dasar-dasar melukis kartun di Kuala Lumpur, Malaysia, Februari 2021. Dok. Pribadi

Indonesia punya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengancam kebebasan berekspresi di media sosial. Bagaimana dengan di Malaysia?

Ada juga. Saya hari Jumat nanti, 7 Mei (wawancara dengan Zunar dilakukan 4 Mei), diminta hadir di kantor polisi karena salah satu karikatur saya di Facebook yang menyentuh isu rasisme. Saya dikenai dua undang-undang, yaitu aturan multimedia dan komunikasi serta Kanun Keseksaan. Aturan ini ditujukan untuk melindungi pemerintah. Kalau saya mengkritik perdana menteri (PM), sepatutnya PM yang menuntut saya. Tapi, dengan kanun ini, polisi dapat bertindak atas nama PM. Polisi dapat langsung menangkap orang karena mengkritik PM.

Di Malaysia yang baru diperkenalkan sekarang adalah aturan berita tidak benar (fake news). Orang yang menyebarkan fake news bisa dihukum, tapi definisi tidak benar itu kerajaan yang tentukan. Ini dibuat selepas PM Muhyiddin Yassin bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada Februari lalu. Sehabis pertemuan itu, Jokowi memasang foto mereka di akun Facebook resminya. Ternyata orang-orang Malaysia ramai beri komentar negatif mengenai Muhyiddin di postingan itu. Orang Malaysia tak pernah punya peluang menyampaikan kritik kepada PM karena dia jauh dengan rakyat, tak seperti Joko Widodo. Dia tak pernah sekali pun memberi konferensi pers, rakyat tak bisa bertanya. Jadi kritik terhadap Muhyiddin malah disampaikan lewat akun Facebook Jokowi. Komentar itu di-screenshot oleh masyarakat dan disebar lewat WhatsApp. Memang komentar-komentarnya sangat keras.

Baru-baru ini bergulir kasus Malaysiakini yang terjerat Multimedia Act karena komentar publik kepada situs mereka. Apakah kartunis juga dapat terkena pasal serupa atas komentar publik dalam karya-karya mereka?

Kasus Malaysiakini adalah satu kasus yang berniat jahat. Ini pendapat saya. Tujuannya untuk menekan dan menutup Malaysiakini sebagai satu-satunya media yang masih independen dan tak dapat dikontrol kerajaan. Pertama, sumber masalahnya hanya komentar. Ada satu berita yang dikomentari oleh lima netizen, lalu ada laporan polisi terhadap komentar itu, lantas mahkamah memutuskan Malaysiakini yang harus bertanggung jawab atas siapa pun yang berkomentar di platform mereka. Hal ini macam menghukum Malaysiakini. Sementara itu, saya mendapat informasi dari sumber di Malaysiakini bahwa mereka tak dapat menelusuri asal-mula komentar tersebut. Dugaan saya pribadi, komentar ini datang dari kerajaan sendiri. Dengan cara ini, kartunis juga bisa saja ditangkap gara-gara komentar pada karyanya.

Bagaimana kesimpulan Anda tentang perkembangan kartun di Asia Tenggara?

ASEAN ini ibarat pertumbuhan tanpa tulang belakang. Di sinilah peran kartunis. Kartunis seharusnya punya power. Masih banyak isu hak asasi manusia dan rasialisme yang belum disentuh oleh kartunis Asia Tenggara. Kartunis bisa menganalisis isu-isu itu. Jadi jangan dianggap kartunis adalah semata pembuat lelucon.


Nama:
Zulkiflee Anwar Ulhaque (Zunar)

Tempat dan tanggal lahir:
Kedah, Malaysia, 15 Mei 1962

Pendidikan:
Pernah belajar sains di Universiti Teknologi Malaysia

Pekerjaan:
Kartunis politik Malaysia

Penghargaan:
• Courage in Editorial Cartooning Award oleh Cartoonists Right Network International (2011)
• Cartooning for Peace Award (2016)
• Human Rights Watch Hellman/Hammett Award (2011 dan 2015)
• International Press Freedom Award, Committee to Protect Journalist, New York, Amerika Serikat (2015)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus