Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Nur Ansar, menanggapi keputusan Pengadilan Tinggi Semarang yang membebaskan Daniel Frits Maurits Tangkilisan atau Daniel Tangkilisan dari semua tuduhan hukum. Dalam keputusan nomor 374/PID.SUS/2024/PT SMG, dinyatakan bahwa Daniel Frits dibebaskan karena terbukti sebagai aktivis pembela lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengadilan Tinggi Semarang mengabulkan permohonan banding aktivis lingkungan hidup Karimunjawa, Daniel Tangkilisan, lepas dari tuntutan hukum. Melalui putusan No. 374/Pid.Sus/2024/PT SMG, Pengadilan Tinggi Semarang mengabulkan permohonan banding Daniel lepas dari tuntutan hukum dan memberikan koreksi atas putusan sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daniel sebelumnya dikriminalisasi akibat unggahan di media sosialnya yang menyorot limbah tambak udang ilegal di Taman Nasional Karimunjawa. Daniel seorang aktivis
lingkungan yang secara terang benderang mengomentari mengenai pencemaran lingkungan yang tidak tuntas terselesaikan karena limbah tambak udang illegal.
Meskipun Daniel dinyatakan bebas, Ketua Majelis Hakim Suko Priyowidodo dan anggota majelis lainnya tetap sependapat dengan Pengadilan Negeri Jepara bahwa tindakan Daniel merupakan ujaran kebencian sesuai Pasal 28 ayat 2 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), kata Nur Ansar dalam pernyataan tertulisnya pada Rabu, 22 Mei 2024.
Keputusan Pengadilan Tinggi Semarang ini, menurut Nur, menjadi contoh baik penerapan ketentuan Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-SLAPP) yang diatur dalam Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023.
Keterangan saksi di persidangan Pengadilan Negeri Jepara juga menunjukkan bahwa Daniel adalah pembela lingkungan. "ICJR menilai inilah yang menjadi dasar majelis hakim Pengadilan Tinggi untuk membebaskan Daniel," ujarnya.
Nur menambahkan bahwa kasus Daniel seharusnya tidak layak diproses sejak awal karena memberikan dampak buruk terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia. Daniel telah ditahan selama lima bulan hanya karena unggahannya mengenai dampak tambak udang di Karimun Jawa, ujarnya.
Putusan ini, lanjut Nur, menunjukkan bahwa masih ada penegak hukum yang salah dalam menafsirkan pasal ujaran kebencian, khususnya terkait kebebasan berekspresi. Nur mencatat bahwa laporan terhadap Daniel Tangkilisan seharusnya tidak diteruskan sejak awal. Ketika berkas perkara diserahkan kepada Kejaksaan Negeri Jepara dengan tuduhan Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, jaksa sebenarnya bisa menghentikan perkara ini, katanya.
Anti-SLAPP sebagai pertimbangan
Jaksa sudah memiliki pedoman terkait Anti-SLAPP yang bisa digunakan sebagai pertimbangan. Begitu pula pada tahap pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jepara, yang seharusnya mempertimbangkan lebih teliti mengenai ketentuan Anti-SLAPP. Namun, putusan bebas atas dasar Anti-SLAPP baru muncul di tingkat banding, kata Nur.
Nur juga menyatakan bahwa SLAPP digunakan untuk membungkam partisipasi publik dalam menjaga lingkungan hidup, mengalihkan perdebatan publik ke ranah hukum, dan menguras energi pihak terlapor. Dalam kasus Daniel, tujuan SLAPP tersebut bisa dikatakan tercapai karena Daniel dan pembela lingkungan lainnya di Jepara harus fokus mengurus masalah hukum, jauh dari isu lingkungan. "Negara justru gagal melindungi hak atas lingkungan yang sehat bagi masyarakat," ujarnya.
Menurut Nur, kesalahan penafsiran terhadap ujaran kebencian masih berlanjut. Pengadilan Negeri Jepara telah salah menafsirkan tindakan Daniel sebagai ujaran kebencian tanpa mempertimbangkan pro dan kontra di masyarakat serta tujuan pemidanaan yang mencegah tindakan main hakim sendiri.
Pendapat majelis hakim tersebut jauh dari pemenuhan hak asasi manusia. Keputusan hakim di tingkat banding yang sependapat dengan putusan bersalah Daniel menunjukkan bahwa kesalahan majelis hakim PN Jepara tidak diperbaiki oleh hakim tingkat banding.
Penafsiran ujaran kebencian seharusnya dibatasi berdasarkan instrumen internasional seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik. Selain itu, dengan adanya perubahan rumusan Pasal 28 ayat (2) dalam UU ITE terbaru, berdasarkan prinsip lex favor reo dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP, Daniel seharusnya diputus bebas karena tidak terbukti bersalah.
Selain itu, penerapan pasal ujaran kebencian harus mempertimbangkan niat jahat dari yang dilaporkan dan ujaran yang disampaikan atas dasar identitas yang melekat dan permanen, bukan hanya kepada masyarakat umum. Kasus Daniel yang menimbulkan pro dan kontra ini jelas tidak layak dikategorikan sebagai ujaran kebencian dalam UU ITE, kata Nur.
Apa itu SLAPP?
Dilansir dari ICEL, SLAPP, singkatan dari Strategic Lawsuit Against Public Participation, adalah gugatan hukum yang diajukan dengan tujuan utama untuk menyensor, mengintimidasi, dan membungkam kritik. Gugatan ini biasanya diajukan oleh pihak-pihak yang kuat dan berkuasa terhadap individu atau kelompok yang menyuarakan pendapat atau melakukan aksi yang tidak mereka sukai.
Tujuan utama SLAPP bukanlah untuk memenangkan kasus di pengadilan, melainkan untuk membebani pihak tergugat dengan biaya hukum yang tinggi, sehingga mereka tidak mampu melanjutkan kritik atau aksinya. Hal ini dapat menciptakan efek "chilling effect", di mana orang lain menjadi enggan untuk menyuarakan pendapatnya karena takut akan tuntutan hukum.
Anti-SLAPP adalah mekanisme hukum yang dirancang untuk melindungi partisipasi publik dari SLAPP.Mekanisme ini dapat berupa undang-undang, peraturan, atau jurisprudensi yang memberikan perlindungan hukumkepada individu atau kelompok yang menjadi sasaran SLAPP.
Selama 10 tahun terakhir, tahun 2022 merupakan tahun yang paling banyak terjadi SLAPP di Indonesia. Menurut data ICEL ada 26 kasus SLAPP terjadi sepanjang tahun 2022, jika dibandingkan pada tahun sebelumnya sebesar 24 kasus.
MICHELLE GABRIELA | IKHSAN RELIUBUN I IRSYAN HASYIM