Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

ASEAN Terjebak Kudeta Militer Myanmar

Negara-negara ASEAN tidak satu suara menyikapi kudeta militer Myanmar, terjebak antara prinsip non-intervensi dan asas demokrasi dalam Piagam ASEAN.

9 Februari 2021 | 15.05 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) pada Senin meminta Myanmar untuk mencari "dialog, rekonsiliasi, dan normalisasi situasi" setelah militer Myanmar melakukan kudeta menjatuhkan pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kami tegaskan kembali bahwa stabilitas politik di Negara Anggota ASEAN sangat penting untuk mencapai Komunitas ASEAN yang damai, stabil dan sejahtera," kata ASEAN pada 1 Februari, dikutip dari Reuters.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua ASEAN saat ini, Brunei Darussalam, menegaskan agar pihak yang berseteru di Myanmar mematuhi prinsip yang tertuang dalam Piagam ASEAN, termasuk kepatuhan pada prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum dan pemerintahan yang baik, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.

Pada awal-awal kudeta anggota ASEAN tidak memberikan satu suara menyikapi kudeta Myanmar.

"Itu urusan internal mereka," kata wakil perdana menteri Thailand Prawit Wongsuwan kepada wartawan ketika ditanya tentang kudeta di tetangga utara negara itu.

Menteri Luar Negeri Filipina, Teodoro Locsin Jr, mengatakan apa yang terjadi di Myanmar bukan kudeta dan menyamakan situasi di Myanmar dengan "gerakan catur" yang mungkin dilakukan untuk melindungi demokrasi di negara tersebut, Rappler melaporkan.

Pemimpin Kamboja Hun Sen juga menyebut kudeta militer Myanmar sebagai "urusan dalam negeri" negara itu, dan menolak memberikan komentar lebih lanjut.

"Kamboja sama sekali tidak mengomentari urusan dalam negeri negara mana pun, baik dalam kerangka ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) atau negara lain," katanya.

Negara anggota ASEAN lain punya sikap lain pula. Indonesia, Singapura, dan Malaysia, mengungkapkan kekhawatirannya atas situasi di Myanmar dan meminta semua pihak berdialog.

Sehari kemudian pada hari Selasa, 2 Februari, Filipina mengubah retorikanya atas situasi Myanmar dengan mengatakan pihaknya memandang pengambilalihan militer oleh pemerintah Myanmar dengan "keprihatinan yang mendalam".

Sementara Brunei Brunei Darussalam, Vietnam, dan Laos, belum mengeluarkan pernyataan terkait kudeta Myanmar.

Sebagai organisasi internasional, ASEAN telah mengumandangkan prinsip non-intervensi yang ketat dari tiap-tiap negara anggota, yang tertuang pada pasal 2 Piagam ASEAN. Tetapi di satu sisi, Piagam ASEAN juga mendesak negara anggota mematuhi asas demokrasi, HAM, dan pemerintahan konstitusional.

Beberapa pengecualian pasal non-intervensi memang pernah terjadi, menurut The Diplomat, yakni ketika Topan Nargis melanda Myanmar pada 2008. ASEAN merespons kemarahan internasional atas buruknya penanganan bencana oleh pemerintahan militer Myanmar.

Dan ketika negara ASEAN, meski dalam tingkatan yang terlampau minimal, mengungkapkan keprihatinan atas genosida Rohingya oleh militer Myanmar.

Ribuan massa menggelar aksi unjuk rasa memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar, 7 Februari 2021. REUTERS/Stringer

Hanya segelintir negara ASEAN yang prihatin dengan kudeta di Myanmar. Pada 5 Februari Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin membahas masalah di negara tetangganya.

Kedua kepala negara sepakat untuk menggelar pertemuan khusus mengenai perkembangan di Myanmar.

Presiden Jokowi mengatakan hukum yang ada harus ditaati untuk mewujudkan visi komunitas ASEAN. "Terutama prinsip Rule of Law, good governance, demokrasi, hak asasi manusia, dan pemerintahan yang konstitusional," kata Jokowi.

Senada dengan Jokowi, Muhyiddin Yassin mengatakan Malaysia juga memandang serius situasi politik di Myanmar. Muhyiddin khawatir pergolakan politik di Myanmar akan berpengaruh pada keamanan dan kestabilan negara.

Antara melaporkan, kelompok hak asasi manusia dan aktivis pro demokrasi berharap pemerintah Indonesia untuk mendorong ASEAN lebih tegas terhadap kudeta Myanmar, yang disampaikan dalam seminar oleh Migrant CARE, Human Rights Working Group (HRWG), Asia Democracy Network (ADN), Jembatan Flinders, dan SAFENet, pada Kamis pekan lalu.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Profesor Hikmahanto Juwana, mengatakan sikap non-intervensi Piagam ASEAN telah menjadi prinsip lama negara-negara ASEAN, dan semua negara ASEAN pernah mengalami dinamika dalam negeri. 

"Memang betul bahwa Piagam ASEAN mengatur prinsip non-intervensi dalam negeri negara lain. Semua negara ASEAN pernah mengalami di mana ada dinamika dalam negeri. Indonesia pernah alami krisis reformasi 1998, dan saat itu tidak ada negara ASEAN yg intervensi. Jadi negara-negara ASEAN memang konservatif," kata Hikmahanto kepada Tempo saat dihubungi pada Selasa, 9 Februari 2021.

Hikmahanto mengatakan sikap diplomatis Indonesia menyikapi situasi saat ini sudah tepat. "Selain Piagam ASEAN saya yakin kita tidak ingin negara ASEAN lain turut bicara soal internal RI."

"ASEAN tidak bisa berbuat banyak," tutur Hikmahanto ketika ditanya sejauh mana ASEAN bisa memulihkan demokrasi Myanmar. 

Ketika ASEAN berjibaku bagaimana menyikapi kudeta Myanmar, komunitas internasional telah menyampaikan sikap tegas lebih dulu.

Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Uni Eropa mengutuk kudeta dan penahanan militer dan deklarasi keadaan daruratnya. Pemerintahan Joe Biden sedang mempertimbangkan sanksi terkait kudeta Myanmar.

Baru-baru ini, seperti dilaporkan Reuters, Selandia Baru memutuskan hubungan dengan pemerintahan junta militer, menangguhkan bantuan, dan melarang perjalanan para pemimpin militer Myanmar. Ini adalah aksi paling tegas yang dilakukan entitas negara atas kudeta Myanmar.

Sementara perusahaan bir Jepang Kirin membatalkan kesepakatan joint venture dengan perusahaan Myanmar yang punya koneksi dengan militer Myanmar. Pengusaha Singapura Lim Kaling mengatakan akan mencabut sahamnya dari perusahaan Myanmar untuk merespons kudeta.

Kini situasi Myanmar memanas memasuki protes anti-kudeta hari ketiga yang digelar sejak Sabtu. Meriam air polisi memporak-porandakan massa yang berunjuk rasa damai menentang kudeta.

Panglima militer Min Aung Hlaing telah menjanjikan pemilu baru dalam pidato pertamanya sejak kudeta, tetapi tidak memberikan kerangka waktu.

Sementara itu, waktu terus bergulir ketika warga Myanmar meneriakkan slogan pro-demokrasi menentang kudeta dan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi serta rekan pejuang demokrasi lain masih mendekam dalam penahanan militer.

REUTERS | THE DIPLOMAT | ASEAN | ANTARA

 

Catatan redaksi: perubahan dilakukan pada 9 Februari 2021 pukul 18.30 WIB di paragraf ke-20 untuk menambahkan keterangan dari narasumber

 

 


Sumber:

https://thediplomat.com/2021/02/myanmars-coup-detat-what-role-for-asean/

https://www.reuters.com/article/us-myanmar-politics-reaction-idUSKBN2A11B0

https://asean.org/asean-chairmans-statement-developments-republic-union-myanmar/

https://www.antaranews.com/berita/1982820/ri-diharapkan-dorong-asean-dan-dunia-tegas-terhadap-kudeta-myanmar

https://www.rappler.com/world/asia-pacific/asean-states-split-over-myanmar-military-takeover

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus