Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kejaksaan Agung bersama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menelusuri permainan pungutan ekspor CPO di sejumlah kawasan berikat.
Nilai transaksi sepanjang 2021-2022 mencapai puluhan triliun rupiah.
Kasus distribusi ilegal minyak goreng masih terjadi.
SELAIN menyidik korupsi minyak goreng, tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus tengah menelaah segepok dokumen pemberitahuan ekspor. Mereka menduga sejumlah eksportir minyak sawit mentah (CPO) “memainkan” besaran pungutan yang harus disetor ke negara. “Kami masih mendalami hal ini bersama tim dari Kejaksaan,” ujar Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Sudiro pada Jumat, 20 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dugaan ekspor ilegal diperoleh setelah Kejaksaan Agung menerima laporan masyarakat pada pertengahan Maret lalu, di tengah kelangkaan minyak goreng di pasar domestik. Dokumen yang diperoleh Tempo menyebutkan laporan tersebut melibatkan sembilan anak perusahaan yang berafiliasi dengan sejumlah produsen minyak mentah kelapa sawit nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pelaku diduga melepas barang dari kawasan berikat di Dumai dan Pekanbaru, Riau. Sepanjang 2021-2022, nilai transaksi mereka ditaksir mencapai puluhan triliun rupiah dan melibatkan perusahaan yang berkantor di Singapura.
Baca: Bagaimana Pengusaha Kelapa Sawit Mendapatkan Subsidi Biodiesel BPDPKS
Indikasi permainan terjadi lantaran para eksportir langsung melepas CPO ke luar negeri. Padahal Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2015 tentang Penimbunan Berikat menyatakan lokasi penimbunan yang berasal dari luar daerah pabean dapat disertai satu atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali. Artinya, bahan baku itu harus diolah dulu agar mendapatkan nilai tambah dan menjadi dasar perhitungan pajak pertambahan nilai.
Menurut Sudiro, otoritas kepabeanan masih mempelajari letak pelanggaran para eksportir tersebut. Penyelidikan bakal mengurai alur distribusi CPO sebelum dilepas ke pasar ekspor. Sebab, penimbunan bahan baku di kawasan berikat dibolehkan agar mendekatkan produsen dengan pemasok bahan baku.
Ia mengaku belum mengetahui apakah CPO tersebut diperoleh dari dalam atau luar kawasan berikat. “Kami masih menunggu kajian teman-teman di lapangan,” katanya.
Meski menyangkut pungutan pajak, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Neilmaldrin menyerahkan kajian atas temuan itu kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. “Itu bukan kewenangan kami,” tuturnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menolak memberikan keterangan ketika dimintai konfirmasi. “Kutip saja penjelasan yang sudah kami rilis,” ujarnya. Kejaksaan hingga kini belum mengeluarkan pernyataan apa pun ihwal perkara itu.
Dokumen yang diperoleh menyebutkan nama PT Surya Inti Primakarya, PT Mitra Agrinusa Sentosa, PT Trimitra Agro Jaya, PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Ivomas Tunggal, PT Bina Sinar Amity, PT Pacific Indopalm Industries, PT Energi Unggul Persada, dan PT Pelita Agung Agrindustri. Sebagian di antara perusahaan itu terafiliasi dengan Wilmar Group, PT Musim Mas, Permata Hijau Group, dan PT Sinar Mas.
Dari sembilan perusahaan tersebut, nilai transaksi terbesar dimiliki PT Nagamas Palmoil, anak perusahaan Permata Hijau. Nilai transaksi yang dibukukan mencapai Rp 29 triliun sepanjang 2021 dan Rp 3,9 triliun selama Januari-April 2022. Disusul PT Energi Unggul Persada, anak perusahaan Wilmar, yang tercatat sebesar Rp 8,9 triliun pada 2021 dan Rp 3,5 triliun sepanjang Januari-April 2022.
PT Nagamas ditengarai menjual produk CPO kepada Virgoz Oil & Fats Pte Ltd. Data di situs Poram.org.my menyebutkan Virgoz adalah perusahaan yang bermarkas di Singapura dan berada di bawah kendali Permata Hijau Group.
Pihak Permata Hijau Group tak meladeni permohonan wawancara hingga Sabtu, 21 Mei lalu. Begitupun ketika Tempo menghubungi Corporate Affair PT Musim Mas Rapolo Hutabarat lewat pesan akun WhatsApp.
Seorang pejabat Wilmar yang meminta namanya tak dikutip menyatakan perusahaannya mendukung penegakan hukum oleh Kejaksaan Agung. Menurut dia, Wilmar sudah mematuhi semua aturan seputar persetujuan ekspor CPO. Anggota staf Corporate Affair Sinar Mas, Suwarso, memilih irit bicara. “Sebaiknya ditanyakan lewat asosiasi,” ucapnya.
Kisruh seputar proses bisnis CPO di tengah kelangkaan minyak goreng ditengarai sebagai alasan utama Presiden Joko Widodo menerbitkan larangan ekspor CPO pada akhir April lalu. Persis pada hari ketika aturan itu diteken, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut bergerak cepat. Tujuh kapal kargo berisi CPO yang berencana meninggalkan Indonesia ditahan di perairan Selat Malaka. “Karena adanya arahan Presiden, kapal-kapal itu kami tangkap,” ujar Kepala Staf TNI Angkatan Laut Yudo Margono kepada wartawan, Kamis, 28 April lalu.
Penyidikan terhadap ketujuh kapal itu belakangan dilimpahkan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Tapi temuan tak berujung sanksi hukum ataupun administratif setelah dikaji tim penyidik Bea dan Cukai.
Menurut Sudiro, ketujuh kapal itu tak menyalahi aturan lantaran dokumen permohonan ekspor barang sudah mereka kantongi sebelum Presiden Jokowi menerbitkan aturan larangan ekspor. “Kami lepas karena larangan ekspor tidak bisa berlaku surut terhadap dokumen yang sudah disetujui,” katanya.
Persoalan itu tak menyurutkan langkah penegak hukum memburu para pengusaha yang berusaha menyelundupkan produk CPO ataupun produk turunannya. Di Surabaya, misalnya, polisi menangkap kapal yang mengangkut delapan kontainer berisi minyak goreng.
Penangkapan dilakukan pada Kamis, 12 Mei lalu, ketika kapal hendak berlayar ke Timor Leste. “Jumlahnya mencapai 122 ton,” ucap Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Farman.
Polisi telah menangkap dua tersangka berinisial R, 60 tahun, dan E, 44 tahun. R adalah pemilik barang yang meminjam izin ekspor lewat perusahaan milik E. Ia diduga mengelabui petugas dengan melaporkan dokumen ekspor barang tidak sesuai dengan ketentuan.
Di dokumen itu tercatat ekspor untuk barang berupa engsel pintu, cat, genting, pipa, komputer, dan spare part mobil. “Padahal isinya minyak goreng,” tutur Farman. Minyak goreng itu sudah dikemas dengan dua merek, yakni Linsea dan Tropis.
Penyidikan Polda Jawa Timur menambah panjang daftar tersangka yang diungkap penegak hukum guna mengurai kasus kelangkaan minyak goreng. Presiden Jokowi memerintahkan aparat hukum terus mengintensifkan pengawasan terhadap proses produksi dan distribusi minyak goreng.
Setelah mempertimbangkan ketersediaan pasokan minyak goreng untuk pasar domestik, Jokowi mengatakan sudah mencabut larangan ekspor. “Saya tidak mau ada yang bermain-main yang dampaknya mempersulit rakyat,” ujarnya dalam konferensi pers pencabutan larangan ekspor CPO dan produk turunannya pada Kamis, 19 Mei lalu.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan gejolak harga dan kelangkaan minyak goreng di pasar tak hanya dipicu oleh masalah produksi ataupun ekspor. Ia mencontohkan kondisi pasar di Jakarta yang belum juga normal.
Padahal pasokan di Jakarta sudah mencapai 155 persen dari kebutuhan normal. “Seharusnya HET (harga eceran tertinggi) sudah bisa tercapai,” katanya. Ia mengaku bakal terus mengawasi proses distribusi yang melibatkan 11 ribu pengecer, 400 distributor 1, dan 800 distributor 2.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo