Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI dia. Bola bisa dimainkan dalam sarung. Permainan nyleneh ini ditampilkan para pemuda di RT 22-07 Kampung Tegal Sapen, Yogya, untuk merayakan Hari Kemerdekaan RI barusan. Pesertanya semua warga Sapen, dan kampung sebelah. Meriah. Ada pedagang sayur, tukang becak, hansip. Ada dosen IAIN Sunan Kalijaga dan UII. Kampung Sapen jiran kampus IAIN dan tak jauh dari kampus UII. Seminggu pada pertengahan Agustus lalu, tiap sore penduduk tumpah ruah mengitari lapangan di tengah kampung itu. Aslinya, ini tempat voli. Gawang dibuat selebar satu meter dan tinggi 75 cm. Aturan mainnya: pakai sarung, dan itu sudah dikenakan sejak dari rumah. Tiap tim tiga orang. Lama permainan 2 X 10 menit. Ada 23 tim siap berlaga. Priit! Bola menggulir. Pemain berkejaran. Ada yang merasa sarungnya kendur, tangannya sigap menyelamatkan. "Hands ball, " wasit menyemprit tangan menyentuh sarung. Tabiat sarung adalah melorot. Tapi sampai dua kali terpegang, wasit mengulapkan kartu merah. Sial tak bisa disoal, maka kalau tak melorot, sarung malah robek. Jika sekali saja mendingan. Kalau robek lima kali, ini kalah telak 5-0. Bila sepuluh kali, sarung malah dituding barang murahan. Lihat, Saudara-Saudara, bola digoreng dengan cantik. Gawang di ujung hidung. Tapi, waduh, persis di bibir gawang, si pemain gempor. Ia bukan meniru kepiawaian pemain nasional. Sebab, satu aturan lagi harus dipatuhi: dengar diputar musik dangdut pemain harus ajojing. Padahal, bola tinggal sesendok saja ke gawang. Kartu merah di saku wasit bukan cuma jatah pemain brengsek. Bisa juga untuk penonton. Mereka susah diatur, senang masuk ke lapangan. "Saya jengkel, saya kartu merahi penonton itu," tutur wasit Rasoma Jatmika kepada Muhamad Ali Surya dari TEMPO. Sudah kena kepret kartu merah, dia ngeloyor ke luar arena seraya senyum. Bangga membayangkan diri bagaikan Maradona kena kartu merah ketika bukan sedang main. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo