KISAH-KISAH AJAIB SYEKH ABDULKADIR JAILANI Oleh: Dr. G.W.J. Drewes dan R.Ng. Dr. Poerbatjaraka Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1990, 188 hlm. NUN di Baghdad pada abad ke-12, -- Raja Mustanjid mengunjungi Abdulkadir Jailani sambil membawa sepuluh kantung uang emas sebagai hadiah. Tetapi Abdulkadir menolak hadiah itu. Karena Baginda mendesak terus agar diterima, Abdulkadir memijat kesepuluh kantung itu. Kantung-kantung robek, dan keluarlah darah berlelehan. Kata Abdulkadir, "Apakah Baginda tidak malu mengumpulkan darah manusia dan menghadiahkannya kepada saya?" Benarkah kisah ini? Wallahualam bisawab. Kisah di atas bernarasumber Abdullah bin Mawsili, yang mendengar kisah tersebut dari ayahnya, Abu Abbas, sedangkan Baginda Mustanjid memerintah pada 1160 hingga 1170. Ada kisah lain dari Abu Abdullah sebagai narasumber yang bermula dengan kalimat: "Saya menjadi saksi ketika raja Baghdad mendatangi Abdulkadir di madrasahnya." Konon, Baginda mencoba kesaktian sang wali dengan meminta buah apel dari surga, padahal waktu itu bukan musim apel. Abdulkadir mengibaskan tangan ke udara bagaikan menggapai sesuatu. Sesaat itu juga dua buah apel berada dalam genggamannya sebuah diberikan kepada Baginda, sebuah lagi dikupasnya sendiri. Daging apel yang dikupasnya putih dan harum, sedangkan apel di tangan Raja berwarna merah darah karena berada di tangan seorang yang tamak. Dichtung atau Wahrheit? Tetapi kenyataannya nama sang wali yang lahir di negeri Jilani, Tabaristan, tahun 471 H dan wafat di bulan Rabiulakhir 561 H itu banyak dikenal pula di Indonesia dan di banyak negara Islam sebagai pemuka tarekat Kadiriyah. Menurut Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, selain tarekat Kadiriyah, di Indonesia pernah muncul pula -- dan mempunyai pengikut -- tarekat Naksybandi, Tijani, Rifai, Samani, Kusyairi, Syadili, dan Khalwati. Tokoh Abdulkadir Jailani menarik perhatian Dr. Drewes dan Dr. Poerbatjaraka untuk ditelaah dalam rangka memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai perkembangan Islam di Nusantara. Buku-buku mengenai kehidupan wali ini yang pernah terbit dalam bahasa Arab, Jawa dan Sunda (kedua yang terakhir dalam bentuk tembang) dikumpulkan, diterjemahkan, lalu diberi pengantar dan catatan yang mencakup hubungannya dengan para wali di Jawa, tentang keikhwanan persaudaraan mistik, dan terkenalnya sang wali di Aceh dan Banten. Betapa besar pengaruh sang wali tampak pada dokumen surat-menyurat para sultan di Aceh dengan para kepala daerah, yang selalu mencantumkan nama Syekh Abdulkadir Jailani. Ada beberapa biografi atau hagiografi (pujian buat sang wali) yang ditulis pada zaman yang lebih dekat dengan masa hidup Abdulkadir, antara lain Bahjah al Asrar karangan Al Syattanawfi (meninggal 713/1314), dan Khulasah al mafakhir karangan Al Yafii. Sang wali sendiri sejak bayi konon memang sudah menunjukkan kewaliannya. Imam Abdullah, anak Sulaimanal Hasyim, sebagai narasumber menceritakan bahwa Fatimah ibu Abdulkadir, ketika hendak menyusui bayinya, ternyata ia ditampik. Saat itu hari memang sudah memasuki bulan Ramadhan, padahal bulan belum muncul di langit. Sebuah narasumber lain, Abdullah, bercerita tentang kejujuran Abdulkadir semasa remajanya. Syahdan, Abdulkadir berpamitan kepada ibunya karena hendak belajar ilmu agama ke Baghdad. Ibunya memberinya bekal 40 keping uang emas dan amanat agar si anak selalu berkata jujur. Maka, berangkatlah Abdulkadir bersama kafilah. Di Hamdan, kafilah dicegat oleh penyamun yang merampas barang dagangan kafilah itu. Adapun Abdulkadir yang masih remaja dan berpakaian buruk mula-mula didiamkan saja oleh para penyamun. Tetapi tiba-tiba seorang penyamun bertanya, "He, kamu membawa apa?" Abdulkadir menjawab jujur, "Saya membawa 40 keping uang emas." Penyamun itu kaget, lalu menggeledah Abdulkadir, dan betul juga, ia menemukan 40 keping emas bekal si anak. Para penyamun takjub akan kejujuran remaja itu, lalu sadar akan dosanya. Sang wali sendiri di hari tuanya mewariskan buah kalamnya: Futuh al-gaib yang memuat 78 khotbahnya, dan Fath al rabbani wa'l Faid al rahmani, yang juga berisi 62 khotbah yang diucapkan pada tahun 1151. Dalam Futuh al-gaib, makalah 75, sang wali berkhotbah: " ... apabila kita melihat orang miskin, pertama-tama janganlah kita mendekatinya dengan kata-kata yang arif dan saleh, tetapi mulailah mengisi kebutuhan pokok mereka sehari-hari.... Ketahuilah bahwa mistik itu didasarkan atas delapan sifat: ketulusan hati Ibrahim, sikap pasrah Ishak, kesabaran Ayub, bahasa isyarat Zakaria, keterasingan Yusuf, baju kulit Yunus, pengembaraan Isa, dan kemiskinan Muhammad." Dalam makalahnya yang ke-76 ia berkhotbah: "Bergaullah dengan orang-orang besar dengan kesadaran akan harga diri sendiri, tetapi jangan berlaku angkuh terhadap orang kecil. Layanilah orang miskin dengan tiga hal: rendah hati, berwatak, dan berhati tulus. Bunuhlah "aku-mu" sendiri supaya dapat hidup. Di antara semua makhluk ciptaan-Nya, Tuhan akan berada paling dekat dengan mereka yang berwatak agung...." Sugiarta Sriwibawa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini