Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rumah panas

Raden sayadi, 72, warga malangan, jateng setelah mendapat hadiah rp 800 juta dari sdsb, tiba-tiba merasa tidak cocok dengan istri keempatnya, saryati. ia berpaling ke istri pertama dan kumpul kembali.

1 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG yang lahir untuk sepicis tak kuat memikul setalen. Peribahasa tua ini mun- gkin sudah didengar Raden Sayadi, 72 tahun. Namun, warga Malangan di Magelang, Jawa Tengah, ini tak bercita-cita jadi penarik becak sampai usianya serapuh itu. Makanya, ia rajin beli lotere. Dan ibarat menanam mumbang, setelah selama ini kupon demi kupon SDSB menghasilkan sampah, awal Mei lalu tembakannya tembus. Sayad, begitu panggilannya, kaget. Ia jadi milyarder kilat. Ia menerima bersih Rp 800 juta, setelah dipotong pajak. "Lima juta saya bagikan ke Pak Domo, nyumbang untuk pedagang asongan," katanya. Rp 150 juta untuk Saryati, istrinya. Lalu Saryati mendepositokan Rp 100 juta di BRI Magelang. Dan sisanya di antaranya ia belikan rumah yang dekat rumah kontrakannya selama ini. Untuk Paino, anak kandungnya dari istri pertama, dan Mariam, anak angkatnya, masing-masing sejumlah itu pula diberikannya. Untuk dirinya cukup Rp 200 juta saja. Dan Sayad juga dermawan. Warga Malangan yang 500 keluarga masing-masing diberi Rp 5.000. Ia tiga hari keluar masuk rumah di kampungnya itu. Syahdan, Sayad sudah lama dikira sanak saudaranya di Klaten sudah tidak beredar di kolong langit ini. Bekas pejuang dengan pangkat terakhir sersan satu ini raib sekitar 1952. "Kami sudah selamatan beberapa kali," kata Nyonya Ngadirah, 45 tahun, keponakan Sayad. Serentak melihat foto dan nama Sayad muncul di koran, baru mereka ngah. Sayad juga hidup darahnya. Kenangan segar kembali melantun pada istri-istrinya yang ditinggalkannya begitu saja. Padahal, selama ini ia seatap-sependeritaan dengan Saryati, dan 20 tahun lebih mereka mengayuh hidup di pedal becak. Tapi, begitu sakunya kuat, Sayad mulai merasa tidak cocok dengan istrinya yang nomor empat ini. Tanpa hek-hok Sayad mengirap. Ia berpaling ke istri pertama di Jepara, lalu mengajak kumpul kembali di Klaten. Saryati sewot. "Saya menikah dengan dia karena iba. Waktu itu dia ngaku jejaka kanginan, tak punya sanak saudara. Setelah ia kaya, semua keluarganya datang minta uangnya," cetus Saryati, seraya mengorek jasanya menguruskan surat-surat pensiun veteran Sayad. Toh, urusan belum tamat. Sayad muncul bersama keluarganya dari Klaten, awal Juni lalu. Ia membawa kejutan baru: rumah (luas: 172 m2 dengan empat kamar) yang dihuni Saryati dan anak cucunya itu minta dikosongkan. Meletuslah perang mulut. Tetangga datang. Tapi Sayad tak mengurangi tekanan. Bahkan uang dari kocek Saryati, dia minta dibagikan kepada istrinya yang pertama dan ketiga. Saryati gingging: dalam kamusnya tidak ada kata bagi rezeki dengan madu. Juga, rumah di Malangan itu diakui sah miliknya meski bukan namanya yang tercantum dalam akta notaris. Ia buta huruf. Tapi, dalam penalarannya, dialah istri Sayad yang tunggal. Jadi, harta itu mutlak haknya. Sayad menggertak mau menggugat ke pengadilan. Mendengar itu Saryati meradang. "Laki tak tahu malu, menjilat ludah sendiri," semburnya. Sayad kaget. Apalagi keadaan mirip Irak menyerbu Kuwait, begitulah Saryati memecah kaca jendela dan siap memukul. Sayad terbirit-birit menenteng sepatunya. Perang ribut bubar. Malam itu juga Saryati rapat kilat dengan anak cucunya. Mereka sepakat menghibahkan "rumah panas" itu kepada masyarakat. Itu dilakukan di kertas bermeterai. "Biar mereka gunakan. Saya ikhlas," katanya kepada Tri Jauhari dari TEMPO. Kini rumah itu milik umum, dipakai untuk remaja latihan musik, tari, dan drama. Juga sebagai pangkalan anak muda kongko-kongko, dan setengah asrama. Saryati pindah ke Jagoan, masih di Magelang. Rumahnya dibeli dengan sisa uang lotere tadi. Sedangkan Sayad, dari kampungnya di Plosowangi, Klaten, mengaku rela memberikan "rumah panas" tersebut untuk sang istri yang paling cantik itu. Tapi niatnya diurungkan karena dia telanjur diserapahi Saryati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus