Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada periode pertamanya sebagai anggota parlemen, Budiman Sudjatmiko lebih banyak berkeliling dari satu desa ke desa lain. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama sejumlah organisasi dan gerakan masyarakat, seperti Gerakan Desa Membangun, ketimbang ikut rapat di Senayan. Sepanjang 2009-2014, Budiman getol mengkampanyekan urgensi kelahiran Undang-Undang Desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sejumlah forum terbuka yang dihadiri para perangkat desa, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu menjelaskan bagaimana seharusnya desa mengelola dirinya. Penjelasan Budiman merujuk pada pasal yang ada dalam rancangan undang-undang tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya menjelaskan kepada perangkat desa, pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu juga berusaha menegaskan urgensi Undang-Undang Desa kepada pemerintah pusat dan sejumlah pemerintah daerah. ”Butuh tiga tahun untuk menjelaskan, karena undang-undang ini agak kontroversial,” kata Budiman di rumah dinasnya di kompleks DPR, Kalibata, Jakarta, Rabu dua pekan lalu.
Budiman adalah wakil ketua panitia khusus penyusun undang-undang tersebut. Setelah melewati perdebatan dan tarik-ulur bertahun-tahun, undang-undang itu akhirnya disahkan pada 15 Januari 2014. ”Dengan undang-undang ini, kuasa atas uang, ruang, barang, orang, dan semua sumber daya desa ada di tangan desa itu sendiri,” ujarnya. Bagi Budiman, Undang-Undang Desa merupakan perwujudan ideologi politiknya.
Budiman bangga. Baru satu periode menjadi anggota DPR, ia berhasil menjadi motor kelahiran undang-undang yang menjamin otonomi daerah hingga ke desa-desa. Undang-undang itu lahir bukan atas peran Budiman seorang, tapi ikhtiarnya untuk ikut menggerakkan perangkat desa menyongsong aturan baru tersebut tak bisa dibantah.
Budiman adalah satu di antara banyak anak kandung reformasi 1998 yang berhasil melenggang ke Senayan. Ada ribuan aktivis mahasiswa yang menduduki gedung parlemen selama tiga hari menjelang kejatuhan Soeharto, 19-21 Mei 1998. Tapi, setelah Soeharto lengser, tidak banyak jebolan gerakan 98 yang melenggang ke Senayan.
Duo politikus Partai Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah dan Rama Pratama, tercatat sebagai aktivis 98 yang lebih dulu melenggang ke Senayan. Fahri adalah ketua umum pertama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. Adapun Rama adalah Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia, yang tergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Se-Jakarta (FKSMJ)-salah satu organ lain penumbang Soeharto.
Seperti mengikuti jalan aktivis angkatan 66, Senayan menjadi salah satu pilihan ”karier” para demonstran 1998. Mengusung berbagai ideologi, mereka mencoba mewujudkan cita-cita reformasi lewat jalur legislatif. Hanif Dhakiri, anggota Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia periode 1997-2000, adalah salah satu yang menjadi anggota DPR periode 2009-2014. Hanif kini menjabat Menteri Ketenagakerjaan. Ada juga Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam 1997, Anas Urbaningrum, yang masuk Senayan pada periode 2009-2014.
Yang terbaru, Adian Napitupulu dan Masinton Pasaribu menjadi wakil rakyat periode 2014-2019 dari PDI Perjuangan. Saat demonstrasi 1998 merebak, Adian adalah aktivis Forum Kota (Forkot). Adapun Masinton aktivis Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred).
Tapi status aktivis 98, menurut Budiman, bukan cuma milik mahasiswa. Mereka yang sudah lulus ketika Soeharto lengser pun boleh menyandang status tersebut. Fahri Hamzah salah satunya. ”Generasi 98 itu bukan soal mahasiswa, tapi siapa yang aktif di lapangan,” kata Budiman.
Para aktivis 1998, menurut Budiman, mengerucut dalam empat kategori. Pertama, mereka yang dulu merupakan pegiat pers kampus. Kedua, aktivis kelompok diskusi. Ketiga, tukang demo. ”Keempat, aktivis pemberdayaan masyarakat plus tukang demo tapi kerap ikut diskusi,” ucap Budiman. ”Saya masuk kategori keempat.” Pada hari-hari kejatuhan Soeharto, Budiman memantau demonstrasi dari balik jeruji penjara Cipinang. Dia diterungku sejak 1997 bersama sejumlah aktivis PRD dan tahanan politik lainnya.
Namun jumlah aktivis 98 yang melenggang ke Senayan tidak banyak. Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mengatakan, dari 560 anggota parlemen yang lolos dalam Pemilihan Umum 2014, hanya 3,7 persen yang sebelumnya ”bergelar” aktivis. ”Sebanyak 49 persen adalah pengusaha,” kata Sebastian. Sisanya adalah profesional dan akademikus.
Selain jumlahnya sedikit, kiprah dan kontribusi aktivis 1998 di Senayan belum terlihat nyata. Menurut Usman Hamid, setelah menjadi anggota DPR, banyak aktivis 1998 yang malah mengkhianati cita-cita reformasi. ”Setelah masuk, mereka hanya loyal terhadap partai,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia itu dalam diskusi ”20 Tahun Reformasi” di Gedung Parlemen, Jakarta, awal Mei lalu. Aktivis-loyalis partai itu, menurut Usman, antara lain Masinton Pasaribu.
Tidak ada yang membantah bahwa Masinton adalah salah satu aktivis 1998. Tapi, dalam sejumlah kesempatan, seperti rencana revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan hak angket terhadap KPK, Masinton ditengarai ingin melemahkan KPK. ”Loyalitas Bung Masinton terhadap partai tampaknya lebih besar ketimbang cita-cita reformasinya,” kata Usman, yang juga bekas aktivis 98 serta mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Masinton mengatakan semangat revisi Undang-Undang KPK adalah mereposisi dan mereformulasi sistem penegakan hukum. Dia mengakui pada 2015 menjadi inisiator perubahan aturan mengenai KPK.
Fahri Hamzah juga ditengarai sebagai anggota DPR yang ingin melemahkan KPK. Kendati beda ideologi dan partai, dalam isu pelemahan KPK, Fahri dan Masinton punya pandangan yang sama. Fahri juga kerap mengemukakan komentar kontroversial. Salah satu usulnya adalah membubarkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 2017.
Itu sebabnya, Ketua KPK Agus Rahardjo punya pesan khusus buat anggota parlemen yang ingin melemahkan pemberantasan korupsi. Dalam malam puisi peringatan 20 tahun reformasi di Gedung Parlemen, Selasa dua pekan lalu, Agus mengingatkan bahwa reformasi 1998 melahirkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Isinya antara lain menginginkan keberadaan KPK dan penegakan tindak pidana korupsi. ”Dan siapa yang ingin membubarkan KPK, itu mengkhianati semangat reformasi!” Agus berteriak lantang.
Sejumlah kasus korupsi yang menjerat aktivis 98 ketika mereka sudah menjadi anggota parlemen juga mencoreng cita-cita reformasi. Salah satu yang paling mencolok adalah kasus Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum PB HMI dan anggota Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum 1999 (Tim Sebelas)-pemilu demokratis pertama setelah 32 tahun. Anas divonis 14 tahun penjara pada 2015 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, yang juga banyak menjerat politikus partai yang ia pimpin saat itu, Demokrat.
Rekan Anas di Tim Sebelas, Rama Pratama, juga pernah tersandung dugaan kasus korupsi ketika politikus Partai Keadilan Sejahtera itu duduk di Senayan untuk periode 2004-2009. Rama ditengarai menerima aliran dana cek pelawat Pemerintah Kota Batam. Saat dimintai konfirmasi, Rama tidak merespons surat yang dilayangkan Tempo. Sejumlah politikus di Senayan pada periode itu juga diduga terlibat dalam gratifikasi cek pelawat ini. Dalam kasus ini, baru petugas pajak Dhana Widyatmika yang dipidana. Dia divonis 12 tahun bui karena terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang.
Budiman mengakui banyak kerja aktivis 98 tidak lagi optimal ketika telah masuk parlemen. ”Karena secara teknis dia hanya akan berfokus ke komisinya,” katanya. Budiman, misalnya, sejak jadi anggota DPR, hanya mengurusi isu-isu desa dan pemerintah daerah di Komisi II.
Meski banyak sejawatnya sesama aktivis tersandung perkara korupsi, atau dianggap melemahkan pemberantasan korupsi, Budiman tetap yakin, pilihannya masuk ke partai politik dan parlemen adalah opsi ideal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo