Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bogor - Jarak Desa Mulyasari dari Jakarta hanya sekitar 60 kilometer, namun desa ini disebut Kampung Putus Sekolah karena tak ada penduduknya yang memiliki ijazah sekolah dasar. Hampir seluruh anak dari 58 kepala keluarga di desa yang terletak di kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor ini tidak mengenyam pendidikan.
Ketua RT05/01, Mulyasari, Sukamakmur, Muad menyebut alasan kampung tersebut dijuluki sebagai kampung putus sekolah. “Tidak ada satupun masyarakat disini yang punya ijazah sekolah, jadi ya wajar kami sebutnya kampung putus sekolah,” kata Muad kepada Tempo, Sabtu 12 Mei 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati jarak dari pusat kota tidak terlalu jauh, jalan menuju kampung itu berbatu dan terjal. Setelah melewati jalan berbukit, untuk bisa masuk ke kampung tersebut juga harus melewati hutan dan jalan setapak yang berliku dan curam. Umumnya orang harus menggunakan motor trail, meski sepeda motor biasa juga bisa melewati jalan yang didominasi oleh tanah dan batu.
Baca: Kota Tangerang Percepat Pendataan Anak Putus Sekolah
Akses yang sulit untuk keluar masuk kampung ini menjadi alasan para orang tua tak menyekolahkan anaknya ke sekolah reguler. Ada sih sekitaran sini sekolah, cuma jaraknya jauh jauh dan aksesnya sulit,” katanya.
Puluhan warga Kampung Putus Sekolah di Desa Mulyasari, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, antusias saat kedatangan tim guru dari SD Sukamulya 2, Sabtu 12 Mei 2018. TEMPO/ADE RIDWAN
Meski tak memiliki ijazah, lanjut Muad, penduduknya tetap bisa membaca, menulis dan berhitung. Hal itu karena mereka membuat sendiri madrasah yang digunakan untuk belajar agama.
“Di madrasah itu selain mereka belajar agama, juga belajar pelajaran SD sebisanya,” kata Muad.
Guru-guru madrasah pun merupakan warga sekitar yang paham agama. “Mereka belajar di bangunan yang kami buat seadanya dibantu dengan sumbangan pihak luar seperti mahasiswa atau yayasan,” kata Muad.
Di bangunan yang memiliki luas kurang lebih 4x12 meter tersebut, proses belajar mengajar terjadi. Namun tidak ada bukti seperti ijazah yang menandakan seseorang mengenyam bangku pendidikan. “Mereka sih belajar kemauannya tinggi, tapi nggak ada ijazah, karena belajarnya hanya seadanya,” lanjut Muad, ketua RT kampung putus sekolah itu.