Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung menilai Majelis Hakim memiliki alasan tersendiri saat menjatuhkan vonis 6,5 tahun penjara terhadap terdakwa kasus korupsi timah, Harvey Moeis. Kepala Pusat Penerangan Hukum Harli Siregar menjelaskan kapasitas jaksa dalam mendakwa Harvey terbatas pada pemisahan wewenang aparat penegak hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dalam sistem peradilan terpadu di Indonesia ada namanya integrated criminal justice system. Jadi ada kompartementasi di situ," ujar Harli menyebut dasar penegakan hukum pidana saat konferensi pers pada Senin, 31 Desember 2024. Harli menganalogikan pemisahan kompartemen sebagai kamar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sistem kriminal terintegrasi tersebut, Harli, menyatakan terdapat sekat-sekat antara bidang penyidikan, bidang penuntut umum, bidang pengadilan, hingga bidang pemasyarakatan. Jaksa yang mendakwa Harvey dengan 12 tahun penjara, menurut dia, masuk dalam bidang penuntut umum, sementara majelis hakim yang memvonis Harvey dengan 6,5 tahun menempati bidang pengadilan.
"Bahwa ada perbedaan pandangan, perbedaan pendapat ya itulah hukum," kata Harli.
Ia meyakini bahwa jaksa penuntut umum telah mengajukan sejumlah barang bukti lengkap untuk membuktikan korupsi timah dengan menyebabkan kerugian negara senilai Rp 300 triliun. Pemenuhan alat bukti yang menyeret suami Sandra Dewi ke Pengadilan Tipikor itu dianggap Harli telah sesuai dengan Pasal 183 dan 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Hanya saja kan bahwa pertimbangannya menyatakan tuntutan itu terlalu tinggi, jadi ada subjektivitas di situ," ujar Harli. Dengan demikian, Harli menegaskan bahwa tindak pidana korupsi oleh Harvey Moeis secara substansi sudah dibenarkan oleh majelis hakim kendati vonisnya lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Dalam sidang putusan yang berlangsung pada 23 Desember 2024, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Harvey pidana penjara 6 tahun 6 bulan dan ganti rugi senilai Rp 210 miliar. Jika tidak dipenuhi dari harta bendanya, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.
Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai oleh Eko Ariyanto dengan anggota Suparman Nyompa, Eryusman, Jaini Basir, dan Mulyono itu lebih ringan dari tuntutan jaksa. Oleh penuntut umum, Harvey Moeis dituntut pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp 1 miliar, serta uang pengganti Rp 210 miliar.
Sejumlah pegiat anti korupsi mengkritik vonis ringan terhadap Harvey tersebut. Eks Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap, salah satunya.
"Vonis ini mengecewakan tentunya karena tidak akan bisa menyebabkan efek jera bagi pelaku korupsi lainnya," ujar Yudi pada Ahad, 29 Desember 2024.
Yudi menggangap vonis 6,5 tahun itu terlalu rendah untuk tindak kejahatan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun. Menurut Yudi, hukuman penjara yang dibacakan oleh Hakim Ketua Eko Ariyanto itu tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
"Walaupun perannya sangat kecil dia tetap pelaku tindak pidana korupsi," ujar Yudi memprotes. Anggota Satgasus Pencegahan Korupsi Polri itu mengingatkan bahwa sekecil apa pun peran Harvey, tapi korupsi merupakan kejahatan luar biasa.
Harvey Moeis, kata Yudi, seharusnya tidak menerima vonis ringan karena bukan justice collabolator dalam membongkar dugaan korupsi timah.