Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menanggapi kerusuhan yang beberapa kali pecah saat masyarakat berdemonstrasi, terkait dengan berbagai unjuk rasa menolak Omnibus Law yang dilakukan berbagai elemen masyarakat sejak 8 Oktober 2020. Unjuk rasa terkini dilakukan pada Selasa, 20 Oktober 2020 yang digerakkan oleh elemen mahasiswa dan buruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pernyataan bahwa pasti ada dalang dan sejenisnya di balik aksi massa anarkis, menurut saya, melebih-lebihkan kesan peserta aksi massa sebagai sekumpulan orang yang harus dihasut, dimanipulasi, dan dimobilisasi untuk sanggup berbuat anarki,” kata Reza saat dihubungi Tempo pada Rabu, 21 Oktober 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada dasarnya, Reza mengungkapkan, setiap aksi massa memiliki potensi anarki yang bersifat alamiah karena adanya fenomena psikologi massa. “Masing-masing orang mengalami anomi atau deindivuasi. Kondisi tersebut laksana minyak tanah yang tersebar, tinggal menunggu pemantik sampai kemudian terbakar.”
Tentang dugaan penggerak kerusuhan yang didalangi berbagai tokoh tertentu, Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian tersebut menambahkan bila memang ada bukti boleh jadi anarki memang didorong oleh aktor intelektual. “Tapi persisnya bagaimana isi percakapan itu? Sepanjang yang saya simak di media, saya tidak menemukan tokoh yang punya jejak sebagai perusuh,” tambahnya.
Ia mencatut penemuan polisi tentang grup WhatsApp beberapa anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia yang berisi ajakan mengulang kerusuhan Mei 1998. Sebelumnya polisi mengungkap isi percakapan daring tersebut pada Senin, 19 Oktober 2020, menyeret 4 anggota KAMI Medan yaitu Khairi Amri selaku Ketua KAMI Medan, Juliana, Devi, dan Wahyu Rasari Putri.
Reza juga menilai kejenuhan akibat karantina di massa pandemi bisa jadi mendorong banyak orang untuk akhirnya keluar rumah dan mengikuti aksi di jalan. Namun terlalu jauh menurutnya, apabila korelasi ini diartikan sebagai penyebab kerusuhan.
“Perkiraan saya, di luar musim wabah pun aksi massa tetap mengandung "potensi ledakan" juga,” tambahnya. Di sisi lain, Reza menilai bagaimanapun kerusuhan adalah kejadian luar biasa yang tidak bisa diabaikan, terutama yang sudah melibatkan anak-anak. “Tetap perlu penindakan secara tepat terhadap kejadian dan para pelaku kerusuhan.”
Diketahui berbagai aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja mewarnai banyak kota di Indonesia sepanjang bulan Oktober 2020, sejak disahkannya perundangan tersebut pada 5 Oktober 2020. Di Jakarta demonstrasi tersebut terpusat di Istana Negara dan terjadi selama beberapa gelombang, yaitu tanggal 8, 13, 16, dan 20 Oktober 2020. Demonstrasi berakhir ricuh pada tanggal 8 dan 13, dengan polisi menangkap sekitar 1.000 massa yang rata-rata berusia pelajar sekolah menengah.
WINTANG WARASTRI | MARTHA WARTA