Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Kisruh soal Dana Bagi Hasil (DBH) antara Bupati Kapupaten Kepulauan Meranti Muhammad Adil dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih berlanjut. Menyusul pernyataan Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo DBH Meranti via akun Twitter, Kamis, 15 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Supaya adil, proporsional dan transparan, kami bahas tuntas Dana Bagi Hasil," kata Yustinus melalui akun Twitter pribadinya Kamis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti diketahui, Bupati Meranti Muhammad Adil mengeluarkan pernyataan dan menyebut pegawai Kemenkeu sebagai iblis atau setan dalam rapat koordinasi Pengelolaan Pendapatan Belanja Daerah se-Indonesia di Pekanbaru, 8 Desember 2022. Adil menilai Kemenkeu telah mengeruk keuntungan dari eksploitasi minyak di daerah yang dia pimpin.
Dia menyatakan kecewa kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Kemenkeu Lucky Alfirman yang hadir . Pada sesi tanya jawab, Adil mempertanyakan ihwal DBH minyak di Kepulauan Meranti kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kemenkeu.
"Ini orang keuangan isinya iblis atau setan. Jangan diambil lagi minyak di Meranti itu. Gak apa-apa, kami juga masih bisa makan. Daripada uang kami dihisap oleh pusat," ujar Adil dalam sebuah video berdurasi 1 menit 55 detik beredar di media sosial.
Menurut Adil, wilayah yang dia pimpin adalah daerah miskin yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah pusat. Ia juga mengeluhkan pemerintah daerah yang tak bisa leluasa bergerak membangun di daerah dan memperbaiki hajat hidup orang banyak karena sumber daya alamnya disedot oleh pemerintah pusat.
“Bagaimana kami mau membangun rumah, bagaimana kami mengangkat orang miskin, nelayannya, petaninya, buruhnya” kata Adil.
Selanjutnya: Kemenkeu keberatan disebut iblis
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo keberatan dan menyayangkan munculnya pernyataan tersebut. “Kami keberatan dan menyayangkan pernyataan Bupati Meranti saudara Muhammad Adil yang sungguh tidak adil karena mengatakan pegawai Kemenkeu iblis atau setan,” ujar dia melalui video yang diunggah di akun Twitter pribadinya pada Minggu, 11 Desember 2022
Dia menilai pernyataan Adil ngawur dan menyesatkan. Sebab, Kemenkeu justru sudah menghitung dan menggunakan data resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Data itu untuk menenentukan DBH yang bukan hanya untuk daerah penghasil, tapi juga daerah sekitar untuk merasakan kemajuan bersama. Hal itu juga sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
Ia kemudian merinci alokasi transfer ke daerah dan dana desa oleh Kemenkeu sepanjang 2022. Ia menyebutkan kementeriannya telah mengalokasikan transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 872 miliar atau 75 persen dari APBD Kabupaten Meranti atau 4 kali lipat dari PAD meranti yang sebesar Rp 222 miliar.
Prastowo menjelaskan dalam desentralisasi fiskal, pemerintah pusat setiap tahun menggunakan sebagian pendapatan negara, termasuk dari sektor minyak bumi dan gas, untuk anggaran transfer ke daerah (TKD). “Ini adalah upaya untuk mendukung pemerintah daerah memberikan pelayanan publik di daerah masing-masing,” kata Prastowo.
Meskipun penerimaan negara dari sektor migas fluktuatif setiap tahun, Prastowo melanjutkan, pemerintah pusat tetap memastikan anggaran TKD selalu terjaga agar pemda dapat melaksanakan tugas dalam pelayanan publik. “Berikut realisasi besaran transfer ke daerah dan penerimaan negara dari sektor migas,” ucap dia.
Untuk memitigasi ketidakseimbangan vertikal, termasuk daerah penghasil migas, pemerintah pusat mengalokasikan TKD melalui DBH dari migas secara transparan dan adil sesuai dengan undang-undang. Di samping itu, pemerintah pusat menyalurkannya melalui program atau kegiatan oleh kementerian dan lembaga lewat APBN.
Selain DBH, daerah penghasil migas menerima dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana insentif daerah (DID) serta dana desa dengan alokasi TKD rata-rata mencapai 20 persen dari TKD nasional. Dia menilai angka itu cukup tinggi untuk pembangunan daerah. Di sisi lain, menurut dia, daerah penghasil migas masih memperoleh pendanaan dari PAD.
Selanjutnya: Kemenkeu sebut belanja Kepulauan Meranti lebih besar dari penerimaan
Prastowo mengatakan alokasi belanja pusat, yakni DAU, DAK, belanja kementerian dan lembaga, serta subsidi untuk Kabupaten Kepulauan Meranti jauh lebih besar dibandingkan pendapatan negara dari kapbupaten yang berada di Provinsi Riau itu. “Ini esensi pemerataan,” kata dia.
Yustinus menunjukan total belanja negara untuk Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar Rp 1,1 trilun. Angka itu meliputi Rp 124,64 miliar dana subsidi atau kompensasi, Rp 118 miliar untuk belanja kementerian dan lembaga, dan Rp 861,2 miliar untuk dana transfer ke daerah atau TKD.
Sementara total penerimaan negara dari Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar Rp 453,97 miliar. Angka itu meliputi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 323,112 miliar dan penerimaan perpajakan sebesar Rp 130,858 miliar. Sehingga selisih belanja negara dan penerimaan negara dari Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar Rp 649,921 miliar.
Artinya, kata dia, jika seluruh pendapatan yang diperoleh pemerintah pusat dikembalikan ke Kabupaten Kepulauan Meranti pun nilainya tetap jauh lebih kecil dari alokasi pemerintah pusat untuk daerah tersebut. "Bukankah ini justru menunjukkan dukungan pemerintah pusat yang sangat kuat untuk Daerah. Maka baik kalau kita bahas tuntas," ucap dia.
Menurut Prastowo, hal itu yang menjadi kegelisahan pemerintah pusat ketika mendapati fakta bahwa otonomi daerah membutuhkan penguatan. Salah satu strategi Kemenkeu adalah membuat kebijakan fiskal yang berpihak pada penurunan ketimpangan atau kemiskinan.
Selain itu, juga penguatan kapasitas daerah melalui harmonisasi belanja yang efektif. Alhasil, lahirlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
Dia pun menjelaskan DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) serta kinerja tertentu. Dana itu dibagikan kepada pemerintah daerah penghasil dengan tujuan mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Selain itu, konsep baru DBH dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD juga memberikan dana kepada pemerintah daerah lain yang bukan penghasil sumber daya alam. Tujuannya dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.
"Jadi paradigmanya Indonesia-sentris. Tumbuh bahagia bersama, tidak egois," tutur Prastowo.
Selanjutnya TKD sendiri adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara. Dana itu dialokasikan dan disalurkan kepada pemerintah daerah untuk dikelola dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Lalu ada dana TKD yang juga termasuk DBH dan diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD. Aturan itu menggantikan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. "Ini babak baru Otonomi," ujarnya.
Selanjutnya: Formula pembagian DBH
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, DBH diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD. Soal DBH tertera dalam pasal 100-123. Jika mengacu ke peraturan itu, pagu DBH ditetapkan berdasarkan realisasi penerimaan satu tahun sebelumnya. Dalam aturan tersebut DBH ada dua jenis yakni pajak dan sumber daya alam.
Adapun DBH sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi termaktub dalam pasal 117. Di mana disebutkan dalam angka 1 bahwa DBH tersebut bersumber dari bagian negera yang diperoleh dari pertambangan minyak bumi dan gas bumi setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di pasal yang sama angka 2, disebutkan DBH sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi dihasilkan dari wilayah darat dan laut sampai dengan empat mil dari garis pantai, ditetapkan sebesar 15,5 persen. Dan dibagikan kepada provinsi yang bersangkutan sebesar 2 persen, kabupaten/ kota penghasil sebesar 6,5 persen, kabupaten/ kota lainnya yang berbatasan langsung dengan penghasil sebesar 3 persen.
“Dibagikan juga kepada kabupaten/ kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 3 persen. Dan kabupaten/ kota pengolah sebesar 1 persen,” tertulis dalam aturan tersebut.
Sementara di angka 3 pasal yang sama, dijelaskan DBH sumber daya alam minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah laut di atas 4 mil dari garis pantai sampai 12 mil dari garis pantai ditetapkan sebesar 15,5 persen, pembagiannya pun berbeda. Provinsi penghasil mendapatkan sebesar 5 persen; kabupaten/ kota dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 9,5 persen; dan kabupaten/ kota pengolah sebesar 1 persen.
Di angka 4 menjelaskan DBH sumber daya alam gas bumi yang dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sejauh 4 mil dari garis pantai. Ditetapkan sebesar 30,5 persen, dibagikan kepada provinsi yang bersangkutan sebesar 4 persen; kabupaten/ kota penghasil sebesar 13,5 persen; kabupaten/ kota lainnya yang berbatasan langsung dengan penghasil sebesar 6 persen.
“Serta kabupaten/ kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 6 persen; dan kabupaten/ kota pengolah sebesar 1 persen.”
Adapun di angka 5, menyebutkan DBH sumber daya alam gas bumi yang diperoleh dari wilayah laut di atas 4 mil dari garis pantai sampai dengan 12 mil dari garis pantai ditetapkan sebesar 30,5 persen. Yang ibagikan kepada provinsi penghasil sebesar 10 persen; kabupaten/ kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 19,5 persen; dan kabupaten/ kota pengolah sebesar 1 persen.
Selanjutnya: Respons DPR RI soal DBH
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Abdul Wahid menyayangkan pernyataan Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti Muhammad Adil yang menyebut pegawai Kemenkeu sebagai iblis atau setan. Menurut politisi asal Riau ini, pernyataan semacam itu tidak pantas untuk diungkapkan dalam forum-forum resmi pemerintahan.
"Saya juga menyayangkan, seorang kepala daerah melontarkan pernyataan yang tidak etis untuk mengungkapkan kekecewaan, terlebih itu forum resmi pemerintahan," ucapnya kepada awak media di Komplek Parlemen pada Selasa 14 Desember 2022.
Abdul mengatakan secara substansi ia dapat memahami rasa kekecewaan Bupati Meranti terhadap DBH migas, namun ada etika komunikasi yang harus dijaga. Menurut dia, apabila ada rasa kecewa, tentu harus diungkapkan dengan cara yang lebih baik.
Terlebih lagi seorang bupati adalah kepala daerah, ada standar etika yang dikedepankan sebagai seorang pejabat publik. "Saya menangkap maksudnya bagus, memperjuangkan daerah terkait DBH migas, tapi tentu perlu pendekatan yang baik. Ada banyak jalur yang bisa ditempuh bagi seorang kepala daerah, bisa melalui gubernur dan Mendagri," kata Abdul.
Anggota DPR RI Fraksi PKB ini mengajak semua kepala daerah penghasil migas agar saling bersinergi dalam memperjuangkan kepentingan daerah dengan menempuh cara dan pendekatan yang baik. "Di Riau tidak hanya Meranti penghasil migas, ada banyak kabupaten lain yang juga daerah penghasil. Mari kita saling bersinergi dengan menempuh cara dan pendekatan yang baik," ucap Abdul..
Sementara, pengamat politik dan akademisi, Rocky Gerung melalui kanal YouTube pribadinya mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Muhammad Adil bisa saja menginspirasi kepala daerah lainnya di Indonesia untuk mengkritik pemerintah pusat.
Rocky bahkan menilai Adil layak jadi calon presiden independen lantaran kemampuannya untuk membayangkan masa depan Indonesia melalui peristiwa lokal. “Saya melihat politik pembangkangan dari Bupati Meranti ini akan menginspirasi banyak bupati karena diam-diam orang merasa aspirasi mereka tersalur," tutur Rocky.
Selanjutnya: Keluhan DBH dari Gubernur Kalimantan Timur
Sebelum Adil, keluhan serupa datang dari Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor. Menurut Isran, selama ini pembagian DBH belum dapat membantu pembangunan daerah secara maksimal. Ia mencontohkan, melimpahnya produksi kelapa sawit belum dapat dinikmati masyarakat setempat karena ketidakseimbangan formulasi pembagian DBH.
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, menuturkan isu ketidakadilan dalam alokasi DBH yang masih terus terjadi hingga kini menunjukkan bahwa transparansi keseimbangan keuangan pusat dan daerah belum dirasakan semua pihak.
"Dalam kasus Kabupaten Meranti, misalnya, yang dibutuhkan adalah transparansi ihwal jumlah produksi oleh kontraktor migas, berapa pendapatan yang diterima pemerintah, serta bagaimana pendapatan SDA itu kemudian dibagi-bagikan kepada daerah penghasil dan daerah sekitarnya," ucap dia.
Di sisi lain, Yusuf mengatakan, pemerintah perlu mencari solusi tentang fluktuasi penerimaan DBH sumber daya alam yang dipengaruhi oleh harga komoditas internasional. "Perlu dipikirkan mekanisme smoothing karena alokasi DBH yang sering kali fluktuatif jumlahnya menimbulkan kesulitan bagi daerah melakukan perencanaan dan penganggaran."
Sementara, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menambahkan, salah satu evaluasi mekanisme DBH yang dapat dikaji adalah membuka opsi penerapan windfall tax di Indonesia. hal itu sebagaimana yang telah dijalankan di banyak negara.
Adapun windfall tax merupakan pajak tambahan yang dapat dikenakan pemerintah kepada industri tertentu ketika kondisi ekonomi memungkinkan industri menghasilkan keuntungan di atas rata- rata. "Ini untuk menjawab pertanyaan mengapa ketika ada booming harga komoditas, pemda merasa tidak mendapat manfaat yang signifikan," kata Bhima.
Menurut dia, pemerintah pusat dapat memberlakukan windfall tax terhadap keuntungan sumber daya alam, baik pada perusahaan migas, tambang, maupun perkebunan besar. Kemudian, pajak atas kenaikan harga komoditas itu dapat dialirkan langsung kepada pemerintah daerah sebagai DBH.
"Ini tentu akan lebih adil bagi masyarakat di daerah. Tapi pemda juga jangan boros belanjanya pada belanja pegawai atau hal-hal yang tidak berkorelasi terhadap kesejahteraan penduduk lokal." Sebaliknya, belanja harus dialokasikan tepat sasaran, misalnya untuk kebutuhan pendidikan, kesehatan, bantuan sosial, dan upaya mendorong pengembangan UMKM.
RIANI SANUSI PUTRI | GHOIDA RAHMAH | ANNISA FIRDAUSI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.