Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua kardus berukuran sedang bertumpuk di atas meja bambu. Ada pula beberapa paket kecil berbalut plastik bubble wrap putih yang siap angkut. Paket-paket itu berisi aneka produk Trufflelogy—sebuah usaha kerajinan cokelat artisan di Yogyakarta—dengan berbagai varian rasa. Seorang petugas pengantar paket bersiap membawanya ke lokasi pengiriman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Yang kardus tadi akan dikirim ke Bandung. Ini kiriman rutin ke satu-satunya reseller kami di sana,” kata Balindo, saat ditemui di kantor Trufflelogy di Dusun Jaban, Desa Sinduharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis petang, 9 Februari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilik sekaligus pendiri Trufflelogy itu sibuk membalas chat di handphone-nya. Ia merespons konsumen yang memesan produk olahan cokelatnya. Maklum, momen Valentine’s Day yang identik dengan cokelat tinggal menghitung hari. “Alhamdulillah, pesanan bisa naik 300-500 persen,” tutur Balindo, yang tampil santai dengan celana pendek dan kaus.
Pemilik Trufflelogy, Balindo di Trufflelogy, Sleman, Yogyakarta, 9 Februari 2023. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Dari Kopi ke Cokelat
Pemuda asli Batam berusia 38 tahun ini merintis usaha cokelat artisan itu sejak 2020. Itu berawal dari kepindahannya dari Batam ke Yogyakarta atas permintaan abangnya untuk turut merawat ibunya. Balindo, yang semula menekuni coffee shop di kota industri itu, pun hijrah ke Kota Gudeg pada 2018. Kemudian ia membulatkan tekad untuk menekuni bisnis ini. Sebab, selain kopi, Balindo penyuka cokelat. “Dan bahan raw material cokelat di Indonesia kan bagus,” tutur dia.
Balindo mengawali semuanya dari nol. Ia memulai dengan mengikuti kursus kilat selama dua hari di Yogyakarta. Namun ilmu yang didapat dari kelas berbayar Rp 800 ribu itu sangatlah dasar. Tak sampai menyentuh pelajaran soal komposisi bahan yang diperlukan. “Nonton di YouTube malah lebih lengkap,” tutur Balindo.
Selepas kursus, mulailah Balindo menerapkan ilmunya dengan bermodalkan peralatan dapur di rumah abangnya. Ia biasa membuat cokelat pada malam hari ketika dapur tak digunakan. Kemudian Balindo mencicipinya pada pagi hari. Uji coba dengan beragam komposisi bahan dilakukan berulang kali. Dan berulang kali pula gagal. “Beruntung, saya enggak menyerah,” tutur pemuda lulusan ekonomi bisnis Universitas Trisakti Jakarta itu.
Saat mencicipi, apabila dirasa cokelat buatannya bernilai enam dan tidak enak, Balindo akan membuangnya. Sebaliknya, apabila cokelat buatannya layak dinilai tujuh ke atas, ia percaya diri untuk meminta keluarga dekat ikut mencicipinya. Hingga sampai pada titik di mana lidahnya menemukan komposisi bahan yang dirasa pas, ia mulai menjualnya. “Kalau saya bisa menghabiskan satu produk cokelat itu sendiri, itu yang saya jual,” tutur Balindo, yang ingin menjelaskan bahwa ia suka produk itu.
Dengan modal awal sekitar Rp 900 ribu, Balindo bisa menjual 50 kotak cokelat. Sebagian hasil penjualan disisihkan untuk membeli peralatan membuat cokelat setahap demi setahap. Secara bertahap pula, Balindo mulai mempekerjakan dua karyawan. Kemudian ia menyewa rumah tiga kamar untuk tempat tinggal sekaligus produksi.
Rupanya, tak mudah juga mendapatkan bahan baku cokelat secara cepat. Mengingat ia baru bisa memesan 10 kilogram cokelat. “Masih pemain kecil, belum dianggap. Dibanding usaha besar yang pesan berton-ton cokelat. Enggak masalah, sih,” kata Balindo memaklumi.
Kini, usaha cokelatnya berkembang cukup pesat. Bahkan ia bisa memesan 1 ton cokelat untuk satu bulan. Produk yang dihasilkannya berkembang. Semula berupa cokelat truffle dalam kotak kecil dengan enam varian rasa dan harga. Ada Matcha Lover dan Salted Caramel (Rp 60 ribu), The Choco Rum dan The Choco Mint (Rp 55 ribu), serta The Choco Milk dan The Dark Light (Rp 50 ribu).
Berbagai produk Trufflelogy di Sleman, Yogyakarta, 9 Februari 2023. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Kini bertambah dengan produk cokelat cair dengan empat varian rasa, Original Creamy, Choco Hazelnut, Choco Black Forest, dan Choco Salted Caramel, dalam botol tanpa pengawet (Rp 45 ribu). Sebab, pengawet mempunyai efek buruk bagi kesehatan. “Silakan diminum dalam kondisi dingin. Sekali dibuka, harus segera habis,” kata Balindo.
Kemudian ada cokelat bubuk Cocoa Drink (Rp 95 ribu). Produk ini untuk mengedukasi konsumen agar bisa membuat minuman cokelat sendiri di rumah, tanpa gula. Ia juga membeberkan komposisi bahan apa saja yang bisa dipadupadankan. Apabila ingin manis, cukup ditambah SKM yang low sugar secukupnya. “Karena nilai toleransi gula saya sangat rendah. Saya enggak begitu suka manis,” tutur Balindo.
Kemudian produk teranyar adalah Cocoa Nibs, yang merupakan biji cokelat fermentasi yang dikemas dalam kaleng. Ada varian 100% Pure Original (Rp 90 ribu), Fruid & Seed Granola, French Vanilla Almond Granola, dan Sea Salt (Rp 80 ribu).
Balindo menyebutnya sebagai produk kesehatan karena Cocoa Nibs diolah dari pohon kakao yang diberi pupuk organik tanpa zat kimia. Kemudian proses fermentasi bijinya tanpa gula. Khususnya 100% Pure Cacao punya manfaat untuk menjaga kesehatan jantung, memperbaiki pencernaan, menurunkan risiko stroke, antiinflamasi, juga untuk menjaga mood.
Secara umum, Cacao Nibs bisa digunakan untuk campuran membuat snack ataupun topping untuk kue, minuman, yogurt, ataupun oatmeal. “Kalau di Eropa disebut superfood. Ini belum biasa di Indonesia.”
Mayoritas pembeli produk Trufflelogy justru datang dari luar Yogyakarta. Mereka mengetahui melalui media sosial, khususnya Instagram. Ada yang mampir ke rumah produksinya saat sekalian liburan. Ada juga yang memesan melalui toko online. Mayoritas dari Jabodetabek, sebagian lagi dari luar Jawa, seperti Kalimantan. “Orang Yogya malah banyak yang enggak tahu. Kalaupun ada yang datang karena dapat pesanan dari saudaranya di luar Yogya,” tutur Balindo, lalu tersenyum.
Agar produknya dicintai pelanggan, Balindo mempertahankan rasa. Ia menjual cokelat dalam kondisi segar. Produksi dibuat pagi hari ini, kemudian bisa dikonsumsi esok hari. Jumlah produksinya pun secukupnya. Seperti 100 botol minuman cokelat dan 60 kilogram cokelat per hari.
“Jadi, selalu fresh produksi. Itu yang selalu kami jaga,” kata Balindo. Selain itu, memberi edukasi secara langsung ataupun melalui media sosial.
Ia pun menolak menyebutkan produk mana yang best seller. Alasannya, setiap konsumen mempunyai selera yang berbeda. “Jadi, saya enggak bisa mengklaim. Kalau dilihat paket yang keluar per bulan, enggak ngejomplang banget. Rata-rata sama, ya,” Balindo mengungkapkan.
Rezeki pun terus mengalir. Jumlah karyawan juga bertambah menjadi 12 orang di bagian produksi. Mereka adalah korban PHK akibat pandemi Covid-19. Ia juga mempekerjakan lima orang dalam satu keluarga untuk membuat kemasannya. Namun, untuk urusan resep baku, Balindo tetap harus turun langsung ke dapur tiap hari untuk memastikan komposisi dan rasa tak meleset.
Balindo juga bisa membangun rumah sendiri dan menyewa rumah yang lebih luas untuk kantor dan produksi cokelatnya di Sleman. Sedangkan reseller-nya bertebaran di Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Semarang, dan akan menyusul di Bali.
Co-Founder dan Pemilik Pipiltin, Tissa Aunilla. TEMPO/ Tony Hartawan
Promosikan Cokelat Indonesia di Jepang
Momen Valentine yang identik dengan cokelat memang membawa berkah tersendiri bagi para pemilik usaha olahan berbahan dasar biji kakao, terlebih cokelat artisan. Salah satu pemain lamanya adalah Pipiltin, yang didirikan Tissa Aunilla bersama adiknya, Irfan.
Menjelang perayaan hari kasih sayang, agenda Tissa cukup padat. Saat dihubungi Tempo pada Kamis sore, 9 Februari lalu, Tissa baru saja pulang dari Jepang. Di Negeri Sakura itu, ia menghadiri sebuah pameran cokelat terbesar di Kansai. Bukan sebagai pengunjung, melainkan karena brand cokelatnya menjadi satu-satunya wakil Indonesia yang turut meramaikan ekshibisi tersebut.
Di Jepang terdapat budaya merayakan Valentine dengan perempuan akan memberikan cokelat kepada pria. Setiap menjelang Valentine, pameran cokelat ini rutin digelar selama sebulan sejak Januari dan diikuti lebih dari 300 jenama dari berbagai dunia, termasuk Pipiltin. “Kami sudah tahun keempat ikut berurutan,” ujar Tissa.
Perempuan berusia 44 tahun itu mengungkapkan bahwa keterlibatannya dalam ekshibisi tersebut sekaligus untuk mempromosikan cokelat Indonesia yang kaya akan cita rasa. “Kami juga mencari konsumen dan timing yang pas. Kami di sana belum punya store, sehingga kesempatan itu bisa dipakai.”
Tissa menuturkan, pameran tersebut memberikan ruang yang cukup untuk menyampaikan cerita di balik produk-produk Pipiltin kepada konsumen. Pasalnya, Pipiltin tidak hanya menjual rasa cokelat, tapi juga cerita para petani kakao yang menjadi mitra mereka. “Brand story harus tersampaikan dengan baik. Nah, itu salah satu caranya dengan opening stories,” ujarnya.
Selain menghadiri pameran, Tissa mengunjungi Osaka University. Ia berkolaborasi dengan kampus tersebut untuk melihat perkembangan riset mengenai identifikasi flavor notes pada cokelat Indonesia. Penelitian tersebut telah berjalan hampir empat tahun.
Saat berkunjung ke sana, Tissa mendapatkan kesimpulan bahwa cokelat Indonesia beragam dibanding negara penghasil cokelat lainnya. Ada enam biji kakao asal Indonesia yang diteliti, yaitu dari Aceh, Jawa Timur, Flores, Bali, Kalimantan Timur, dan Papua Barat.
Pengunjung melihat produk Pipiltin dalam Valentine's Chocolate Expo di Kansai, Jepang, Februari 2023. Dok. Pipiltin
Menurut Tissa, setiap daerah memiliki rasa cokelat yang berbeda. Bali, misalnya, memiliki rasa buah-buahan dan creamy. Cokelat Aceh khas dengan rasa kacang-kacangan dan sedikit kopi. Jawa Timur memiliki rasa raisin dan after taste (rasa dan aroma yang tertinggal dalam mulut) madu.
Cokelat Flores memiliki rasa rempah, seperti cengkeh dan kayu manis. Kemudian Kalimantan Timur memiliki rasa asam buah citrus. Papua Barat, kata Tissa, ada rasa gurih dan sedikit nutty serta buah-buahan. Jika ditanya, cokelat mana yang paling bagus, itu tergantung selera. “Semua biji cokelat baik kualitasnya,” ujar Tissa.
Varian rasa dari biji cokelat dari berbagai daerah itu bisa dijumpai dalam produk-produk yang dikembangkan Pipiltin. Tissa mengungkapkan, saat ini Pipiltin memiliki 70 varian cokelat, dari chocolate drinks, cocoa baked chocolate, chocolate bar, cacao nibs, hingga soft ice cream. Harganya pun variatif, dari Rp 28 ribu hingga Rp 300 ribu dalam model hampers.
Salah satu produknya yang paling banyak disukai adalah chocolate cracks. Untuk single origin, cokelat dari Bali, Papua Barat, dan Aceh menjadi favorit banyak orang. Pipiltin juga mengembangkan cokelat yang tidak menggunakan gula alias 100 persen kakao. Produk ini menargetkan konsumen yang peduli dengan kesehatan maupun penderita diabetes agar tetap bisa menikmati kelezatan penganan ini.
Berdiri pada 2013, Tissa bersama sang adik, Irfan, menggerakkan Pipiltin dengan membeli biji kakao langsung dari petani dan mengolahnya. Tissa menceritakan, awal mula ide membangun bisnis ini muncul setelah ia mengkonsumsi cokelat premium dari Swiss. Cokelat yang ia makan langsung lumer di mulut. Rasanya pun sangat flavorful, bukan hanya manis dan pahit dari cokelat, tapi juga ada sensasi buah-buahan dan rasa lain yang sulit ia identifikasi. Padahal, dalam kemasannya, cokelat itu tidak memiliki kandungan tambahan apa pun. Hanya biji kakao, gula, dan susu.
Iseng mengecek situs brand cokelat tersebut, Tissa menemukan fakta mencengangkan. Rupanya, bahan baku produk cokelat yang dia makan berasal dari biji kakao di Jember, Jawa Timur. “Berarti itu biji cokelat sudah travelling ke Swiss, dibikin jadi cokelat premium dengan harga sangat premium, dan balik lagi ke Indonesia untuk kita beli,” tutur Tissa.
Tissa menyayangkan saat itu belum ada merek lokal yang menjual produk cokelat premium dan single origin dari berbagai daerah. Padahal, Indonesia merupakan negara ketiga penghasil kakao terbesar di dunia. Selain itu, Tissa melihat peminat cokelat premium di Indonesia, terutama di kota-kota besar, cukup banyak. Namun mereka banyak yang mencari merek cokelat dari Prancis. Demi menciptakan produk cokelat premium lokal yang enak, Tissa sampai belajar ke Swiss untuk mendapatkan sertifikat master chocolatier. Di sana, ia mempelajari proses pengolahan cokelat.
Nama Pipiltin berasal dari pipiltzin, yang berarti kelompok bangsawan di peradaban Aztek. Sebab, cokelat pertama kali ditemukan di Meksiko dan digunakan sebagai alat tukar karena nilainya yang tinggi. Cokelat juga pada zaman dulu dibuat sebagai minuman para dewa. Terinspirasi dari kisah itu, Tissa mengatakan bahwa ia ingin membuat cokelat sebaik mungkin bagi para konsumen yang ia asosiasikan sebagai pahlawan. “Kalau enggak ada customer, siapa yang beli cokelatnya? Siapa yang berdayakan petani? The hero is the customer.”
Selama satu dasawarsa, usaha Pipiltin berkembang cukup pesat. Pada tahun ini saja, Tissa sudah membuka dua cabang baru di Jakarta. Cabang ketujuh dan kedelapan itu bertempat di Pondok Indah Mall 1 dan Lotte Shopping Avenue. Mereka juga sudah cukup lama merambah pasar mancanegara, seperti Jepang, Singapura, Malaysia, dan Rusia—sebelum terjadi perang dengan Ukraina.
CEO dan founder Krakakoa, Sabrina Mustopo, bersama petani kakao. Dok. Krakakoa
Mendapat Pengakuan Internasional
Pemain lainnya yang sudah cukup lama di dunia cokelat artisan adalah Krakakoa, yang dirintis Sabrina Mustopo. CEO Krakakoa ini memulai usaha cokelat artisan pada 2013. Ia pun rela melepas kariernya di sebuah perusahaan konsultan manajemen multinasional di bidang pertanian. Sabrina tertarik membuat produk olahan cokelat premium dengan bahan baku lokal karena melihat potensi Indonesia yang merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia. “Masa kita memproduksi biji cokelat begitu banyak, tapi saat itu masih bisa dibilang belum ada merek cokelat yang original dari Indonesia yang fokus ke produk premium,” kata Sabrina.
Perempuan kelahiran Jakarta ini juga melihat masalah yang membayangi para petani kakao, yaitu pendapatan dan produktivitasnya yang rendah. Ia tergerak untuk membantu para petani kakao dengan merintis Krakakoa. Dengan modal awal sejumlah US$ 20 ribu atau sekitar Rp 194 juta (menggunakan kurs pada 2013, yaitu di level Rp 9.700), Sabrina mengolah biji cokelat sampai berupa produk jadi.
Ia membeli bahan baku langsung dari para petani kakao di Lampung dengan harga di atas pasar. Modal juga ia gunakan untuk membeli alat mesin skala kecil dan kemasan produk. Pabrik pembuatan cokelat ini beralamat di Kecamatan Bumi Waras, Bandar Lampung.
Sabrina pun sampai mengambil kursus tentang pembuatan cokelat di Ghent University, Belgia. Walau memiliki latar pendidikan ilmu pangan, ia mengaku sama sekali tak tahu apa pun tentang cokelat. “Tanaman cokelat seperti apa belum tahu. Saya ketemu sama petani, diskusi, saya ada plan dan ide, apakah tertarik menjual biji cokelat dan harus difermentasi dan menjaga sustainability juga,” ujar perempuan berusia 38 tahun itu.
Selama hampir satu tahun, ia mengembangkan produk olahan cokelat dengan bahan baku dari Kabupaten Tanggamus, Lampung. Setelah berkali-kali menjalani uji coba, akhirnya produk Krakakoa mulai diminati konsumen dalam negeri hingga mancanegara, seperti Singapura, Eropa, Selandia Baru, Hong Kong, dan Jepang. Dalam satu tahun, Krakakoa mengekspor 8 ton produk jadi. Sedangkan untuk dalam negeri, total produksinya mencapai 40 ton per tahun.
Paket cokelat Flavours of the Archipelago Krakakoa. Dok. Krakakoa
Bahan bakunya pun tak hanya dari Lampung. Krakakoa juga mengolah biji kakao dari petani di Aceh, Sulawesi, Bali, dan Papua. Masing-masing kakao, kata Sabrina, memiliki ciri khas tertentu sama seperti biji kopi. Bagi konsumen yang ingin menikmati kelezatan cokelat dari tiap daerah, Krakakoa menawarkan varian single origin dengan kadar cokelat mulai dari 45 persen hingga 100 persen.
Produk olahan Krakakoa tak melulu cokelat batang atau chocolate bar. Krakakoa mengembangkan berbagai varian produk, seperti snack, minuman cokelat, dan kukis. Total ada 25 produk cokelat yang dikembangkan Krakakoa dengan aneka rasa. Produk Krakakoa dapat ditemukan di 200 toko. Selain membuat olahan cokelat yang sudah jadi, Sabrina memiliki produk yang khusus dijual ke kafe atau restoran, yaitu cokelat kiloan sebanyak 15 varian.
Kegigihan Sabrina dalam membangun bisnis olahan cokelat ini telah mendapat pengakuan internasional. Krakakoa meraih penghargaan Indonesia’s Best Chocolate Factory di London pada 2017 dari Academy of Chocolate Awards.
Bisnis olahan cokelat ini juga sempat terpuruk, terutama pada masa pandemi Covid-19. Sabrina menuturkan, penjualan mereka turun hingga 75 persen. Ia pun segera memutar otak dengan beralih ke ranah online. “Awalnya kami juga kurang yakin cokelat bisa dijual online, apalagi kalau mesti dikirim takutnya meleleh,” kata Sabrina.
Menurut Sabrina, penjualan cokelat di marketplace rupanya cukup laku. Untuk mempertahankan bisnisnya, ia memotong anggaran promosi offline dan berfokus mengembangkan bisnisnya secara online. Seiring dengan kondisi pandemi yang membaik, Krakakoa mulai kembali ke ranah offline. Bahkan, pada Maret atau April tahun ini, mereka berencana membuka toko di Bali.
PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo