Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Bukan Kalung Antivirus

Minyak atsiri dari tumbuhan Eucalyptus sp. sudah digunakan dalam industri farmasi untuk antibakteri, obat batuk, dan aromaterapi. Sebagai antivirus Covid-19 masih sebatas penelitian laboratorium.

25 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja menunjukkan kalung antivirus hasil pengolahan laboratorium nano teknologi di Balitbangtan, Cimanggu, Bogor, Jawa Barat, 7 Juli 2020. ANTARA/Arif Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Minyak atsiri dari tumbuhan Eucalyptus sp. sudah banyak digunakan dalam industri farmasi sebagai antibakteri, obat batuk, dan aromaterapi.

  • Penelitian aktivitas antivirus corona Eucalyptus baru sebatas simulasi komputer dan percobaan in-vitro.

  • Klaim potensi antivirus dari Eucalyptus harus dilanjutkan ke penelitian in-vivo atau penggunaan hewan percobaan di laboratorium dan uji klinis untuk melihat respons obat terhadap tubuh manusia.

MENTERI Pertanian Syahrul Yasin Limpo tampak bersemangat mempromosikan kalung antivirus corona dalam konferensi video di kantor Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang diunggah kembali melalui kanal YouTube Kementerian Pertanian, Jumat, 3 Juli lalu. Kalung aromaterapi berbahan minyak atsiri Eucalyptus sp. itu adalah hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. “Jika dipakai 15 menit bisa melumpuhkan 42 persen virus corona. Sedangkan bila dikenakan 30 menit bisa mematikan 80 persen virus corona,” kata Syahrul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan Menteri Syahrul itu mendadak sontak menjadi kontroversi. Menurut Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, seharusnya Syahrul tidak mengklaim produk tersebut sebagai antivirus karena akan menyebabkan persepsi yang salah bahwa tanaman herbal dapat membunuh virus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Herawati mengatakan senyawa aktif eucalyptol hanya mungkin berperan sebagai penghambat replikasi virus. Ia merujuk pada studi Arun Dev Sharma dan Indrajeet Kaur dari Lyallpur Khalsa College Jalandhar, India. Makalah mereka berjudul “Eucalyptol (1,8-cineole) from Eucalyptus Essential Oil a Potential Inhibitor of Covid-19 Corona Virus Infection by Molecular Docking Studies” itu dipublikasikan di platform Preprints.org pada Maret lalu. Molecular docking atau penambatan molekul adalah metode komputasi yang meniru peristiwa interaksi suatu molekul ligan (pemicu sinyal) dengan protein yang menjadi target pada uji in-vitro. “Eksperimen in silico (simulasi komputer) ini hanya bersifat pemodelan dan belum pernah dipelajari lebih lanjut,” ujar Herawati kepada Tempo, Ahad, 5 Juli lalu.

Menurut riset Sharma dan Kaur tersebut, senyawa aktif dari minyak atsiri Eucalyptus yang bernama 1,8-cineole itu dapat menempel dengan 3C-like protease (3CLPro)—protease utama (Mpro) virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Protease adalah enzim yang mempercepat pemecahan protein menjadi polipetida lebih kecil atau asam amino tunggal. Protease menjadi target yang sangat menarik kalangan ilmuwan untuk merancang obat antivirus.

Penelitian Sharma dan Kaur baru sebatas simulasi komputer dan riset Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian pun baru pada tahap percobaan in-vitro. Uji in-vitro merupakan salah satu bentuk pengujian bioaktivitas suatu bahan menggunakan tabung reaksi, piring kultur, atau di luar tubuh makhluk hidup. Uji in-vitro mesti ditindaklanjuti dengan uji in-vivo alias menggunakan hewan percobaan laboratorium dan uji klinis untuk melihat respons obat terhadap tubuh manusia.

Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indi Dharmayanti mengatakan semua inovasi dari institusinya, termasuk kalung eucalyptus, sebagai produk kesehatan yang masih dalam tahap uji in-vitro dengan proses riset dan penelitian yang masih panjang. “Sebenarnya bukan obat untuk corona (Covid-19) karena riset masih terus berjalan. Ini adalah ekstrak dengan metode destilasi untuk bisa membunuh virus yang kami gunakan di laboratorium. Sesudah kami lakukan screening, ternyata eucalyptus ini memiliki kemampuan membunuh virus avian influenza (H5N1) bahkan virus gammacorona dan betacorona,” ucap Indi melalui keterangan tertulis, Sabtu, 4 Juli lalu.

Gunawan Pasaribu, peneliti biokimia dan Kepala Laboratorium Hasil Hutan Bukan Kayu Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, membenarkan kabar bahwa 1,8-cineole merupakan salah satu senyawa aktif dalam minyak atsiri Eucalyptus. Selain itu, kata dia, terkandung senyawa lain, di antaranya piperitonecitronellalcitronellollinaloolpara-cymeneα-phellandreneα-pinenaβ-pinenaα-terpinenasabinenamirsenaα-terpineol, limonen, alloocimene, dan γ-terpinen.

Menurut Gunawan, penelitian senyawa aktif 1,8-cineole saat ini baru pada tahap pengujian in-vitro dan in-vivo. “Saya kira belum ada produk obat sampai saat ini yang berbahan dasar minyak atsiri Eucalyptus. Yang ada baru pada tataran bahan baku obat atau kandidat obat,” tuturnya melalui surat elektronik, Selasa, 21 Juli lalu.

Gunawan mengakui pihaknya juga mengkaji potensi minyak atsiri Eucalyptus. “Penelitian kami lebih diarahkan pada formulasi produk aromaterapi berbasis minyak atsiri,” ujarnya.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengenakan kalung bertuliskan anti virus corona di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 7 Juli 2020. TEMPO/Tony Hartawan

Minyak atsiri Eucalyptus, kata Gunawan, sudah dimanfaatkan secara luas sebagai bahan dalam produk minyak gosok dan produk aromaterapi lain. Berdasarkan penelusuran di basis data DrugBank, terdapat satu produk berbasis eucalyptol—sebutan lain 1,8-cineole—untuk mengobati gangguan kulit acne rosacea yang salah satunya disebabkan oleh infeksi bakteri. Selain itu, terdapat 314 produk yang mengandung eucalyptol sebagai campuran, dari antiseptik pencuci mulut hingga pastiles atau permen obat batuk.

Aktivitas antibakteri Eucalyptol sudah banyak diteliti ilmuwan di dunia. Salah satunya penelitian Ameur Elaissi dari University of Monastir, Tunisia, yang membandingkan aktivitas antibakteri minyak atsiri dari delapan jenis Eucalyptus terhadap tujuh macam bakteri. Delapan jenis Eucalyptus itu adalah E. bicostata, E. cinerea, E. maidenii, E. odorata, E. sideroxylon, E. astringens, E. lahmannii, dan E. leucoxylon. Sedangkan tujuh bakteri tersebut adalah Haemophilus influenzaeKlebsiella pneumoniaePseudomonas aeruginosaStaphylococcus aureusStreptococcus agalactiaeStreptococcus pneumoniae, dan Streptococcus pyogenes.

Penelitian laboratorium Elaissi itu menemukan bahwa minyak atsiri dari E. Odorata memiliki aktivitas paling kuat melawan S. aureus, H. influenzae, S. agalactiae, S. pyogenes, dan S. pneumoniae. Adapun minyak atsiri dari E. bicostata memiliki aktivitas antivirus terbaik. Riset Elaissi menyimpulkan bahwa aktivitas antimikroba minyak atsiri tak hanya terkait dengan konsentrasi tinggi senyawa aktif terbesar (1,8-cineole), tapi juga karena keberadaan senyawa kandungan menengah dan minor.

Penelitian lain dilakukan Sri Mulyaningsih dan kawan-kawan dari Heidelberg University, Jerman, yang mengkaji aktivitas antibakteri minyak atsiri Eucalyptus melawan bakteri yang telah resistan terhadap multiobat. Riset Sri menemukan minyak atsiri dari buah Eucalyptus globulus memiliki aktivitas melawan bakteri Staphylococcus aureus, yang telah resistan terhadap methicillin—antibiotik. Ternyata Sri menemukan kandungan senyawa aktif terbesar dalam minyak atsiri buah E. Globulus adalah aromadendrene, yang sebesar 31,17 persen.

Gunawan mengatakan sebenarnya Eucalyptus belum banyak dibudidayakan di Indonesia sebagai penghasil minyak atsiri. “Pohon Eucalyptus yang dikembangkan sekarang hanya untuk produksi kertas dan bubuk kertas,” ucapnya.

Spesies untuk pohon hutan tanaman industri itu adalah Eucalyptus pellita F. Muell. Adapun minyak atsiri hanya menjadi produk sampingan dari limbah kayu berupa daun. Penelitian Riana Anggraini dari Universitas Jambi mengungkap minyak atsiri dari daun Eucalyptus pellita F. Muel milik pabrik bubur kertas PT Wirakarya Sakti mengandung 1,8-cineole sebesar 39,65-41,13 persen.

Untuk memenuhi kebutuhan akan senyawa aktif 1,8-cineole itukata Gunawan, sebenarnya lebih banyak diperoleh dari pohon kayu putih (Melaleuca cajuputi), yang merupakan tumbuhan asli Indonesia. Eucalyptus merupakan tumbuhan asli Australia. Ada sekitar 700 spesies Eucalyptus, yang kebanyakan merupakan flora endemis di Australia, dan beberapa jenis ada di Papua Indonesia serta Papua Nugini. Eucalyptus dan kayu putih merupakan satu keluarga, yakni famili Myrtaceae.

Menurut Robert Tisserand dan Rodney Young dalam buku Essential Oil Safety (Second Edition, 2014), sumber 1,8-cineole paling tinggi adalah Eucalyptus plenissima dengan konsentrasi 85-95 persen. Berikutnya adalah Eucalyptus polybractea (88,7-91,9 persen); Eucalyptus globulus (65,4-83,9); Eucalyptus camaldulensis (46,9-83,7); Eucalyptus smithii (77,5); dan Eucalyptus maidenii (76,8). Adapun konsentrasi 1,8-cineole di dalam kayu putih (Melaleuca cajuputi) sebesar 41,1-70,8 persen.

DODY HIDAYAT, FRANCISCA CHRISTY ROSANA, EKO WAHYUDI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus