Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aturan ekspor pasir laut yang diteken Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023 lalu, dikecam berbagai organisasi lingkungan dan ekonom. Beleid pengerukan pasir laut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Peraturan ini membuka keran ekspor pasir laut yang telah dilarang selama 20 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah melarang jual beli pasir laut melalui penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut pada tahun 2002. Juru Kampanye Greenpeace Indonesia Afdillah mengatakan, pembukaan ekspor pasir laut akan membawa imbas negatif terhadap lingkungan pesisir. "Dibukanya tambang pasir laut akan mengancam dan memperparah keberlanjutan ekosistem laut di wilayah tambang," kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senada dengan Greenpeace, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan penambangan pasir laut menyebabkan kerusakan permanen bagi lingkungan.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Parid Ridwanuddin mengungkapkan, selama ini sudah ada tujuh pulau yang tenggelam di kawasan Jakarta. Sebab, terjadi penambangan pasir untuk kepentingan reklamasi. Belum lagi terjadi kenaikan air laut dengan tren yang sangat cepat, yaitu 0,8 sampai 1 meter.
"Jika belajar dari pengalaman tempat lain soal pertambangan pasir, akan banyak pulau-pulau kecil yang tenggelam," ujar dia.
Ekonom dan pakar kebijakan publik sekaligus CEO Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai, pembukaan kembali ekspor pasir laut sama saja menjual pulau NKRI yang akan memperluas batas Zona Ekonomi Economy (ZEE) negara lain dan memperkecil ZEE Indonesia.
"Kebijakan itu hanya untuk kepentingan negara asing dan untungkan oligarki eksportir," kata Achmad.
Menjawab kritikan publik, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim ekspor pasir laut tidak merusak lingkungan. Dia menuturkan aktivitas ekspor pasir laut akan dipantau melalui teknologi jarak jauh.
"Kita pastikan tidak (merusak lingkungan) pekerjaannya," tutur Luhut. “Pasir laut itu kita pendalaman alur. Karena kalau tidak, alur kita akan makin dangkal. jadi untuk kesehatan laut juga,"
Dia melanjutkan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan mendapat manfaat besar jika pasir laut harus diekspor. Luhut menjelaskan, sekarang proyek reklamasi yang besar adalah Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Menurut dia, Pulau Rempang akan direklamasi supaya bisa digunakan untuk industri besar solar panel.
Dugaan menguntungkan segilintir kelompok
Anggota Komisi IV Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Slamet ragu pemerintah meraup potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang besar dari kebijakan ekspor pasir laut. Sebab, dia menilai selama ini pengawasan pemerintah masih sangat lemah. "Niat baik PNBP yang dijanjikan Pak Menteri itu dengan pengawasan yang lemah khawatir, jadi memperkaya kelompok-kelompok tertentu," kata Slamet.
Sementara negara, menurut dia, tak terlalu diuntungkan dari kebijakan itu karena potensi ekonominya tidak sebanding dengan kerusakan ekologi yang ditimbulkan akibat aktivitas pengerukan pasir laut. Upaya DPR menggodok Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAHE) saat ini juga dinilai akan sia-sia.
"Kalau kemudian di lautan rusak, maka itu tidak ada artinya," tutur Slamet.
Bahkan ada dugaan kepentingan Singapura di balik pembukaan ekspor pasir laut mencuat seiring gencarnya pemerintah Indonesia membidik Negeri Singa itu untuk berinvestasi di Ibu Kota Nusantara atau IKN. Menurut informasi, ada 95 investor Singapura dari 69 perusahaan telah berkunjung ke IKN akhir Mei lalu.
Kabar tersebut ditepis oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. "Enggak ada lah di situ. Di PP-nya itu kan ekspor apabila kebutuhan dalam negeri sudah dipenuhi. Itu apabila sesuai dengan peraturan perundang-undangan," ujar Trenggono
Trenggono menjelaskan, kebutuhan untuk reklamasi di dalam negeri sendiri sudah amat besar. Ia menyebut proyek reklamasi di Indonesia tersebar di banyak wilayah seperti Jawa Timur, IKN, Batam, hingga Jakarta.
Karena itu, ia menilai pemerintah perlu mengaturnya melalui PP tersebut. Sehingga, bahan baku yang digunakan untuk reklamasi itu hanya berasal dari sedimentasi laut yang tidak merusak lingkungan.
Saat ditanya potensi ekonomi dari pengerukan pasir laut ini, Trenggono mengaku belum mengetahui pasti besarannya. Ia mengatakan pihaknya masih menghitung berapa potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang didapatkan dari kebijakan ini. "Tapi yang pasti kan reklamasi banyak itu. Sebesar itu lah potensi ekonominya," kata dia.
Kabar soal kebijakan ekspor pasir laut untuk memuluskan Singapura berinvestasi di IKN juga terdengar ke telinga Presiden Jokowi. "Enggak ada hubungannya," tutur Jokowi.
Sebetulnya, kata dia, komoditas yang diatur dalam PP tersebut adalah pasir laut hasil sedimentasi. Pasir sedimen itu, menurut Jokowi, telah mengganggu pelayaran dan kehidupan terumbu karang. Karena itu ia menilai perlu diatur ihwal pembersihan hasil sedimentasi di laut.
Dia mengatakan pemerintah sudah menggodok aturan ekspor pasir laut sejak lama. "Memang arahnya ini rapatnya sudah lama sekali, bulak-balik masih. Karena nanti arahnya ke situ," ucapnya.
Pengawasan pengelolaan pasir laut
Soal dugaan adanya pihak yang diuntungkan dari adanya PP Nomor 26 Tahun 2023, itu juga ditanggapi oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo. Menurut dia, pengawasan terhadap pengelolaan pasir laut bisa dalam berbagai bentuk. Termasuk melalui petugas pengawasan yang akan berada di setiap kapal pengeruk.
Kendati demikian, dia tak menampik ada kekhawatiran terjadi kerja sama atau kongkalikong antara petugas pengawas dengan pihak perusahaan. Sehingga, kata dia, bisa saja petugas pengawas diganti secara berkala.
Ihwal pengawasan ini juga menjadi sorotan sejumlah ahli. Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengaku tidak yakin dengan pengawasan ekspor pasir laut yang dilakukan pemerintah bakal efektif. Terlebih pengawasan di lokasi-lokasi di daerah terpencil.
“Perlu pengawasan bertingkat, yakni pengawasan terhadap orang yang mengawasi implementasi kebijakan ini,” tutur Fahmy.
Sementara, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati mengatakan penegakan hukum terhadap kasus-kasus pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih sangat lemah. "Karena banyak aktor-aktor yang dilindungi oleh negara ini dan pengawasan kita sangat lemah," ucap Susan.
Pemerintah juga beralasan tidak punya cukup anggaran untuk pengawasan. Susan menilai alasan itu juga mengada-ada, sebab PNBP dari perikanan sangat besar dan seharusnya cukup untuk memperkuat sistem pengawasan. Di sisi lain, ia berujar sebetulnya pengawasan bisa dengan cara melibatkan masyarakat atau nelayan. Sebab, yang paling membutuhkan kelestarian pasir laut adalah nelayan yang hidup di sana.
Para nelayan sangat tahu bagaimana penyelundupan pasir laut kerap terjadi. Tetapi sayangnya, menurut Susan, nelayan dan masyarakat pesisir tidak pernah dilibatkan. Sedangkan bila masyarakat melakukan penindakan, ia berujar seringkali hanya menjadi sebatas pelaporan saja dan tidak ditindaklanjuti oleh aparat.
Aturan turunan sedang dibahas
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan pelaksanaan teknis dari PP Nomor 26 Tahun 2023 akan diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Perumusannya, Staf Khusus Bidang Komunikasi Publik KKP, Wahyu Muryadi menjelaskan sedang dibahas di internal KKP.
Aturan ekspor pasir laut dalam aturan terbaru itu tercatat dalam Pasal 9 Ayat 1 PP Nomor 26 Tahun 2023 yang berbunyi Hasil Sedimentasi di Laut yang dapat dimanfaatkan berupa: a. pasir laut; dan/atau b. material sedimen lain berupa lumpur. Sementara pada Pasal 9 Ayat 2 dijelaskan beberapa pemanfaatan pasir laut.
“Pemanfaatan pasir laut bisa digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” begitu bunyi Pasal 9 Ayat 2 PP Nomor 26 Tahun 2023 dikutip pada Rabu, 14 Juni 2023.
Sebelum Permen Kelautan dan Perikanan diteken, KKP juga memastikan bakal menggelar sosialisasi ke publik dan para pemangku kebijakan lainnya. "Prinsipnya ekologi sebagai panglima," ujar dia saat dihubungi. Dia pun menegaskan kebijakan ini bukan mengatur pasir laut melainkan sedimentasi laut. Menurutnya, sudah tugas negara untuk membersihkan sedimentasi laut. Sebab, jika didiamkan justru akan menggangu biota laut seperti terumbu karang dan laut.
Wahyu berdalih ekspor pasir laut bukan tujuan utama dalam penerbitan aturan ini. Dia menilai keputusan ini akan memberi keuntungan bagi negara. Selain untuk bahan reklamasi di dalam negeri, pasir laut juga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan di luar negeri atau diekspor. “Kalau sampai implementasinya ternyata merugikan masyarakat pesisir atau merusak lingkungan, ya kami hentikan," kata dia.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin juga mengatakan pihaknya masih melakukan diskusi ihwal aturan itu. “Kami masih sosialisasi publik," ucap dia. Adin mengatakan hingga saat ini pihaknya masih menggodok Permen Kelautan dan Perikanan. Namun, dia tak menyebutkan tenggat waktu Permen itu akan dirilis.
Sementara, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengungkapkan, ekspor pasir laut merupakan opsi terakhir dalam PP Nomor 26 Tahun 2023. Menurut dia, pemerintah mengutamakan pengelolaan sedimentasi hasil laut untuk kebutuhan reklamasi dalam negeri.
"Saya berpikirnya bukan ekspor (yang utama). Saya berpikirnya mengelola sedimentasi supaya reklamasi-reklamasi yang ada di dalam negeri jangan menggunakan selain sedimentasi," ujar Trenggono saat ditemui di Batam, Jumat 9 Juni 2023.
Berdalih yang diekspor bukan pasir laut
Senada dengan KPP, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif berdalih ekspor yang diatur dalam PP Nomor 26 Tahun 2023 bukan pasir laut, melainkan sedimen. "Yang dibolehkan itu sedimen. Kan kanal itu banyakan terjadi pendangkalan, karena pengikisan dan segala macam," tutur dia di kawasan Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.
Untuk menjaga alur pelayaran, Arifin berujar, kanal di titik-titik dasar laut yang mengalami pendangkalan tersebut perlu dikeruk. "Sehingga, sedimen yang lebih bagus dilempar keluar daripada ditaro tempat kita juga," kata dia.
Menurut Arifin, kebijakan ini tidak akan menimbulkan masalah. Justru, dia menilai bila tidak dilakukan penambangan akan membahayakan alur pelayaran. Terutama, di kanal yang dekat lintas pelayaran yang masif. Di antaranya di wilayah sekitar perairan Batam, Selat Malaka, dan Selat Singapura.
Dia pun meyakini ekspor sedimen itu memiliki potensi ekonomi yang besar dan dapat menambah pendapatan negara. Mengingat minat dari Singapura cukup tinggi. "Kan dikeruk ada ongkosnya, ada nilainya dong. Supply-demand pasti ada," ujar Arif.
Sementara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Situ Nurbaya Bakar menjelaskan arti sedimentasi yang dimaksud dalam beleid PP Nomor 26 Tahun 2023. Dia mengaku pihaknya menangkap yang disebut hasil sedimentasi ini termasuk sampah limbah yang masuk ke laut, termasuk juga yang tenggelam-tenggelam di waktu yang lalu, seperti besi atau lainnya.
“Itu hasil sedimentasi secara keseluruhan,” ujar Siti.
Jika dari sisi lingkungan, kata dia, KLHK melihat bahwa sedimentasi itu adalah hasil dari proses masuknya material dari dataran yang lebih tinggi ke bawah. Selain itu, Siti berujar sedimentasi juga hasil dari aluviasi yaitu deposisi material yang searah karena gerakan, angin, dan lainnya.
Adapun PP Nomor 26 Tahun 2023, menurut dia, merupakan turunan dari Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Dia menilai beleid itu bertujuan untuk mendukung terpeliharanya daya dukung ekosistem pesisir dan laut.
Sehingga, dia menegaskan pengelolaan sedimentasi itu dikecualikan pada zona inti kawasan konservasi, kecuali untuk kepentingan kawasan konservasi. Dalam aturan itu pun disebutkan ada tim kajian yang beranggotakan berbagai kementerian dan lembaga, termasuk KLHK. Tim kajian bertugas menyusun perencanaan serta pengawasan kebijakan ini.
MOH KHORY ALFARIZI | AMELIA RAHIMA SARI | RIANI SANUSI PUTRI | RIRI RAHAYU
Pilihan editor: Jokowi dan Airlangga Kompak Tepis Ekspor Pasir Laut Demi Investor Singapura
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini