Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJARAH bank Islam dimulai dari Pakistan. Di sebuah desa kecil, sejumlah tuan tanah setuju menitipkan uangnya di sebuah bank. Bank ini lalu membuka pinjaman buat para petani untuk meningkatkan usahanya. Pinjaman tak dipungut bunga, melainkan sekadar ongkos administrasi. Bank yang berdiri pada 1950-an di Pakistan itu, yang mencoba mempraktekkan bank tanpa bunga, ternyata gagal. Bukan karena tak ada sambutan dari para petani miskin. Gaji kecil para karyawannya menyebabkan mereka satu per satu mengundurkan diri. Ditambah tak berkembangnya simpanan -- karena para tuan tanah beranggapan bahwa mereka hanya perlu sekali setor uang -- akhirnya bank ditutup. Tapi itulah pertama kalinya, menurut Rodney Wilson dalam bukunya yang sudah diindonesiakan, Bisnis Menurut Islam (PT Intermasa), sebuah bank diusahakan sesuai dengan syariat Islam. Yang menyusul dan lebih sukses adalah Bank Tabungan Mit Ghamr di Mesir. Mit Ghamr didirikan di sebuah desa tak jauh dari Kairo, pada 1962, oleh Ahmad El Nagar -- seorang pendidik yang kemudian menjadi tokoh perbankan Islam internasional. Karyawan-karyawan yang Islam menimbulkan kepercayaan para nasabah. Hingga dalam waktu tiga tahun, penyimpan uang di Mit Ghamr berkembang dari 1.000 menjadi 59.000. Menurut majalah Arabia tahun 19-83, Mit Ghamr menjalankan sistem penyertaan modal yang sebenarnya. Maksudnya, para deposan diibaratkan pemilik saham, hingga mereka berhak mendapatkan dividen bila bank untung. Sebagaimana di bank Pakistan, para peminjam hanya dikenai biaya administrasi sekadarnya. Bila Mit Ghamr lebih sukses, hal itu memang karena penyimpan uangnya lebih- besar. Dan ada batas pengembalian uang, yakni setahun sampai lima tahun, untuk menjaga agar uang terus beredar, tidak menumpuk. Eksperimen El Nagar ini menarik Yayasan Ford, yang kemudian mendiskusikannya, 5 tahun setelah bank berjalan. Ditemukanlah kelemahan percobaan ini, yakni bahwa peminjam terbatas pada mereka yang sudah punya simpanan tertentu. Jadi, bila bank Islam juga dimaksudkan jadi semacam agen pemerataan sosial, Mit Ghamr bisa disebut belum sepenuhnya Islami. Tapi jika kemudian Mit Ghamr lenyap, bukan karena belum sepenuhnya Islami. Tapi para karyawannya, yang gajinya semakin ketinggalan dibandingkan dengan usaha lain, satu per satu mengundurkan diri. Mit Ghamr merupakan pengalaman berharga, yang mendorong berdirinya Bank Sosial Nasser di Kairo. Dikelola mirip Mit Ghamr -- memang wakil manajernya adalah El Nagar -- bank Nasser memang lebih kuat. Soalnya, penyimpan modal pertama adalah pemerintah Mesir. Dengan dana kuat itu, bank yang berdiri pada 1972 ini setahun sebelum boom minyak di Timur Tengah -- jadi model bank yang kemudian berdiri di negara-negara Teluk. Misalnya, Islamic Development Bank berdiri di Jeddah (1975), menyusul Kuwait Finance House (1977). Pada awal 1980-an, berdiri Jordan Islamic Bank, kemudian Al Baraka Investment & Development Company di Saudi (bank inilah yang dikabarkan pekan ini akan menjajaki investasi di Indonesia). Yang menarik, konon bank-bank Islam itu, yang rawan terhadap sasaran para spekulan, ternyata selamat. Boleh dikata tak ada yang meminjam uang di bank Islam tanpa bunga ini, yang kemudian mendepositokan uangnya di bank komersial. Memang, dalam prakteknya ada juga satu-dua yang berbuat begini, tapi itu tak punya dampak sedikit pun. Apakah memang faktor agama berperan besar (para kreditor lebih takut pada Tuhan daripada pada pengawas bank), atau karena sebab yang lain, belum jelas benar. Hingga 1987 tercatat sudah 40 bank Islam di seluruh dunia. Dan dalam penelitian International Development Bank, perkembangannya cerah. Setiap tahun total asetnya bertambah rata-rata di atas 23%. Yang dekat dengan Indonesia adalah berdirinya Bank Islam Malaysia Berhard pada 1983. Seperti Mit Ghamr, Bank Islam Malaysia juga menerapkan sistem penyertaan modal. Prinsipnya begini. Deposan menyerahkan uangnya kepada bank untuk diniagakan. Nanti, penabung akan memperoleh 70% dari keuntungan. Sisanya buat bank. Untuk membantu usaha seorang nasabah, Bank Islam Malaysia menanamkan uangnya sebagai saham. Bila usaha itu laba, pihak bank akan memperoleh 30%. Kalau rugi, bank ikut menanggungnya. "Dalam enam tahun, kami mampu menarik hampir 36 ribu deposan dengan tabungan senilai 12 milyar ringgit," kata Dr. Abdul Halim Ismail, Direktur Pelaksana Bank Islam Malaysia. Di Indonesia, meski belum secara tegas menyebut diri bank Islam, Bank Susila Bhakti (BSB) dalam waktu dekat akan melaksanakan proyek bank bebas bunga, dengan sistem penyertaan modal. Selamat datang, bank Islam di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo