Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk Keadilan meminta agar pasal perzinaan dan homoseksual dihapuskan dari Rancangan Undang-Undang KUHP. Alasannya, rumusan pasal-pasal tersebut dianggap multitafsir sehingga rentan memunculkan diskriminasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan, Ratna Batara Munti, menyebut Pasal 495 dalam RUU KUHP yang mengatur soal homoseksual akan semakin menyudutkan dan menstigmatisasi kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Pasal itu menyebutkan bahwa perbuatan cabul sesama jenis bisa dihukum penjara maksimal 9 tahun untuk anak-anak, dan tambahan sepertiga untuk dewasa. “Setiap orang harusnya dipidana karena perbuatannya, bukan karena perbedaan kondisinya atau seksualitasnya,” kata Ratna di Jakarta, Kamis, 25 Januari 2018.
Baca: Perluasan Pasal Perzinaan Bukan Untuk Menghukum LGBT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ratna, jika memang harus diberlakukan hukuman untuk pencabulan di bawah umur, tak perlu ada embel-embel sesama jenis di dalam aturan. Baik heteroseksual maupun homoseksual, kata dia, sama-sama warga negara yang tidak bisa dikenai sanksi pidana kecuali atas perbuatan yang mereka lakukan. Apalagi KUHP sudah mengatur pemidanaan yang berlaku untuk semua, sehingga pasal tersendiri yang mengatur homoseksual tidak diperlukan.
Perluasan pasal yang mengatur tentang kriminalisasi kelompok LGBT mengemuka dalam pembahasan RUU KUHP. Dalam rapat Panitia Kerja Komisi Hukum DPR, muncul usul bahwa pidana pencabulan sesama jenis tidak hanya berlaku untuk korban anak di bawah umur tapi juga pencabulan yang dilakukan di antara orang dewasa sesama jenis.
Selain itu, muncul usul untuk memperluas pasal zina. Selama ini perbuatan zina yang bisa dipidana mensyaratkan adanya ikatan perkawinan. Sedangkan dalam Revisi KUHP diusulkan dua orang yang melakukan zina tanpa ikatan perkawinan bisa dipidana dan termasuk dalam delik aduan.
Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nahe'i, mengatakan pasal perzinaan yang tertuang dalam Pasal 484 ayat 1 huruf e RUU KUHP mengatur soal persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan secara sukarela dalam kondisi belum menikah. Meski praktik ini meresahkan masyarakat, kata dia, tidak berarti negara perlu menyelesaikannya dengan pidana. “Tidak semua yang berdosa harus dipenjara,” ujarnya. Menurut Imam, zina adalah tanggung jawab individu kepada Tuhan.
Imam menambahkan, kriminalisasi perzinaan juga mengurangi efektivitas hukum terhadap kasus pemerkosaan. Selain sangat sulit untuk membuktikan tuduhan pemerkosaan, pembuktian delik pemerkosaan dibebankan kepada korban. Artinya, pasal ini justru berpotensi mengkriminalkan perempuan korban pemerkosaan. “Ini juga akan menghalangi perempuan lainnya untuk melaporkan kasus pemerkosaan,” katanya.
Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Junimart Girsang, menilai LGBT dan zina adalah perbuatan menyimpang yang tak bisa diterima secara hukum. Ia mendukung perluasan pasal dalam Revisi KUHP yang membolehkan pihak ketiga melaporkan penyimpangan yang membuatnya tidak nyaman. “Penyimpangan itu, ya, kejahatan. Pelanggaran, selesai itu,” katanya.
HUSSEIN ABRI YUSUF MUDA DONGORAN