Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Miko Ginting
Pengajar Hukum Pidana STH Indonesia Jentera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 18 Juni 2019, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Rizky Karo Karo, menanggapi tulisan saya di kolom Pendapat Koran Tempo sebelumnya. Tulisan saya sebelumnya mengangkat masalah urgensi memperkuat aturan mengenai bukti elektronik, dari level undang-undang, peraturan pelaksanaan, hingga peraturan di tiap lembaga penegak hukum dan peradilan. Urgensi ini untuk mendukung kepastian dalam penegakan hukum sekaligus jaminan terhadap hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggapan dari Rizky pada pokoknya menyatakan tidak perlu ada pengaturan, baik yang bersifat spesialis maupun sektoral. Ia menyandarkan pendapatnya bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah mengaturnya secara lengkap. Selain itu, ihwal penilaian dan pengkategorian terhadap bukti elektronik diserahkan kepada hakim. Hakim dapat menggunakan kemerdekaannya untuk mengkategorikan dan menilai dalam kasus-kasus konkret.
Tanggapan itu semakin menunjukkan bahwa pengaturan terhadap bukti elektronik penting untuk disegerakan oleh pemerintah, DPR, serta lembaga penegak hukum dan peradilan. Selain itu, setidaknya dalam satu pandangan kami bersetuju bahwa pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) perlu diubah karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan. Pandangan ini menunjukkan reformasi terhadap hukum acara pidana yang berisi alokasi kekuasaan bagi negara berikut aturan mainnya sangat urgen dilakukan.
Pengaturan UU ITE mengenai bukti elektronik sama sekali belum lengkap dan bahkan tidak dapat menjangkau tindak pidana lain di luar undang-undang itu. Tampaknya tanggapan terhadap tulisan saya tidak memperhatikan secara cermat ketentuan dalam UU ITE, terutama setelah perubahannya pada 2016.
Jika melihat Pasal 43 ayat 3 UU ITE (perubahan), disebutkan bahwa penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana. Frasa "di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik" ini tidak ditemukan dalam UU ITE sebelum perubahan. Perubahan ini berdampak sangat signifikan pada jangkauan keberlakuan pengaturan undang-undang tersebut.
Penyebutan frasa tersebut dengan huruf kapital menandakan jangkauan pengaturan pada pasal tersebut hanya menyangkut tindak pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik sebagaimana dimuat dalam UU ITE. Secara contrario, pengaturan ini tidak dapat menjangkau tindak pidana di bidang lain, meskipun bersangkut paut dengan bukti elektronik. Dengan demikian, terdapat kekosongan pengaturan untuk penanganan bukti elektronik pada tindak pidana lain.
Ketidaklengkapan pengaturan itu juga menyangkut hal-hal yang bersifat prosedural, yang merupakan esensi hukum acara. Pengaturan dalam UU ITE hanya memuat asas dan prinsip, seperti perlindungan privasi, kerahasiaan, kelancaran pelayanan publik, dan integritas, serta keutuhan data.
Bagaimana memastikan asas dan prinsip itu dijalankan secara konkret dalam praktik penegakan hukum jika tidak diturunkan menjadi pengaturan yang bersifat prosedural ketika belum termuat dalam UU ITE dan KUHAP? Terlebih lagi, karakteristik penanganan bukti elektronik sangat berbeda dengan bukti konvensional. Konsekuensinya, pengaturan lebih teknis dan detail, terutama dalam konteks prosedur, menjadi sangat penting. Tujuan besarnya adalah menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Belum lagi jika penegakan hukum berbenturan dengan kompleksitas kemajuan teknologi. Misalnya, prosedur apa yang dapat diterapkan penegak hukum jika ingin menggeledah sistem elektronik yang terkunci dan terhubung dengan sistem cloud? Apakah tetap dengan meminta izin ketua pengadilan negeri sementara sifat bukti elektronik mudah dihapus, dimodifikasi, bahkan digandakan? Pengaturan UU ITE dan KUHAP sama sekali belum dapat menjangkau kondisi ini dan dalam situasi tertentu dapat berdampak pada ketidakpastian penegakan hukum.
Memberikan beban penilaian kepada hakim tidak akan menyelesaikan persoalan kekosongan pengaturan ini. Sistem hukum Indonesia tidak menganut prinsip terikat pada keputusan-keputusan terdahulu (the binding force of precedent) ketika putusan hakim yang satu mengikat hakim setelahnya. Dengan demikian, putusan hakim yang satu dapat berbeda dengan hakim yang lain. Kondisi ini dapat memperlebar ruang ketidakpastian dalam penilaian terhadap bukti elektronik dan bobot pembuktiannya.
Tepat pada situasi itu sesungguhnya pengaturan harus diperkuat, yaitu untuk memberikan standar yang sama bagi penegakan hukum dalam penanganan bukti elektronik, termasuk standar bagi hakim dalam proses penilaian di persidangan. Tujuan yang sama dalam beberapa pendapat ihwal bukti elektronik ini saya kira sama: standar yang sama esensial sebagai acuan dalam penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia agar keduanya dapat berjalan secara seimbang.