Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menyelidiki dugaan ekspor nikel ilegal sebanyak 5,3 juta ton ke Cina. Pernyataan ini diungkap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, saat ini KPK belum bisa mengungkap temuan dari dugaan ekspor nikel ilegal. "Tahapannya masih penyelidikan, informasi lebih lanjut belum dipaparkan," kata Alex saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu, 6 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ihwal kabar panggilan Dirjen Bea dan Cukai Askolani oleh penyidik KPK beberapa waktu lalu, Alex mengaku tidak mengetahui soal itu. "Saya belum dapat informasi," ujarnya. Selain Askolani, KPK juga memanggil dua pegawai Bea Cukai lainnya.
Sebelumnya, Ketua Satgas Koordinasi Supervisi Wilayah V KPK, Dian Patria mengatakan informasi ekspor bijih nikel ilegal itu berasal dari Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan. Diduga aktivitas tersebut berlangsung sejak Januari 2020 sampai Juni 2022.
Berdasarkan data yang disampaikan oleh Bea Cukai Cina, pada 2020 dilaporkan bahwa Cina telah mengimpor bijih nikel dari Indonesia sebanyak 3,4 miliar kilogram dengan nilai sebesar US$ 193 juta (sekitar Rp 2,89 triliun).
Pada 2021, Cina kembali mengimpor 839 juta kilogram bijih nikel dari Indonesia dengan nilai US$ 48 juta (sekitar Rp 719,52 miliar). Pada 2022, Bea Cukai Cina mencatat kembali ekspor sebanyak 1 miliar kilogram bijih nikel dari Indonesia.
Dalam kesempatan berbeda, Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan KPK tengah berupaya mengklarifikasi dugaan ekspor ilegal 5,3 juta ton ore nikel ke Cina. Klarifikasi dilakukan kepada Direktorat Jenderal Bea Cukai. "Sekarang kami dengan Bea Cukai sedang proses,” kata Pahala Nainggolan saat dihubungi, Rabu, 5 Juni 2023.
Pahala menjelaskan, klasifikasi dilakukan salah satunya untuk memastikan jenis nikel yang diekspor ke Cina. Menurut dia, setiap barang dikelompokkan ke dalam kode HS. Kode HS, kata dia, perlu dipastikan untuk menentukan apakah kegiatan ekspor tersebut ilegal atau hanya perbedaan pencatatan administrasi biasa antara dua negara. “Sedang diklarifikasi kategori HS-nya, tentang kemungkinan pihak yang melakukan serta kemungkinan pidana korupsinya,” kata Pahala.
Informasi yang diperoleh Tempo, salah satu perusahaan swasta itu mengekspor nikel ke Cina dengan modus pengiriman ore iron atau ore besi. Sebab, ketentuan pemerintah Indonesia, ore nikel tak bisa langsung diekspor antaran harus diolah di smelter Indonesia. Namun, dalam transaksi pembayaran dari perusahaan Cina, komoditas ekspor tersebut yang dibayarkan berupa nikel, bukan ore besi. Diduga ada kerugian negara dalam ekspor ini.