Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Uji Materi UU Pemilu, Ahli Hukum UI Sebut Presiden Nepotisme jika Kampanyekan Keluarga

Ahli dari Fakultas Hukum UI, Heru Susetyo, menilai presiden melakukan nepotisme jika mengkampanyekan keluarganya saat Pemilu

23 Februari 2024 | 16.36 WIB

Ahli dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Heru Susetyo, dalam sidang lanjutan uji materiil UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi, Kamis, 22 Februari 2024. Foto: Humas MK/Bayu
Perbesar
Ahli dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Heru Susetyo, dalam sidang lanjutan uji materiil UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi, Kamis, 22 Februari 2024. Foto: Humas MK/Bayu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Ahli dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Heru Susetyo, menyebut presiden tergolong melakukan nepotisme jika ikut mengkampanyekan peserta pemilu yang merupakan keluarganya. Hal ini berlaku pula bagi wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

“Nepotisme memutus hubungan antara lapangan kerja dan meritokrasi dan dapat menciptakan peluang eksploitasi negara,” kata Heru saat menyampaikan pendapatnya dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) di Mahkamah Konstitusi, Kamis, 22 Februari 2024 dikutip dari situs resmi MK.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Uji materi ini dilayangkan oleh pengacara bernama Gugum Ridho Putra. Perkara ini terdaftar dengan nomor 166/PUU-XXI/2023. Dalam permohonannya, Gugum menilai ada kekosongan hukum dalam aturan kampanye pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Menurut dia, presiden, wapres, menteri, dan kepala daerah sepatutnya dilarang mengikuti kampanye keluarganya yang menjadi peserta pemilu. Jika presiden ikut kampanye maka bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menginginkan pemilu dilaksanakan secara bebas, jujur, dan adil.

Heru menuturkan dalam hal Pemilu, nepotisme merusak demokrasi karena mengabaikan profesionalisme, kinerja, dan rekam jejak calon.

Praktik nepotisme dalam pemilu sudah bisa dimulai dari tahapan pencalonan kandidat hingga proses pemilihan. Penguasa bisa memengaruhi partai politik untuk mendukung dan mencalonkan anggota keluarga maupun kroninya yang tidak memiliki rekam jejak.

Ia menilai dalam pemilu praktik nepotisme ini dinormalisasi dengan dalih rakyat yang memilih. Padahal sejak penentuan kandidat sudah ada pengaruh penguasa.

“Maka pembenaran praktik nepotisme melalui pemilihan langsung itu harus dihentikan guna mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN,” ucap Heru.

Di sisi lain, Heru menjelaskan pejabat publik memang memiliki hak politik untuk melakukan kampanye. Namun, harus ada batasan yang diatur dalam perundang-undangan.

“Potensi (nepotisme) itu terlihat dan oleh karena itu harus diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Karena sudah dijelaskan di ICCPR bahwa boleh terjadi diskriminasi. Kalaupun harus diskriminasi, ada juga legalitasnya selama diatur dalam peraturan perundang-undangan,” ujar Heru.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus