Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui ada kebocoran dalam program vaksinasi.
Budi memilih berfokus menuntaskan vaksinasi terhadap tenaga kesehatan.
Pengusutan kebocoran vaksin diserahkan kepada polisi.
MENGAKUI adanya kebocoran dalam proses vaksinasi, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tak ambil pusing. Ia memilih berfokus menuntaskan vaksinasi untuk tenaga kesehatan dan orang lanjut usia. Meski demikian, dalam wawancara khusus secara daring dengan Tempo pada Sabtu, 20 Februari lalu, Budi mengakui adanya kelemahan dalam sistem data vaksinasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelusuran kami menunjukkan ada kebocoran dalam vaksinasi tahap pertama.
Sudah kami cek dan memang ada kebocoran. Vaksin ini dibagikan ke 34 provinsi dan 512 kabupaten/kota. Ada 10 ribu puskesmas. Tidak mungkin kalau tidak bocor. Ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bahkan pemimpin redaksi atau wartawan, yang dapat vaksin sebelum waktunya. Tapi, untuk pemerintah, yang paling penting itu vaksin harus dibagikan secepat dan sebanyak mungkin untuk tenaga kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebocoran itu bisa mengurangi jatah untuk tenaga kesehatan?
Ada 1,468 juta tenaga kesehatan yang harus divaksin. Ketimbang mengurus segelintir kebocoran, mending kami mengurus tenaga kesehatan. Satu tenaga kesehatan mati itu sepuluh kali lebih penting dibanding kebocoran satu vaksin. Ukuran saya, jika semua tenaga kesehatan sudah mendapat vaksin, tujuan telah tercapai.
Kementerian Kesehatan tidak menelusuri kebocoran itu?
Saya tidak mendukung kebocoran, ya. Ujung-ujungnya vaksin itu harus diberikan ke banyak orang. Hanya, ada anak-anak nakal yang enggak tahu aturan yang ternyata disuntik duluan. Yang penting tidak dijual lagi.
Anda tidak meminta polisi menindaklanjuti kebocoran vaksin?
Kalau polisi mau urus itu, itu hak mereka. Tapi ada juga tugas polisi untuk menelusuri contact tracing terhadap mereka yang positif corona. Ini tentu lebih penting. Untuk mereka yang ketahuan mendapat vaksin duluan, saya kira mereka sudah mendapat hukuman sosial, di-bully sampai anak-anaknya. Itu hukuman sosial yang keras.
Kebocoran ini terjadi karena tidak ada basis data yang akurat?
Data di Indonesia itu tidak sempurna 100 persen. Misalnya berapa banyak orang yang domisilinya sesuai dengan KTP (kartu tanda penduduk). Data domisili itu tidak ada di dinas kependudukan dan pencatatan sipil. Ada kelemahan sistem yang terus kami perbaiki.
Ada sejumlah tenaga kesehatan mengeluh belum kebagian vaksin. Bagaimana sikap Kementerian?
Pekan pertama vaksinasi, memang banyak tenaga kesehatan yang mengeluh. Tapi sekarang keluhannya sudah jauh berkurang. Kami membuat terobosan, selama memiliki KTP dan teregistrasi, dia adalah tenaga kesehatan dan bisa disuntik. Bahwa ada ketidaklengkapan data, itu risiko yang kami ambil. Kami juga berkoordinasi dengan asosiasi dokter, perawat, dan bidan karena basis data mereka pasti lebih lengkap.
Bagaimana Kementerian Kesehatan mengawasi vaksin itu benar-benar sampai ke tenaga kesehatan?
Kami sudah mendistribusikan 3 juta vaksin ke seluruh Indonesia. Kami bikin grup WhatsApp bersama dengan puskesmas dan dinas kesehatan. Kami jadi tahu kalau ada provinsi atau kabupaten/kota yang belum mendistribusikan vaksin. Saat meeting mingguan dengan gubernur, pangdam, dan kapolda, kami ingatkan.
Ada kekhawatiran masyarakat bahwa stok vaksin tidak cukup untuk semua.
Ini bukan hanya masalah di Indonesia, tapi seluruh dunia. Sejauh ini kita masih on the track. Memang sempat terlambat untuk tahap kedua. Tapi sekarang sudah beres.
Bagaimana dengan rencana vaksin gotong-royong?
Kita bersaing dengan negara-negara lain untuk mendapatkan vaksin. Swasta itu bisa saja lebih gesit dan cepat mendapatkannya. Tapi, harus diingat, vaksin itu hak semua rakyat dan jangan dibisniskan. Jangan sampai orang kaya dapat lebih cepat ketimbang yang miskin. Harus ada kesamaan. Tahapannya harus disesuaikan dengan tingkat risiko. Tenaga kesehatan itu paling rentan, setelah itu orang lanjut usia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo