Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah komunitas anak muda di beberapa daerah membentuk kelompok sadar wisata dan badan usaha milik desa yang mengangkat potensi wisata di wilayahnya. Pengelolaan wisata swadaya itu dilakukan secara profesional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUJUH tahun lalu, air terjun Nyarai yang terletak di pelosok Nagari Salibutan, Kecamatan Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, hampir tak pernah dikunjungi siapa pun. Hanya warga sekitar dan para penebang kayu yang tahu dan sesekali berkunjung ke sana. Padahal panorama di sekitar air terjun sangatlah cantik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Air terjun Nyarai berada di hulu Sungai Batang Salibutan. Untuk mencapainya, seseorang harus menempuh jalan setapak yang cukup berat karena harus menembus hutan dan menanjak hingga kemiringan 45 derajat. Waktu tempuh berjalan kaki mencapai 1-2 jam. "Masih banyak kera dan babi hutan," kata Azwir, 46 tahun, warga Nagari Salibutan yang kini jadi pemandu wisata Air Terjun Nyarai, saat menemani Tempo, Senin lalu.
Meski jalan yang ditempuh cukup menguras tenaga, pengunjung mendapat ganjaran setimpal. Di sepanjang aliran Batang Salibutan terdapat delapan lubuk yang bisa dimanfaatkan untuk memancing, berenang, atau berkemah. Kedelapan lubuk itu adalah Lalang, Ngungun, Batu Tanjung, Sikayan Limau, Sikayan Tabiang, Pasangkuhan, Kasai Ketek, dan Kasai Gadang.
Sejak 2013, nama air terjun Nyarai mulai dikenal di kalangan wisatawan lokal di Padang Pariaman. Waktu itu, foto-foto air terjun yang memiliki air jernih kebiruan itu banyak bermunculan di media sosial. Nama air terjun Nyarai semakin terkenal, bahkan kini pengunjungnya mencapai 2.000 orang per bulan.
Adalah Ritno Kurniawan, 32 tahun, sarjana Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yang pertama kali mengendus potensi pariwisata di sana. Putra asli Padang Pariaman ini, setelah lulus dari kampusnya, kembali ke kampung halaman. "Awalnya berniat ingin wirausaha saja, tapi belum kepikiran apa," kata dia.
Ritno bersama teman-teman di kampungnya suatu kali bermain ke air terjun Nyarai. Ia terkejut menyaksikan panorama alam di sepanjang Sungai Batang Salibutan. "Sayang tidak ada yang mengelola." Ritno teringat akan sejumlah obyek wisata di sekitar Yogyakarta yang pernah ia kunjungi. "Terutama yang dikelola warga. Meski sederhana, warga sangat terbuka kepada turis, sehingga banyak yang mau datang ke sana."
Ritno kemudian mengusulkan pembentukan Kelompok Sadar Wisata dengan warga Nagari Salibutan. Awalnya ada penolakan dari warga yang khawatir mata pencahariannya sebagai penebang kayu ilegal hilang. Namun, setelah meminta izin dari tokoh masyarakat, dan menjanjikan lapangan pekerjaan buat warga, ide Ritno direstui. "Waktu itu kami hanya diberi tiga syarat, yakni melibatkan masyarakat, tidak boleh menjadi tempat maksiat, dan pada hari Jumat lokasi harus tutup."
Bersama warga, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Nagari Salibutan membuat sejumlah paket wisata dengan harga terjangkau. Ada empat paket yang ditawarkan, yakni trekking (Rp 20 ribu), berkemah (Rp 40 ribu), mengamati burung (Rp 100 ribu), dan memancing ikan secara tradisional (Rp 50 ribu). Pengelola menyediakan 174 pemandu wisata yang merupakan warga setempat.
Pengunjung yang hendak berwisata diatur dalam kelompok yang harus didampingi pemandu. Satu rombongan maksimal berisi 10 orang. Tarif untuk pemandu sebesar Rp 100 ribu, dengan pembagian Rp 60 ribu untuk tenaga pemandu dan Rp 40 ribu untuk kas Pokdarwis Nagari Salibutan. Ritno bersama teman-temannya rajin mempromosikan obyek wisata baru ini di media sosial.
Berkat semakin banyaknya wisatawan yang berkunjung, pemerintah daerah setempat kemudian memberikan bantuan berupa pembangunan homestay, gerbang, dan kantor penerima tamu. Jalanan menuju Nagari juga telah diaspal untuk memudahkan akses wisatawan. "Sekarang kami berencana melatih para pemandu agar mendapatkan lisensi, karena belakangan turis asing mulai banyak datang."
Kehadiran kelompok sadar wisata menjadi berkah tersendiri bagi warga. Ali Muhamad Zen, 35 tahun, mengatakan dengan dibukanya wilayah Nagari Salibutan menjadi tempat wisata, banyak warga yang bekerja menjadi pemandu wisata dan berjualan. "Ini membuat aktivitas penebangan liar di hutan sekitar juga jadi berkurang." Para warga dilibatkan karena sudah hafal medan dan jalan menuju air terjun.
Keindahan panorama alam sekitar juga mengilhami para pemuda Karang Taruna Desa Fajar Esuk, Pringsewu, Lampung, untuk membangun obyek wisata di tempat tinggal mereka. Di desa ini, terdapat saluran irigasi buatan pemerintah kolonial Belanda yang masih terawat. Di beberapa titik, terdapat jembatan besi yang berfungsi mengalirkan air dari penampungan ke lahan-lahan perkebunan yang tersebar di Pringsewu. Jembatan-jembatan yang berdiri setinggi 25 meter di atas lembah itu masih terawat dengan baik dan dianggap menarik jadi obyek wisata sejarah.
Rendi, 30 tahun, salah satu anggota Karang Taruna Fajar Esuk, mengatakan ide mengembangkan wisata sejarah talang air di sana muncul setelah melihat banyaknya tempat wisata "selfie" bermunculan di daerah lain. "Kebetulan di dekat saluran irigasi ada Bukit Pangonan yang panoramanya bagus," kata dia kepada Tempo, beberapa waktu lalu. Sejak 2016, anggota Karang Taruna secara swadaya membangun jalur dan panggung-panggung kayu di bukit yang bisa dimanfaatkan pengunjung untuk berswafoto.
Talang air dan Bukit Pangonan Pringsewu kini menjadi destinasi wisata favorit warga Lampung. Biaya berkunjung juga terhitung murah, wisatawan cukup membayar parkir dan tiket masuk sebesar Rp 3.000 untuk menikmati panorama di sana. Obyek wisata yang selalu ramai di akhir pekan ini juga dimanfaatkan warga setempat untuk lokasi berjualan makanan. "Ekonomi warga jadi lebih hidup sejak talang air dibuka untuk umum," ujar Rendi.
Di Bolaang Mongondow Selatan, Molibagu, Sulawesi Utara, belasan anak muda mendirikan klub menyelam bernama Bolaang Mongondow Diving Club (BDC). Pendiri BDC, Ayub Mooduto, 33 tahun, mengatakan klub ini dibetuk pada 2013, beranggotakan 15 anak muda setempat. Mulanya, para anak muda ini mengikuti pelatihan menyelam yang diadakan pemerintah setempat. Mereka lalu berinisiatif menyediakan paket wisata menyelam bagi wisatawan. "Kami jadi tour guide bagi para diver yang ingin menyelami keindahan bawah air di wilayah Teluk Tomini."
Menurut Ayub, inisiatif ini dilakukan karena potensi pariwisata di wilayah Tomini sangatlah besar. Selain wisata selam, banyak pantai berpanorama indah yang belum dikelola maksimal. Para anggota BDC tak hanya menyediakan paket wisata menyelam. Kelompok ini secara rutin melakukan kegiatan social berupa pembersihan pantai dan perawatan serta penanaman karang.
Dalam sebulan, kata Ayub, para anggota BDC bisa mengantar puluhan tamu. "Dalam sebulan bisa 3-6 kali trip, rata-rata dalam sekali trip ada 5-10 orang wisatawan," ujarnya. Paket yang ditawarkan BDC terbilang cukup murah, yakni Rp 1.250 ribu per orang. Ini merupakan paket termurah, tapi penyelam yang menyewa jasa mereka mendapatkan fasilitas lengkap seperti makan siang, penyewaan alat, hingga perahu. "Biasanya kami mengantar wisatawan ke 3-4 titik penyelaman yang populer di Tomini."
Ayub mengatakan meski para anggota BDC sudah memiliki sertifikasi menyelam, tapi mereka tetap bekerja sama dengan dive master dari Makassar setiap kali mengantar wisatawan menyelam. "Kami mengikuti prosedur penyelaman, karena kami belum ada dive master kami bekerja sama dengan penyelam lain yang lebih ahli."
Inisiatif mengembangkan potensi daerah menjadi lokasi wisata juga dilakukan para warga di Kampung Wonosari, Kelurahan Randusari, Semarang. Permukiman warga ini setahun terakhir berubah menjadi salah satu tujuan wisata di ibu kota Jawa Tengah itu. Nama Wonosari kini beken disebut Kampung Pelangi karena rumah-rumah di permukiman yang berlokasi di Bukit Brintik ini dicat berwarna-warni.
Slamet Widodo, 52 tahun, Ketua Kelompok Sadar Wisata Wonosari, mengatakan inisiatif merevitalisasi permukiman warga dimulai pada tahun lalu. Waktu itu Pemerintah Kota Semarang merenovasi Pasar Kembang yang berada tepat di bawah Kampung Wonosari. "Waktu itu warga mendengar pejabat pemerintah kota bilang Wonosari terlihat kumuh."
Hal ini, kata Slamet, disebabkan kondisi rumah-rumah yang ada di perkampungan hanya berupa tembok telanjang tanpa plesteran dan cat. "Jadi, terkesan kumuh dan berantakan." Padahal, ujar Slamet, di bagian dalam permukiman, kondisinya tak kumuh. Warga lalu mengusulkan agar pemerintah turut merevitalisasi permukiman itu. "Wali Kota Semarang sepakat dan memberi nama Kampung Pelangi untuk permukiman kami."
Pada April tahun lalu, pengecatan warna-warni bagi rumah-rumah di Wonosari dimulai. Kegiatan ini dibiayai dana tanggung jawab sosialdari Gabungan Pengusaha Konstruksi Semarang. Sebanyak 480 rumah di dua wilayah rukun warga dicat dengan warna mencolok. "Sehingga jadi menarik dilihat, akhirnya viral di dunia maya."
Meski sudah terkenal dan sering dikunjungi wisatawan, Pokdarwis Wonosari tak memungut sepeser pun retribusi dari pengunjung. Bahkan menyediakan kotak amal saja pun dilarang. "Justru dengan banyaknya wisatawan yang datang, aktivitas ekonomi warga diharapkan menggeliat lewat perdagangan." Sejak kampung ini makin ramai, warga dilatih membuat kerajinan, suvenir, hingga pelatihan kuliner.
Warga Kampung Pelangi Wonosari patut berbangga karena kini tempat tinggal mereka terkenal hingga ke mancanegara. Utusan dari Thailand, Malaysia, Bangladesh, dan India pernah datang untuk mempelajari pengelolaan kampung wisata itu. Terbaru, Duta Besar Uni Eropa dan Amerika Serikat serta perwakilan Jepang membuat film dokumenter tentang aktivitas keseharian Kampung Pelangi. PRAGA UTAMA | FEBRIANTI (PARIAMAN) | EDI FAISOL (SEMARANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo