Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina semakin menghangat. Apalagi, Negeri Tirai Bambu melakukan pelemahan terhadap mata uang Yuan guna mengkompensasi kenaikan tarif 10 persen akibat kebijakan AS.
Baca: Dorong Penerimaan Negara, Ini Cara Sri Mulyani Genjot Rasio Pajak
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kala RRT (Cina) berubah posisi, ini sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 26 juli 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal, ujar Sri Mulyani, selama ini stabilitas keuangan yuan adalah jangkar stabilitas di kawasan, maupun dunia. Itu terbukti saat krisis ekonomi terjadi pada 2008 dan 1998. "Yuan dijaga tetap stabil."
Pengaruh depresiasi Yuan tidak hanya berdampak kepada perdagangan dunia, tetapi juga mata uang dan arus modal. Dampak yang terasa, menurut Sri Mulyani, adalah menurunnya arus modal ke negara emerging.
"Karena dianggap risikonya meningkat. Karena itu, tadi ada masalah trade, masalah interest rate naik, dan curency naik," ujar Sri Mulyani.
Untuk mengantisipasi gejolak tersebut, Sri Mulyani mengatakan perlunya pengokohan pondasi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi domestik perlu dijaga, baik dari segi konsumsi maupun belanja negara, melalui APBN.
"Investasi, sentimennya dapat diperbaiki meskipun dalam situasi kecenderungan interest rate naik dan exchange rate yg dinamis," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menegaskan pemerintah tengah mencoba menjangkarkan ekspektasi dan kekhawatiran yang muncul secara mendunia, sehingga Indonesia bisa menjaga momentumnya. Hingga kuartal dua, ia melihat momentum yang ada masih bagus. "Tapi kita juga harus siap siaga kalau situasi ini memunculkan positif kesempatan maupun ancaman," ujar Sri Mulyani lagi.