Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALJU tipis luruh menyelimuti Den Haag. Kadang bergantian dengan gerimis, Sabtu siang dua pekan lalu. Dari London, Perdana Menteri Belanda Jan Peter Balkenende mohon diri ”sejenak” kepada Perdana Menteri Inggris Gordon Brown untuk kembali ke negaranya. Di kediaman resmi Perdana Menteri di Catshuis, Den Haag, Balkenende akan menjamu Wakil Presiden Jusuf Kalla. ”Perdana Menteri minta break empat jam khusus bertemu Wakil Presiden,” kata Duta Besar Indonesia untuk Belanda J.E. Habibie.
Dalam bincang sekitar setengah jam itu, pejabat yang mendampingi Kalla antara lain J.E. Habibie, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Muhammad Lutfi, dan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Setelah panjang-lebar berbicara ke sana-kemari, Balkenende mengutarakan maksudnya. Indonesia diharapkan menimbang Royal Dutch Shell, perusahaan energi Negeri Kincir Angin itu, menjadi salah satu pengelola ladang gas Blok Natuna D-Alpha.
Mendengar permintaan itu, Kalla membuka tangan lebar-lebar. Ketua Partai Golkar tersebut mengatakan peluang Shell sangat terbuka asalkan memenuhi syarat. Menurut Lutfi, syarat itu antara lain komitmen untuk mengerjakannya dengan cepat, memberikan keuntungan lebih banyak bagi Indonesia, dan menciptakan nilai tambah. Caranya dengan membangun pengolahan (refinery) baru atau memindahkan yang ada di Singapura. ”Seumpama itu dilakukan, penawaran Shell dipertimbangkan berbeda dengan penawaran yang lain,” kata Lutfi.
Obrolan lapangan gas terbesar di Asia Tenggara ini berlanjut pada malam hari, ketika Kalla dan rombongan diundang jamuan makan malam di Kasteel Duivenvoorde, Den Haag. Selain ada Menteri Ekonomi Belanda Maria van Hoeven, yang berlaku sebagai tuan rumah, tujuh pemimpin perusahaan besar Belanda, antara lain Philips dan Shell, juga hadir.
Dalam pesta koktail itu, yang satu meja bersama Kalla adalah Van Hoeven, Chief Executive Officer Royal Dutch Van der Veer, dan De Wit dari Shell Nederland BV. Bos Gemala Group, Sofjan Wanandi, turut mendampingi. Kepada dua pembesar Shell tadi, Kalla menantang, bila serius ingin mengelola Natuna, Shell harus bermain dari hulu hingga hilir. ”Sekalian saja bikin refinery di kawasan khusus ekonomi di Batam, Bintan, dan Karimun,” kata Kalla. Tawaran itu disambut dengan berbunga-bunga.
Dengan cepat kabar betapa terbukanya Kalla terhadap Shell sampai ke Jakarta. Ajakan agar Shell masuk Natuna mencuatkan tanda tanya besar. Apalagi Kalla mengatakan Shell salah satu dari empat perusahaan minyak internasional yang bakal menjadi mitra PT Pertamina. Padahal Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan menyatakan Wood McKenzie, konsultan energi yang disewa untuk menyeleksi para calon mitra, belum memutuskan pemenangnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro tak kalah kaget. Ia pun menghubungi Den Haag. Kepada salah satu anggota delegasi yang mengikuti lawatan Kalla ke sejumlah negara Eropa dan Amerika itu, Purnomo meminta suplai informasi, benarkah Kalla memutuskan Shell sebagai mitra utama PT Pertamina.
Sumber Tempo mengatakan kecemasan Purnomo itu lantaran ia sudah banyak menebar janji kepada ExxonMobil. Secara diam-diam, pemegang kontrak lama itu diyakinkan tetap menjadi operator. Sikap Kalla yang condong ke Shell dan perusahaan multinasional Eropa lain dirasa mengancam kedudukan ExxonMobil. Namun Purnomo mengaku tak pernah melakukan kontak itu. Begitu juga soal dukungannya terhadap ExxonMobil. ”Sejak pernyataan di Belanda, belum ada komunikasi,” tulis Purnomo dalam pesan pendeknya kepada Sorta Tobing dari Tempo.
Kisruh siapa yang berhak menggarap Blok Natuna D-Alpha kembali mencuat ketika pada 30 Desember tahun lalu ExxonMobil menyampaikan rencana pengembangan area berpotensi 222 triliun kaki kubik gas itu. Ketua Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Raden Priyono menolak rancang kerja tadi dengan alasan tidak relevan karena masa kontraknya telah habis.
Pangkal soalnya, ExxonMobil dan pemerintah tak satu paham atas kontrak yang diteken pada 1995. Dalam perjanjian itu disebutkan masa kontrak akan berakhir dalam kurun 10 tahun. Menurut ExxonMobil, operator berhak mendapat perpanjangan dua kali dua tahun bila mengajukan studi kelayakan atau menunjukkan komitmen mengembangkan lapangan gas. Nah, pada 2005, menjelang kontrak usai, ExxonMobil merasa telah membuat komitmen sehingga berhak mendapat perpanjangan sampai 2009.
Pemerintah mempunyai tafsir beda. Baik studi kelayakan maupun komitmen, keduanya mesti dipenuhi. Karena tidak ada studi kelayakan, sesuai dengan perjanjian, kontrak berakhir secara otomatis. Tarik-ulur ini membuka tawar-menawar kembali. ExxonMobil mengartikannya sebagai negosiasi perpanjangan kontrak, sementara pemerintah menganggapnya untuk membuat kontrak baru.
Perundingan selama hampir empat tahun itu berakhir buntu. Dalam rapat kabinet Februari tahun lalu, pemerintah memutuskan perusahaan energi Abang Sam itu tak punya hak lagi di Natuna terhitung per 2005. Rapat juga menunjuk Pertamina sebagai operator yang berwenang menggandeng mitra baru.
Seorang pejabat pemerintah mengatakan peran Kalla dalam sidang tadi cukup menentukan. Keberadaan ExxonMobil sejak 1980 yang tidak mendatangkan apa-apa menjadi salah satu alasan. Apalagi bila membicarakan bagi hasil di mana pemerintah tidak mendapat satu ember gas pun dari perut Natuna. Berdasarkan basic agreement 1995 itu, pemasukan negara hanya dari pajak.
Kekesalan Kalla makin menjadi-jadi tatkala ExxonMobil berkukuh kontrak baru habis pada tahun ini. Saking sengitnya, ia berujar pada akhir bulan lalu, ”Siapa pun Presiden Amerika, tidak akan mengubah penilaian kita.” Rupanya, menurut salah satu delegasi lawatan, Kalla berani berucap seperti itu lantaran Presiden Amerika Barack Obama tak lagi menyokong penuh ExxonMobil, berbeda dengan presiden sebelumnya, George Bush.
Sikap dingin Kalla terhadap ExxonMobil dalam kasus Natuna juga terlihat saat rombongan berada di Amerika. Dalam satu forum dengan peserta sekitar 30 orang, baik Kalla maupun ExxonMobil, tak ada yang mau membicarakan ladang gas itu. ”Saya tahu sikapnya. Percuma ngomong,” kata seorang eksekutif ExxonMobil kepada delegasi tersebut. Itu bertolak belakang dengan saat bertemu Shell di Belanda dua hari berikutnya: Kalla memberikan tawaran menggiurkan.
Walau demikian, Kalla berpendapat Pertamina tidak bisa hanya menggandeng satu perusahaan untuk menggarap Natuna, yang punya kandungan karbon dioksida hingga 70 persen. Selain teknologi tinggi, fulus yang dibutuhkan begitu besar, sekitar US$ 35 miliar (Rp 385 triliun). Risikonya begitu berat bila dipikul sendiri. ”Tak boleh dikelola satu pihak saja. Silakan yang lain ikut, seperti Shell, Statoil Norway, atau PetroChina,” kata Kalla. ExxonMobil akan diperlakukan sama.
Selentingan adanya pejabat yang mengatakan ExxonMobil masih punya kontrak membuat dia begitu geram. ”Saya tersinggung kalau ada orang atau pejabat yang mengatakan Exxon punya hak. Saya tegaskan tak boleh ada siapa pun yang mengintervensi kita dalam mengelola sumber daya alam, termasuk soal Natuna,” kata Kalla di Hotel Crown Plaza Promenade, Den Haag, tempat dia dan rombongan menginap. Rupanya, musim dingin tak menurunkan rasa panas di dada.
Nah, walau divonis keluar dari kontrak lama dan Kalla makin tak suka, ExxonMobil tetap yakin tidak terdepak. Selain berpegang pada kontrak, ExxonMobil merasa tenang dengan janji Purnomo untuk pasang badan. Sayang, menurut seorang pejabat ExxonMobil, semua iming-iming dalam negosiasi setengah kamar yang berkali-kali dilaksanakan selama hampir empat tahun tak pernah tertulis. ”Membawa pengacara juga tidak boleh,” katanya.
Lebih-lebih ketika Purnomo membentuk Tim Koordinasi Natuna pekan lalu. Dengan menempatkan mantan Wakil Direktur Utama Pertamina Iin Arifin Takhyan, seakan-akan Purnomo hendak menegaskan Kalla tak bisa lagi bermain sendiri. Semua harus melalui prosedur. Padahal selama ini yang mengurusi Natuna sudah ada, yakni BP Migas. Ditanyai hal itu, melalui pesan pendek, dengan enteng ia hanya menjawab, ”Ini crash program.” Sedangkan soal tudingan mengamankan ExxonMobil, Purnomo juga tak banyak suara. ”Soal Natuna sebaiknya tidak ditanya lagi karena bola belum ditangani Menteri MESDM.”
Menurut mantan Direktur Utama Pertamina Ari Soemarno, bila mengikuti Wood McKenzie, peringkat atas yang terseleksi adalah ExxonMobil, Shell, dan Statoil dari Norwegia. Nah, kata seorang sumber Tempo, Van der Veer mengatakan akan nyaman bila bersanding dengan ExxonMobil. Alasannya sederhana, ExxonMobil sudah memiliki studi awal. Selain itu, teknologinya seimbang. Masalahnya, seorang delegasi lain mengatakan, ”Exxon tak begitu nyaman dengan Shell.” Jadi, apa pun langkah Kalla dan Purnomo, semua juga berpulang pada para kontestan ini.
Muchamad Nafi, Wahyu Muryadi (Den Haag)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo