Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PETUGAS pemungut pajak di daerah jelas tak boleh dirugikan. Mereka tak bisa dibiarkan merogoh kocek sendiri yang sudah pas-pasan, misalnya, untuk biaya transpor ketika menagih pajak. Perlu ada insentif bagi mereka yang sudah memeras keringat untuk mengumpulkan pendapatan daerah itu. Dengan alasan ini, wajar bila ada peraturan pemerintah yang mengatur jatah ”uang perangsang” di luar gaji bagi penagih pajak di lapangan itu. Insentif diharapkan membentengi mereka dari godaan kongkalikong dan main mata dengan wajib pajak.
Kalau dijalankan dengan benar, Peraturan Pemerintah Nomor 65/2001 yang mengatur jatah tambahan petugas lapangan ini hampir tanpa celah. Pemungut pajak mendapat insentif maksimal lima persen dari total pajak daerah yang terkumpul. Namun prakteknya susah dikontrol. Banyak penumpang gelap yang nebeng minta jatah khusus, bahkan dengan bagian yang lebih besar daripada jatah pemungut. Mereka adalah para kepala dinas, pimpinan proyek, bupati, gubernur, hingga menteri. Jatah bulanan ini diduga juga mengalir ke aparat hukum, barangkali sebagai ”pengaman” agar praktek tercela ini tak diusik-usik.
Korupsi rame-rame yang baru terbongkar di Jakarta ini harus dihentikan dan tersangkanya mesti dihukum. Uang jatah itu hanya boleh dibagikan kepada para petugas lapangan. Sebagai pembayar pajak, tentu kita keberatan jika uang pajak dipakai bancakan. Maka, semua peraturan yang memberikan celah bagi tindak pidana ini harus segera direvisi. Pemerintah perlu turun tangan menghentikannya.
Menteri Dalam Negeri Mardiyanto tak perlu gusar lantaran instansinya jadi sorotan. Surat keputusan yang selama ini dijadikan tameng untuk ”memetik” upah pungut jelas bukan hasil ”karya”-nya. Mardiyanto justru harus aktif bertindak, apalagi jika pernyataannya bahwa legalisasi korupsi pungutan pajak ini sudah terjadi sejak 1976. Yang penting, Menteri Dalam Negeri harus menyerahkan semua bahan yang diperlukan Komisi Pemberantasan Korupsi guna melacak kasus korupsi berbarengan ini.
Menteri Mardiyanto harus segera merevisi dua surat keputusan yang diteken pendahulunya. Surat pertama tentang dibolehkannya upah pungut diterima tim pembina pusat, yaitu Menteri Dalam Negeri dan kepolisian, serta pimpinan instansi atau lembaga penunjang. Surat lainnya mencantumkan gubernur, wakilnya, sekretaris daerah, dan dinas pendapatan daerah sebagai penerima jatah. Keduanya bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65/2001.
Penyimpangan menahun ini perlu dihentikan. Apalagi dana yang terhimpun sekitar Rp 264 miliar ternyata dipakai untuk kegiatan kementerian dalam negeri. Itu pun tanpa dicatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pemerintah DKI Jaya lebih gawat lagi. Pembagian jatah merembet sampai ke semua pimpinan, termasuk gubernur dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Gubernur Sutiyoso waktu itu mengaturnya dalam peraturan gubernur pada 2005. Tentu Sutiyoso perlu dipanggil untuk menjelaskan kebijakan itu, juga jatah upah pungut untuk gubernur. Begitu pula Hari Sabarno, Menteri Dalam Negeri waktu itu.
Aturan upah pungut mesti kembali ke khitahnya. Semua pajak perlu masuk kas daerah, dan dari sana pemungut menerima insentif. Upah pungut pajak daerah dan retribusi yang mengalir ke Departemen Dalam Negeri dan ditampung ke empat rekening ”asing” harus segera dikembalikan ke kas negara.
Komisi Pemberantasan Korupsi tak boleh berhenti sampai kasus Jakarta. Jangan-jangan praktek serupa sudah terjadi di berbagai daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo