Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERAYA Komisi Pemilihan Umum mulai terkesan bertempiar menyongsong hajatan besar yang tinggal bilangan pekan, partai-partai yang akan berlaga pun tampaknya masih dalam tahap pemanasan. Keramaian baru berjobak di tingkat calon anggota legislatif, yang bahkan sejak dua bulan lalu sudah melirik tikungan jalan, tiang listrik, dan batang pohon yang bisa dipasangi foto.
Di tengah hibuk lomba poster dan potret, survei dan analisis, temu wicara dan iklan elektronik, sarapan bubur ayam dan seterusnya, ada dua hal menarik menyongsong pilihan raya kali ini. Pertama, seolah-olah tak ada tokoh yang siap menjadi wakil presiden. Semuanya bersiap—dan karena itu ”menjual diri”—hanya sebagai orang pertama.
Kedua, para pemimpin partai dan para calon anggota legislatif—bahkan mungkin calon presiden—seakan-akan tidak berusaha melihat perhelatan ini dari aspek pemilih. Dengan kata lain, para penyelenggara dan para kontestan sepertinya tak memperhitungkan kearifan massa—yang justru akan menentukan keterpilihan mereka. Massa, yang notabene calon pemilih dengan jumlah suara yang determinan, hanya ditempatkan sebagai obyek dengan sosok yang tidak jelas, tidak berkecerdasan, dan karena itu tidak punya kemampuan kritis.
Hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Demokrat yang sudah memaklumkan calon presidennya. Partai lain pada umumnya memberi jawaban seragam: baru akan mengumumkan calon presiden dan calon wakil presidennya setelah pemilihan umum legislatif. Padahal, sebetulnya, calon pemilih ingin tahu siapa calon presiden setiap partai, terutama partai yang menghisabkan diri sebagai partai besar.
Kita, yakni calon pemilih, tidak ingin membeli kucing dalam karung ketika nanti mencoblos calon dan partai tertentu dalam pemilihan umum legislatif. Pemilih harus tahu akan bermuara ke presiden mana suara yang diberikannya dalam bilik suara. Itu sebabnya disarankan: hendaknya partai sejak awal sudah mengumumkan calon presidennya, sejak sebelum pemilihan umum legislatif.
Benar bahwa akan banyak juga pemilih yang ”membelah” pilihannya antara presiden dan partai politik—dan sikap itu sepenuhnya sahih. Tapi belajar dari pengalaman sekarang juga tak ada salahnya. Dalam pemilihan umum yang lalu, Partai Golkar memenangi pemilihan legislatif, tapi presiden berasal dari partai urutan kelima. ”Kemenduaan” ini, terbukti, menimbulkan banyak kendala, serta menuntut banyak negosiasi dan kompromi, sehingga beberapa keputusan yang harus diambil dengan segera, tapi juga harus mendapat persetujuan parlemen, tertunda-tunda—bahkan ”tersandera”.
Pemilih membutuhkan pemerintahan yang efektif, yang tidak terbelah, apalagi lemah karena tidak didukung kekuatan memadai di parlemen. Kekuatan pendukung yang memadai itu hanya bisa digalang jika partai pengusung presiden punya jumlah kursi yang cukup banyak di dewan perwakilan rakyat. Misalnya, dengan informasi jelas bahwa PDI Perjuangan menjagokan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden, pemilih PDI Perjuangan di pemilihan umum legislatif juga akan memilih Megawati di pemilihan presiden. Jika, misalnya, Megawati memenangi pemilihan, ia langsung punya ”fondasi” kuat di parlemen sehingga pemerintahan akan berjalan efektif.
Benar ada bahaya: kontrol yang melemah dari lembaga legislatif. Tapi bukankah sekarang sudah bertumbuhan komisi, dewan, dan perangkat kontrol lain di tengah masyarakat? Lebih dari itu, persoalan Indonesia untuk lima tahun ke depan membutuhkan pengambilan keputusan yang lekas, yang tidak ”ngular ngambang”. Tanpa meninggalkan kompromi dan negosiasi, ada banyak perkara yang harus diselesaikan segera.
Sebaliknya, para calon presiden dari berbagai partai—termasuk Partai Demokrat, tentu—harus pula segera mengumumkan calon wakil presidennya. Pemilih berhak tahu sejak dini siapa bakal pendamping calon presidennya. Suasana tebak-tebakan yang berlangsung sampai saat ini, misalnya, akan menumbuhkan iklim tidak sehat dan tidak mendidik. Daripada asyik bertamsil ibarat dan berbalas pantun, akan lebih mustahak bila para calon presiden mengumumkan dengan jelas calon pendamping masing-masing.
Berkaca pada pemerintahan yang sedang berjalan, untung saja wakil presiden datang dari Partai Golkar yang, bagaimanapun, ”berkuku” di parlemen. Meski di dalam kabinetnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendudukkan menteri dari berbagai partai, tetap saja ia tak mudah mendapat dukungan mulus parlemen. Tapi, sesulit-sulitnya menghimpun dukungan penuh parlemen, akan lebih sulit mengandaikan SBY didampingi wakil presiden dari partai lain, kecuali ia merangkul pendamping dari PDI Perjuangan—sesuatu yang nyaris mustahil dibayangkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo