Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PABRIK seluas tiga kali lapangan Monas di pinggir Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, nyaris kosong pada Kamis pekan lalu. Dari luar cuma tampak serombongan polisi yang berkemah di pabrik milik PT Omedata Electronics itu.
Sejak Jumat pekan sebelumnya, perusahaan pembuat komponen elektronik itu merumahkan 1.500-an karyawannya. Pada secarik kertas pengumuman yang ditempel di gerbang pabrik, kepala perusahaan, Bambang Handoyo, menyebutkan pabrik berhenti berproduksi akibat kesulitan likuiditas.
Sudah dua tahun perusahaan itu didera masalah ini. Toh, pabrik milik anak usaha PT Gajah Tunggal Tbk. itu tetap berproduksi. Belakangan krisis ekonomi global yang bermula di Wall Street, New York, hinggap di perusahaan tersebut. Pabrik dengan kapasitas produksi komponen elektronik sekitar 400 juta buah per tahun itu pun langsung kolaps.
Gonjang-ganjing itu dikhawatirkan tak cuma memapar Omedata. Inilah penyebabnya: Cina bisa jadi membelokkan barang-barang elektronik yang tadinya hendak diekspor ke Amerika Serikat—yang sedang kehilangan daya beli—ke pasar Indonesia atau negara lain yang menjadi tujuan ekspor produk Indonesia. Kekhawatiran ini disampaikan Ketua Gabungan Elektronik Indonesia Ali Soebroto Oentaryo.
Meski begitu, Presiden Direktur PT Panggung Electric Citrabuana, produsen produk elektronik merek Akari, ini mengungkapkan, hingga kini, di perusahaannya belum terjadi penurunan jumlah pesanan, sehingga kegiatan produksi tetap normal. ”Tapi kami merevisi target tahun mendatang, karena ekspor tahun ini pasti turun jadi US$ 7 miliar,” katanya. Tahun lalu, nilai ekspor produk elektronik menembus US$ 7,8 miliar.
Anggota staf ahli Menteri Perindustrian, Abdul Wahid, menyampaikan penurunan angka ekspor produk elektronik yang hampir sama. Ia mengakui krisis ekonomi memang sudah menyebar ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Namun negara tujuan ekspor utama produk elektronik Indonesia bukan Amerika, melainkan Jepang, Singapura, dan Eropa. Jadi, mantan Direktur Industri Elektronika Departemen Perindustrian itu menaksir ekspor produk ini paling banter turun lima persen.
Masalahnya, krisis tidak cuma mempengaruhi pasar ekspor, tapi juga pasar dalam negeri. Gara-gara ini, Ketua Electronic Marketer Club Agus Subiantoro menyebutkan, tahun ini, pihaknya terpaksa menurunkan target kenaikan penjualan yang semula 30 persen menjadi hanya 20 persen atau setara dengan Rp 18 triliun.
Target itu bisa jadi bakal direvisi lagi. Penjualan produk ini terus menurun. Bulan lalu, penjualan barang elektronik turun 12 persen dari Rp 1,72 triliun menjadi Rp 1,52 triliun. Padahal, saat Lebaran, biasanya penjualan barang ini melonjak. Penyebab penurunan itu, salah satunya, anjloknya daya beli masyarakat akibat turunnya harga komoditas yang menjadi sumber penghasilan mereka. Ini terlihat dari angka penjualan di Sumatera, yang turun menjadi Rp 275 miliar dari rata-rata Rp 330-an miliar per bulan.
Toh, nasib industri elektronik masih lebih baik ketimbang industri tekstil. Karyawan industri ini sedang berada di ujung tanduk. ”Saat ini banyak perusahaan yang sudah mengedarkan surat kepada karyawannya untuk bersiap dirumahkan,” ujar Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia di Jawa Barat, Ade Sudradjad. ”Apalagi order turun dan barang selundupan makin banyak,” katanya.
Penyebabnya adalah kontrak pembelian tekstil terbesar selama ini berasal dari pembeli Amerika dan Eropa. Nah, gara-gara krisis finansial di sana, permintaan kini jeblok 30-40 persen. Walhasil, ”Sekitar 100 ribu dari 1,2 juta karyawan di sektor tekstil akan dirumahkan,” ujar Ade.
Di PT Eins Trend, krisis yang berawal di New York itu sudah membikin perusahaan rugi banyak. Perusahaan garmen yang memiliki pabrik di Purwakarta, Jawa Barat, itu memasarkan produknya ke Amerika. Kini mereka kehilangan satu dari 10 buyer. ”Kami telah merugi US$ 2 juta,” kata direktur perusahaan itu, Hoong He Jun, Selasa pekan lalu. Namun perusahaan asal Korea Selatan itu menolak merumahkan karyawannya. Perusahaan ini memilih menggenjot pasar ekspor baru, di antaranya ke Brasil.
Tak hanya tekstil, ekspor sepatu dikhawatirkan bakal terus melorot seiring dengan perlambatan ekonomi dunia. Laporan Daya Saing Ekspor yang disusun SENADA, sebuah program yang didanai USAID, menyebutkan indeks harga produk sepatu Indonesia jatuh hingga 50 persen. ”Indonesia kehilangan pangsa pasarnya lebih dari 50 persen. Penetrasi ke pasar global yang turun dari 5,8 persen pada 2000 menjadi hanya separuhnya pada 2007 makin menurunkan daya saing,” ujar salah satu peneliti, Dionisius Nardjoko.
Namun Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Persepatuan Indonesia Harijanto yakin pemutusan hubungan kerja belum perlu dilakukan. Ini karena ongkosnya terlalu mahal, padahal kini banyak perusahaan tengah merekrut tenaga kerja akibat relokasi pabrik Cina dan Vietnam ke Indonesia. ”Kami kini sedang tumbuh, walaupun toh tidak dalam kapasitas penuh,” ujarnya.
R.R. Ariyani, Alwan Ridha Ramdani, Nanang Sutisna
Resep Mereka
Sandiaga Salahudin Uno
Presiden Direktur PT Saratoga Investama Sedaya
Likuiditas perbankan sudah lebih ketat. Demikian juga sumber dana yang biasanya ready, seperti hedge fund, dana pensiun, dan asuransi. Hingga tiga bulan ke depan, krisis ini akan berdampak pada finansial, lalu 6-12 bulan ke depan giliran sektor riil.
Kaji ulang semua rencana ekspansi di 2009. Untuk 2008, yang sudah commit dijalankan, tapi tahun depan, jika belum sampai ground breaking, ekspansi harus ditinjau ulang sampai likuiditas kembali, karena tidak akan ada support dari perbankan.
Johnny Darmawan
Presiden Direktur PT Toyota Astra Motor
Berapa besar pengaruh krisis kali ini bergantung pada berapa lama krisis itu berlangsung. Inti masalahnya ada pada likuiditas, dan Indonesia tidak bisa terlepas dari masalah likuiditas dunia.
Untuk itu, kita harus mengencangkan ikat pinggang. Kalau membeli sesuatu, harus pasti bisa dijual, dan kalau menjual sesuatu, harus sesuai dengan permintaan. Jangan menumpuk stok! Kita harus gencar mencari pasar dan kesempatan baru ke negara yang tidak langsung terkena krisis, seperti Arab atau India.
Sukatmo Padmosukarso
Wakil Presiden Direktur PT Bank Internasional Indonesia
Pasar lokal harus digarap supaya tidak terlalu banyak mengimpor. Misalnya produk tekstil. Pengusaha juga harus lebih selektif memilih pasar dan produk yang akan dikembangkan dan harus mengurangi stok yang akan diekspor. Jangan seperti sekarang, stok CPO berlimpah, padahal ekspor terhambat karena harga komoditas sedang turun. Produk ini harus segera diolah di dalam negeri, karena semakin lama mereka memegang stok, biaya semakin tinggi.
Kita harus berpegangan tangan dan bekerja sama di dalam negeri, karena hampir semua negara tidak bisa mengandalkan ekspor lagi. Pengusaha juga tidak usah bermain dolar kalau tidak ada relevansinya dengan usahanya karena hanya akan menimbulkan kepanikan. Dan kalau mereka punya duit, tetap simpan di bank saja, supaya likuiditas tetap mengalir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo