Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sepuluh Hari Terbilang di Jepang

Kisah perjalanan 21 arsitek Indonesia di Jepang. Tak melulu soal bangunan.

27 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Haikk!
Penulis: Andra Matin dkk
Penerbit: Borneo Publications
Terbit: 2008 cetakan I
Tebal: 397 halaman

JOHANN Wolfgang von Goethe, yang berkisah tentang lawatannya ke Italia (1786-1788), menggambarkan dengan tepat perasaan hatinya sebagai seorang musafir. Dalam buku Italian Journey (1816), ia menulis, ”Sebuah keterasingan di tengah hiruk-pikuk dan benda-benda yang memukau, sebuah perjalanan yang berujung pada penemuan jati diri, sebuah keriangan yang mengendap ketika kaki meninggalkan tempat asing itu.”

Keriangan, keterpukauan itu menjadi warna dasar buku Haikk! karya Andra Matin dan teman-teman arsiteknya yang diterbitkan tiga pekan lalu. Inilah catatan perjalanan mereka pada saat melancong ke Jepang, selama sepuluh hari, tahun lalu.

Sebagai arsitek, tentulah sebagian besar catatan perjalanan mereka berisi ihwal kunjungan ke sejumlah lokasi ”fenomenal” dalam dunia arsitektur. Tadao Ando menjadi benang merah dari seluruh kunjungan itu. Dialah arsitek modern Jepang, seorang profesor emeritus Universitas Tokyo, dan peraih beragam penghargaan dunia, yang meniupkan roh pada sebongkah beton. Ciri khasnya adalah dinding dan konstruksi dari beton tanpa finishing.

Tampak sekali bagaimana para arsitek muda ini ”takluk” pada kedigdayaan Ando dalam mendesain. Mereka bertandang ke sejumlah mahakarya Ando, gereja Church of Light dan Water Temple, selain juga menyambangi tempat-tempat lain di Jepang.

Andra Matin, yang di Tanah Air dikenal lewat beragam karyanya—antara lain ikut menggarap kompleks Komunitas Salihara—menulis bagaimana Ando dengan baik bisa menerjemahkan kalimat sakti yang diyakini banyak arsitek. Bahwa ”kehidupanlah yang mengatur arsitektur” dan bukan sebaliknya.

Sahabat Andra, Avianti Armand, menulis kesannya sebagai orang asing dan sebagai seorang arsitek ketika berhadapan dengan beton-beton kukuh karya Ando. Ia menggambarkan bagaimana beton itu bernapas, menawarkan sensasi estetika di balik warna kelamnya. Sebuah pencarian arsitektur yang selalu menemukan jawaban baru setiap kali melihat tiap pojok bangunan-bangunan itu.

Tentu saja tak semua arsitek itu melulu berkisah tentang bangunan. Patisandhika Sidarta menggambarkan bagaimana kuliner telah menjadi bagian dari napas orang Jepang. Pergantian waktu pun cukup ditandai dengan udara yang menguarkan aroma beragam masakan. Pagi hari ditandai dengan aroma kopi yang baru diseduh, siang dengan hangatnya kuah sup, dan malam hari dengan pukulan ujung sendok logam yang beradu dengan permukaan loyang teppan. Ia juga menulis tentang sushi yang seksi, godaan-godaan warung pinggir jalan, dan kebiasaan makan orang Jepang—yang menjadikan waktu mengisi perut layaknya pesta.

Ada pula yang menggambarkan seksualitas dan erotisme di Jepang yang telah menjelma menjadi sebuah cara memandang dan memperlakukan hidup. Bagaimana orang Jepang menerjemahkan perilaku seksual mereka dari filsafat yang dianut para leluhur. Kekuasaan yang tergambar pada simbol ikat-mengikat, sikap perempuan Jepang yang misterius dan ”tunduk” di hadapan lelaki, juga soal film dan majalah porno.

Sebagian besar penulis, sebagaimana Goethe menahan endapan keterasingan dalam dirinya ketika menginjak Italia, menggambarkan keterasingan mereka. Mereka tercengang-cengang pada keteraturan, gerak-gerik dan suara robotik manusia di seluruh penjuru, serta keterpukauan sebagai bagian dari bangsa yang sedang belajar.

Buku dengan tebal hampir 400 halaman ini dihiasi foto-foto dan ilustrasi yang memikat. Tak hanya foto-foto bangunan karya Ando, Andra Matin juga menyertakan guntingan tiket, peta penunjuk jalan, bagian halaman majalah porno, dan jepretan candid di jalan-jalan Tokyo. Aroma artistik sangat terasa dalam tata letaknya.

Tak ada yang sungguh-sungguh baru dalam buku ini, di antara tumpukan buku perjalanan tentang Jepang. Tetapi, selayaknya musafir, setiap perjalanan ke tempat yang itu-ke-itu juga dan sudah ditempuh berjuta manusia, selalu saja menyisakan kegembiraan baru. Selain tentu saja penemuan jati diri.

Angela Dewi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus