Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Cina</B></font><BR />Meredam Kritik di Toronto

Langkah Cina melepas yuan dinilai belum cukup buat memulihkan ekonomi dunia. Ekspor Indonesia belum tentu naik.

5 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASA dongkol para pemimpin dunia terhadap Cina reda, tapi diprediksi tidak akan lama. Soalnya, langkah pemerintah Hu Jintao melepas mata uang yuan menjelang pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Toronto, Kanada, dua pekan lalu belum cukup untuk ikut mendorong pemulihan perekonomian dunia. ”Meski kebijakan itu positif, terlalu awal untuk menentukan dampak dari reformasi mata uang Cina,” kata Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Rabu pekan lalu.

Apa yang dilakukan Cina bisa jadi tidak lebih dari sekadar untuk berkelit dari kritik yang bakal diterima pemimpin negeri itu dalam pertemuan G-20. ”Kebijakan itu bukan langkah besar, tapi cukup signifikan,” kata Brian Jackson, analis senior Royal Bank of Canada di Hong Kong, seperti dikutip kantor berita AFP. Setidaknya, kata Brian, di depan para pemimpin negara G-20, Presiden Hu bisa menyodorkan bukti bahwa Negeri Panda itu ”serius” melepas nilai tukar mata uangnya lebih fleksibel—sikap yang selama ini tabu.

Bank sentral Cina resmi melansir kebijakan itu sepekan sebelum pertemuan G-20. Akibatnya, yuan menguat terhadap dolar. Pada Jumat pekan lalu, bank sentral Cina menetapkan tingkat referensi yuan terhadap dolar pada 6,7720—tertinggi sejak revaluasi yuan lima tahun lalu. Dalam perdagangan pada Kamis pekan lalu, nilai tukar yuan terhadap dolar ditutup pada 6,7810. Sejak dilepas menjadi fleksibel, yuan menguat terhadap dolar 0,78 persen. Masalahnya, sudah menjadi kebiasaan negeri itu membiarkan nilai tukar yuan menguat bila ada momen penting, semisal pertemuan G-20. Tujuannya untuk menangkis kritik dari negara-negara lain.

Sebelumnya, hampir dua tahun Cina mematok nilai tukar 6,81 yuan per dolar Amerika. Fluktuasi nilai tukar yuan yang diperbolehkan hanya 0,5 persen. Kebijakan itu ditujukan untuk menolong sektor manufaktur yang ditopang jutaan tenaga kerja, dan membantu para eksportir Cina bertahan dari tekanan krisis finansial global 2008. Patokan nilai tukar itu ditentang oleh mitra dagang Cina. Sebab, beleid ini cuma menguntungkan ekspor Cina pada saat ekonomi dunia lesu dan pengangguran meningkat akibat krisis finansial global. Para analis mengatakan nilai tukar yuan terhadap dolar hampir 40 persen berada di bawah valuasi wajar.

Bertemu dengan Presiden Hu di sela-sela pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi G-20, Obama berpendapat bahwa rendahnya nilai tukar yuan terhadap dolar yang dipatok Cina selama ini menyebabkan negeri dengan jumlah penduduk terbesar di dunia ini mendulang keuntungan lewat perdagangan yang tidak adil.

Bahkan, gara-gara kebijakan ini, anggota Senat Amerika Serikat mengancam akan membuat undang-undang yang memungkinkan pihak berwenang Amerika memberlakukan tarif bagi setiap barang Cina yang membanjiri negeri itu. Di mata anggota Senat, sikap Cina itu tak beda dengan memberikan subsidi ilegal buat pengusaha negeri itu dengan memanipulasi nilai tukar mata uang.

Itu sebabnya, Rabu pekan lalu, Barack Obama kembali menekan Cina. Ia ingin memastikan bahwa kebijakan mata uang Cina tidak memberikan keuntungan ekspor buat negeri itu dengan cara tidak adil. ”Kita harus memastikan bahwa negara-negara yang selama ini menjadi mitra dagang Amerika berlaku adil,” ujarnya.

Obama gelisah. Akibat patokan nilai tukar mata uang Cina yang kelewat rendah, barang ekspor Amerika menjadi mahal dan tidak kompetitif. Perusahaan sulit mencari untung. Hal ini bisa berimbas pada angka pengangguran di Amerika yang masih tinggi. Sebaliknya, produk yang diimpor dari Cina lebih murah. Neraca perdagangan Amerika dengan Cina kian defisit.

Menurut Arianto Patunru, Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, pengusaha Cina selama ini ”diproteksi” oleh mata uang yuan yang sengaja dipatok (peg) lemah. ”Dengan begitu, barang-barang mereka bisa membanjiri pasar Amerika, semisal di Walmart,” kata Arianto.

Tingginya angka pengangguran dan kecemasan dalam menghadapi kesepakatan perdagangan bebas dengan negara-negara lain menjadi faktor krusial dalam pemilihan anggota Kongres, November mendatang. Tingginya angka pengangguran bisa mengikis pengaruh Partai Demokrat.

Kebijakan Beijing melepas yuan dipandang optimistis sekaligus pesimistis. Rajan Govil, konsultan Dana Moneter Internasional (IMF), Selasa pekan lalu di Singapura, menyatakan bahwa apresiasi nilai tukar yuan bisa mengatasi kesenjangan neraca pembayaran antara negara-negara Asia dan Amerika Serikat.

Tan Kah Chye, Head of Trade Finance Standard Chartered Bank, mengatakan bahwa menguatnya yuan akan membuat impor yang dilakukan Cina lebih atraktif buat konsumen di negeri itu. Menguatnya yuan terhadap dolar, kata Yves Zlotowski, kepala ekonom Coface, akan mengurangi keprihatinan global terhadap Cina, yang dituduh telah sengaja melemahkan mata uangnya demi memperoleh keuntungan.

Meski begitu, Zlotowski memperingatkan bahwa apresiasi yuan bisa menambah volatilitas terhadap sektor korporasi Cina. ”Apresiasi yuan akan meningkatkan risiko perusahaan,” ujarnya. ”Banyak sektor di Cina yang sesungguhnya sangat rentan terhadap perubahan nilai tukar yuan.”

Menurut Zlotowski, pelemahan euro akan memberikan alasan buat Beijing kembali mengontrol laju apresiasi yuan. Ia memprediksi laju apresiasi yuan terhadap dolar 3-5 persen per tahun.

Di Washington, sehari sebelumnya, Direktur Pelaksana IMF Dominique Strauss-Kahn memuji langkah Cina. Tapi ia memberikan isyarat bahwa negeri itu harus berbuat lebih banyak lagi. Menguatnya yuan, kata dia, bukanlah obat buat mengatasi ketidakseimbangan perdagangan antara Cina dan Amerika Serikat.

Dia memprediksi yuan tidak akan terapresiasi dengan cepat. ”Butuh waktu buat yuan mencapai nilai wajar di pasar,” katanya seperti dikutip kantor berita Dow Jones. ”Kami masih percaya nilai tukar yuan masih di bawah nilai wajar.”

Arianto Patunru punya pendapat senada. Kata dia, kalangan pekerja di Amerika mungkin akan senang dengan kebijakan Cina. ”Mereka bisa kembali bekerja di perusahaan yang menyuplai barang-barang yang tadinya disuplai Cina,” katanya.

Tapi apresiasi itu terbatas. Sebab, barang Amerika tidak banyak yang bersubstitusi dengan barang Cina. Sementara itu baju dan sepatu murah dari Cina menjadi relatif lebih mahal buat konsumen di Negeri Abang Sam itu. Dengan terapresiasinya yuan, impor Cina dari Indonesia akan menjadi relatif lebih murah. Sebaliknya, impor yang dilakukan Indonesia dari Cina menjadi lebih mahal. ”Kita bisa ekspor lebih banyak ke Cina,” kata dia.

Tapi hal ini tidak terlalu signifikan karena apresiasi yuan masih terbatas, dan daya beli dunia, apalagi di Eropa, masih lemah. Arianto menilai pemerintah Cina akan ekstrahati-hati dalam melepas yuan. Sebab, tekanan dari pengusaha dalam negeri Cina, yang selama ini diuntungkan dengan lemahnya yuan, juga kuat sekali.

Kalaupun apresiasi yuan bergerak signifikan tahun depan, relokasi permintaan dunia akan mengarah ke India. ”Karena India memproduksi barang yang mirip produk Cina,” ujar Arianto. Sedangkan Indonesia masih lebih banyak mengekspor barang primer.

Menteri Perdagangan Mari Pangestu mengakui, meningkatnya ekspor ke Cina tidak bisa terjadi dalam waktu singkat. ”Akan ada penyesuaian,” kata dia. Tapi, bagi pengusaha, produk Indonesia akan lebih bisa bersaing dengan produk Cina. ”Era subsidi pemerintah Cina melalui kebijakan moneter telah berakhir,” kata Chris Kanter, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Investasi.

Yandhrie Arvian

Yang Untung:

  • Produk perusahaan asing, terutama Amerika Serikat, yang melakukan ekspor ke Cina akan lebih kompetitif, misalnya pabrikan mobil. Dikonversi ke yuan, produk mereka menjadi lebih murah.
  • Beban perusahaan Cina yang memiliki pinjaman dalam dolar akan berkurang. Contohnya maskapai penerbangan Cina.
  • Konsumen di Cina akan menikmati barang impor lebih murah
  • Spekulan yang telah mengantisipasi pengumuman bank sentral Cina dengan memborong dolar dan aset-aset di Cina, seperti properti dan saham.

Yang Buntung:

  • Produk eksportir Cina, termasuk perusahaan asing yang memiliki pabrik di Cina, menjadi tidak kompetitif. Perusahaan ini membayar upah dengan yuan, tapi memperoleh penjualan dalam dolar atau euro.
  • Konsumen asing, terutama di Amerika, harus membeli barangbarang buatan Cina lebih mahal.
  • Apresiasi yuan menjadi berita buruk buat pegiat lingkungan karena bahan baku dan sumber energi yang diimpor oleh Cina menjadi lebih murah. Negeri ini penghasil emisi karbon terbesar di dunia.
  • The People's Bank of China, bank sentral negeri itu, akan rugi jutaan dolar. Mereka meminjam dana triliunan yuan dan diinvestasikan dalam bentuk surat utang di Amerika. Dikonversi kembali ke yuan, nilai investasi itu jatuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus