Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Elpiji</B></font><BR />Si Hijau Naik Makin Tinggi

Pertamina yakin harga elpiji segera stabil. Pemerintah tidak tegas.

1 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenaikan harga elpiji membuat Kohar senantiasa waswas. Jantung pedagang gorengan yang mangkal di Terminal Bus Kampung Melayu, Jakarta Timur, itu dag-dig-dug tak keruan karena harga elpiji untuk tabung ukuran tiga kilogram tak berhenti naik. Sepekan terakhir, harganya sudah Rp 17-20 ribu per tabung. Padahal, dalam kondisi normal, harganya cuma Rp 13 ribu. Keuntungan pria 52 tahun itu pun tergerus hampir separuhnya menjadi Rp 30 ribu per hari.

Bukan cuma harga gasnya yang melejit. Harga tabung kosong berwarna hijau ngejreng itu juga naik dari semula Rp 142 ribu menjadi Rp 175 ribu per unit. Kohar pun merasa terperangkap program konversi minyak tanah ke gas elpiji. Kalau harga gasnya sampai Rp 20 ribu, Kohar sudah memutuskan akan balik lagi ke minyak tanah. ”Saya tidak sanggup lagi,” katanya.

Pasar elpiji memang berantakan sepanjang pekan lalu. Itu terjadi setelah PT Pertamina menaikkan harga gas elpiji untuk tabung 12 kilogram dan 50 kilogram pada awal pekan lalu. Harga gas untuk tabung 12 kilo naik dari Rp 5.250 menjadi Rp 5.750 per kilogram, sedangkan yang 50 kilo naik dari Rp 6.878 menjadi Rp 7.255 setiap kilogramnya. Sedangkan harga gas untuk tabung tiga kilogram tetap Rp 4.250.

Inilah yang kemudian memicu konsumen rame-rame membeli tabung tiga kilogram. Maklumlah, perbedaan harganya sampai Rp 1.500 setiap kilogram. Apalagi Pertamina masih punya rencana menaikkan harga elpiji nonsubsidi sampai ke tingkat keekonomian, Rp 11.400 per kilogram. Ini berdasarkan harga kontrak Aramco US$ 858 per metrik ton, dengan asumsi harga minyak mentah US$ 118 per barel.

Mudah dibayangkan, jika perbedaan harganya terus melebar, bukan tidak mungkin makin banyak konsumen yang beralih ke gas elpiji bersubsidi. Tapi Pertamina memang tak punya banyak pilihan. Jika harga elpiji untuk tabung 12 kilogram dan 50 kilogram tetap dipertahankan, perusahaan itu bakal merugi Rp 6,5 triliun per tahun. Untuk menutupinya, Pertamina berencana menaikkan harga elpiji 500 perak setiap bulan.

Langkah itu memang tak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang ingin mengkonversi minyak tanah ke gas elpiji. Targetnya, akan ada 42 juta rumah tangga miskin yang mengalihkan pemakaian minyak tanah ke elpiji sampai akhir 2010. Tujuannya tidak lain mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Sialnya, kini muncul masalah lain, konsumen kelas menengah pun ikut menubruk gas tiga kilo.

Kisruh berulang di elpiji ini dinilai ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Ahmad Erani Yustika, berawal dari ketidaktegasan sikap pemerintah. Pemerintah dinilai tak belajar dari pengalaman bahwa membedakan harga bensin premium dengan Pertamax hanya akan mendistorsi pasar. ”Seharusnya equal price for all,” tuturnya.

Mestinya, kata Ahmad, pemerintah menambah alokasi subsidi tunai. Selain ada jaminan pasokan elpiji, ia mengusulkan adanya bantuan langsung tunai tambahan untuk masyarakat miskin agar mampu membeli elpiji dengan harga pasar. Dampaknya, pemain baru di bisnis ini bisa bertambah, dan masyarakat punya banyak pilihan. Tidak seperti saat ini, Pertamina menjadi pemain tunggal.

Memang kini muncul berbagai wacana baru untuk mengatasi masalah tersebut. Pemerintah misalnya dianjurkan menggunakan sistem distribusi tertutup dengan memakai kartu kendali. Hanya keluarga miskin yang berhak membeli elpiji bersubsidi. Selain itu, mulai September ini, pemerintah akan melakukan verifikasi untuk mengamankan program konversi.

Namun langkah itu tak menjamin harga elpiji tidak akan naik. Jika harga elpiji mencapai titik keekonomiannya, perbedaan harganya dengan gas bersubsidi bisa mencapai Rp 7.000-an. Tak sulit menebak harga elpiji tiga kilo pun bakal terkerek kian tinggi. Tapi juru bicara Pertamina, Wisnuntoro, mengatakan aksi rush elpiji ini tak akan lama. Dia memperkirakan awal bulan puasa harga mulai stabil.

R.R. Ariyani, Bunga Manggiasih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus