Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Timur Tengah dan Afrika dibayangi kenaikan harga minyak mentah yang gila-gilaan. Sepanjang pekan lalu, minyak mentah di pasar internasional terus mencetak rekor baru. Pada perdagangan Kamis, harga minyak mentah di New York Mercantile Exchange sempat menyentuh US$ 111, sebelum akhirnya ditutup di level US$ 110,33 per barel.
Anjloknya nilai tukar dolar Amerika terhadap mata uang lain menjadi salah satu penyebab. Ini cerita yang selalu berulang, kata broker BNP Paribas di New York, Tom Bentz. Kalau dolar jatuh ke rekor terendah, harga minyak pasti akan menembus juga ke rekor baru yang lebih tinggi. Melemahnya dolar membuat investor berlarian ke pasar komoditas, termasuk memburu minyak.
Jadilah negara-negara pengimpor minyak, termasuk Indonesia, yang kelimpungan. Dengan asumsi harga minyak US$ 60 per barel seperti yang dipatok dalam APBN 2008, dana yang harus digelontorkan untuk subsidi bahan bakar minyak Rp 45,8 triliun atau sekitar satu persen dari produk domestik bruto. Jika patokan diubah ke US$ 83 per barel, subsidi lompat ke angka Rp 106,2 triliun atau 2,5 persen dari produk domestik bruto.
Itu baru subsidi bahan bakar minyak. Subsidi listrik untuk PLN juga bakal membengkak karena sebagian besar pembangkit PLN dihidupkan dengan bahan bakar minyak. Diperkirakan, subsidi listrik akan mencapai Rp 55 triliun. Itu pun sudah ditekan dari kebutuhan sebenarnya yang mencapai Rp 65 triliun. Padahal, dalam anggaran 2008, subsidi listrik awalnya hanya dipatok Rp 27,8 triliun.
Untuk menahan agar anggaran tak jebol, pemerintah meluncurkan berbagai program penghematan. Dari rencana pembatasan pemakaian premium dan solar yang selama ini disubsidi sampai ”ancaman” pengenaan tarif 1,6 kali lipat lebih mahal daripada tarif normal jika pelanggan PLN tak bisa menekan pemakaian listrik. Tapi kedua program ini masih juga belum berjalan.
Repotnya, berkali-kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM. Padahal, kata Chief Economist BNI A. Tony Prasetiantono, setiap kali pemerintah menaikkan harga BBM Rp 500 per liter, dana yang bisa dihemat mencapai Rp 10 triliun. Meski tidak terlalu besar, ini tetap lumayan untuk mengurangi tekanan anggaran yang siap meledak jika harga minyak terus melonjak.
Apakah lonjakan harga minyak dan ancaman resesi Amerika akan mengguncang pasar Indonesia? Menurut Tony, kenaikan harga minyak selama sepekan terakhir belum terlalu berpengaruh terhadap investasi asing di Indonesia. Pasar uang masih bagus. Itu terlihat dari maraknya asing yang masuk ke Sertifikat Bank Indonesia dan tingginya minat membeli Obligasi Retail Indonesia.
Pasar saham juga masih mencorong. Kalaupun ada investor asing yang melepas saham, pasti akan kembali lagi karena Indonesia dinilai masih menjadi pasar yang sangat menguntungkan. Sedangkan pengaruhnya terhadap investasi asing langsung, baru akan terlihat di akhir tahun.
”Yang dilihat investor asing sekarang adalah seberapa kuat pemerintah menahan agar anggaran tak jebol,” ujar Tony. Kalau harga minyak terus di atas US$ 110 per barel dan anggaran negara jebol, rupiah terpuruk drastis, dan inflasi tinggi, barulah asing akan bereaksi. Jadi, kata Tony, ”Sooner or later, BBM pasti naik.”
Anton Gunawan, Chief Economist PT Bank Danamon Tbk., sependapat. Yang menjadi fokus investor asing, kata Anton, inflasi dan fiskal. Bukan harga minyak dunia. Penarikan modal dari bursa tak permanen. ”Cuma profit taking,” katanya. Fiskal saat ini masih cukup kuat karena harga rata-rata minyak dunia masih di kisaran US$ 85 per barel.
Senin pekan lalu, investor memang sempat beramai-ramai melepas saham di Bursa Efek Indonesia, karena faktor minyak dan kekhawatiran resesi Amerika. Hari itu, nilai bersih perdagangan saham di Bursa Indonesia mencapai negatif Rp 1,4 triliun. Tapi, keesokan harinya, yang menjual berkurang, dan pada Rabu pekan lalu, nilai bersih perdagangan saham sudah positif Rp 75,2 miliar.
Masalahnya, harga minyak sampai di ujung tahun nanti belum akan ketahuan akan berhenti pada level berapa. Meski sebelum pembukaan perdagangan Jumat pekan lalu harga minyak sempat turun lagi, tak ada yang bisa memperkirakan dengan pasti akan stop di mana.
Para analis saja masih berbeda-beda pendapat. Ada analis yang berpandangan kuatnya fundamental suplai dan permintaan bisa menyeimbangkan harga. Tapi ada juga analis yang berpendapat lemahnya permintaan dan suplai yang cukup tetap saja tak bisa menghentikan harga. Ini sudah sering terjadi, terutama ketika nilai tukar dolar ambruk.
Apa pun itu, waktu terus berkejaran. Bahkan sumber Tempo di pemerintahan pun sudah sangat khawatir dengan perkembangan terakhir. Tidak ada pilihan, katanya, selain menaikkan harga premium dan solar yang masih disubsidi. Sebab, kalau harga minyak tetap stabil di level US$ 110 sepanjang tahun ini, subsidi bisa meledak jadi Rp 300 triliun.
Grace S. Gandhi, Anne L. Handayani, Agus Supriyanto
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Indikator Makro | APBN 2008 | APBN-P 2008 |
---|---|---|
Produk domestik bruto (Rp T) | 4.306,6 | 4.286,0 |
Pertumbuhan ekonomi | 6,8% | 6,4% |
Inflasi | 6,0% | 6,5% |
Nilai tukar rupiah (Rp/US$) | 9.100 | 9.150 |
Suku bunga SBI 3 bulan | 7,5% | 7,5% |
Harga minyak (per barel) | US$ 60 | US$ 85 |
Produksi minyak (barel/hari) | 1,03 juta | 960 ribu |
Sumber: Departemen Keuangan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo