Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tibet dalam Kertas

17 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Enrico Soekarno pernah melanglang ke Tibet, pernah bertemu Dalai Lama di pengungsiannya di Dharamsala, India. Ia aktivis yang menyokong pembebasan Tibet. Maka, untuk memperingati demonstrasi damai rakyat Tibet menuntut kemerdekaan yang dibalas dengan pembantaian oleh tentara Cina pada Maret 1959, ia berpameran di Galeri Langgeng, Kemang, Jakarta Selatan. Ia mendatangkan perwakilan Dalai Lama di Australia: Tenzin Phuntsok Atisha.

Yang ditampilkan adalah drawing tinta hitam di atas kertas berdasarkan foto-foto Tibet yang sudah ada. Ukur­annya kecil-kecil, sekitar 20x20 sentimeter. Di tengah maraknya pameran lukisan, pameran drawing murni kini termasuk langka. Dan terlihat ia teliti. Tangannya cukup terampil menggambar manusia, kuil, yang entah mengapa kebanyakan dari sisi depan.

Demikianlah, facade arsitek ba­ngunan, menara dengan latar pegunungan, para rahib, patung Buddha, seorang anak bertopi ala Mao memegang potret Dalai Lama dan terutama wanita-wanita tua. Enrico berusaha mendramatisasi kerutan di wajah me­reka untuk menampilkan penderitaan. Memandang mereka tak menimbulkan rasa kasihan, melainkan eksotisme. Selain itu, ada gambar yang mengimajikan bagaimana Tentara Pembebasan Rakyat Cina membakar Istana Potala pada 1959 itu.

Tibet memang menggoda. Bebera­pa buku Dalai Lama dan pengalam­an spiritual para biksu Tibet mulai ba­nyak diterjemahkan. Misalnya White Lama—komik bikinan Alexandro Jodorowsky & George Bess dengan gambar-gambar yang imajinatif ini membuat kita membayangkan hal-hal ajaib seputar reinkarnasi dan meditasi—juga konflik internal di kalangan para elite rahib Tibet sendiri. Pame­ran bertajuk Out of Tibet ini tentu tak menyajikan hal-hal seliar itu. Tapi, untuk sebuah testimoni dan kampanye, cukuplah.

Seno Joko Suyono

Menara Rayap Nia

Nia Gautama, 35 tahun, belajar keramik secara otodidak. Tapi pamerannya bertajuk Woundroushelter di Bentara Budaya Jakarta mengejutkan, lain dari yang lain. Ia mempelajari bentuk sarang rayap. Dengan materi tanah liat ia kemudian mewujudkan bentuk rumah rayap itu dalam ukuran-ukuran besar dan memberinya sentuhan imajinasi lain.

Masuk ruang pameran, kita melihat 28 buah bentuk silinder, kerucut, terhampar. Tingginya 1 sampai 2 meter. Pucuk silinder berbeda-beda, ada yang memiliki satu puncak, ada dua-tiga. Tubuh silinder itu berlubang-lubang. Pada rumah rayap asli, lubang itu merupakan tempat larva, lorong sempit tempat telur ditetaskan. Oleh Nia lubang itu diberi citra pintu, jendela, lubang elips, jajaran genjang.

Karya Nia ini terasa kuat napas alaminya, juga napas metaforisnya. Bisa melempar imaji kita ke khayalan tentang menara antah berantah, minaret, rumah purba, dinding tebing tempat mayat disimpan seperti di Toraja, kisah menara Babel. Atau rumah manusia gua, yang antara penghuni satu dan yang lain memiliki ikatan komunal yang akrab.

Karya ini dibuat Nia tanpa pembakaran. Ia memerlukan tanah liat dari Plered yang dikenal kuat seba­nyak 7 ton. Untuk menambah kekuat­an strukturnya, Nia mencampur tanah dengan serbuk gergaji dan pasir. Setelah selesai, karyanya dikeringkan di lapangan. Berat karyanya masing-masing 400- 500 kilogram, sehingga perlu diangkat enam orang.

Nia bercerita, ketika sedang dike­ringkan, turun hujan lebat. Ia tak memindahkan karyanya dari lapangan, tapi membungkusnya dengan plastik satu per satu. ”Itu mengakibatkan banyak bekicot, cacing, dan karya saya berlumut,” katanya. Ia tentu membersihkan segala bekicot itu. Namun warna gelap, mentah, lembap akibat dibungkus itu, tetap dipertahankan. Itu, menurut dia, malah membuat warna karyanya seasli rumah rayap. Nia membuktikan, dari ide sederhana, sebuah karya bisa mencapai bentuk pemaknaan kontemporer tak terduga.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus