Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

’Last Supper’ Gaya Bandung

Di Galeri Cemara, Jakarta, J. Ariadhitya Pramuhendra mendekonstruksi citra Last Supper karya Leonardo da Vinci.

17 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang perupa muda membuat alegori kepercayaan religiusnya sendiri melalui berbagai medium pencitraan (gambar, fotografi, dan obyek). Perupa ini, J. Ariadhitya Pramuhendra, 24 tahun, tanpa ragu menampilkan sosoknya sendiri sebagai Yesus dan 12 murid, meniru adegan masyhur pada Last Supper (1495-1497), mahakarya Leonardo da Vinci. Bisakah, misalnya, orang lantas gusar atau marah lantaran imajinasi nakal dan terang-terangan semacam ini?

Fresco yang sudah makin pudar pada dinding ruang makan biara St. Maria delle Grazie, Milan, Italia, itu bukan kepalang terkenal. Gestur dan mimik tiap murid Yesus digambarkan teliti pada lukisan ini, dianggap sesuai benar dengan kisah Injil. Di sinilah kita bersua dengan Thomas sang peragu, Bartholomeus yang berserah, Petrus yang geregetan, seakan tak sabar untuk mencecar (tapi yang kelak juga menyangkal). Yang tampak lemas, setengah menyandar di sisi rasul sulung ini, mirip perempuan, itulah Yohanes. Adapun Yudas, mimiknya sulit ditebak, cenderung menjaga jarak dengan sang rahib, sosok sentral yang ada di tengah-tengah. Yesus baru saja mengungkapkan, salah satu di antara para murid itu akan mengkhianati dan berniat membunuh-Nya. Itulah malam terakhir yang mencemaskan.

”Saya ingin lebih menghayati apa yang dirasakan oleh Yesus dan para murid pada saat perjamuan akhir itu…. Sering saya membayangkan bagaimana seandainya pada saat itu saya berada di sana…,” ujar Pramuhendra. Khayal nyentrik seperti itu, menurut dia, kerap kali datang saat dia mengikuti perayaan ekaristi hari Minggu di gereja.

Pramuhendra, lulus dari Jurusan Seni Grafis Institut Teknologi Bandung tahun lalu, merenungkan suasana gempar, juga gentar dan curiga, pada episode dalam Injil yang menjadi acuan pokok Last Supper. Ia memutuskan untuk mengotak-atik dan menafsirkan kembali tema besar karya sang polymath yang paling bersinar di zaman Renaisans ini. Sebelumnya, ia pernah membuat karya dengan tema salib. Pameran yang berlangsung di Cemara 6 Gallery, Jakarta, 11- 25 Maret 2008, dengan kurator Rifky Effendi ini merupakan pameran tunggalnya yang pertama.

Seakan menegaskan citra dan tafsir personal sang perupa terhadap acuan estetik yang dipilihnya, Hendra melucuti baju seraya mempertahankan cambang dan jenggotnya. Detail pada kolong meja dihapus, sehingga adegan dan posisi meja terasa dekat dan menyodok pemirsa. Inilah karya Holy Mass yang membentang sepanjang tujuh meter. Batang charcoal digunakan dengan menggosok-gosok dan meratakan debu hitamnya di atas kanvas, menggunakan tapak tangan atau jemari, berulang-ulang, hingga kelam, kedalaman, dan rinci tertentu dapat dicapai.

Gelap-terang, hitam-putih, yang bersahaja pada karya ini ikut memberikan tekanan naik-turun suasana curiga, dengan latar kanvas kosong melompong, tanpa kepastian. Namun bukankah keserupaan sosok pada semua tokoh dalam karya ini seakan juga menyarankan sesuatu yang lain? Yakni terwadahinya semua hal-ihwal dalam satu pribadi yang sama? Baik yang khianat maupun yang ragu, penyelamat dan pendosa, pada sosok yang sama? Jarak signifikan yang ditimbulkan oleh karya apropriasi dan sumber acuannya bukanlah ungkapan visualnya, melainkan lebih pada intensi atau hasrat perupanya yang—secara radikal—berbeda.

Pada Last Supper Performed 1 (225 x 48,9 cm), Hendra mendandani diri lebih persis seperti lukisan Da Vinci, sebelum mencetaknya menjadi karya monoprint. Namun lihatlah, taplak meja bersih, tanpa potongan atau remah roti dan gelas anggur. Mungkin inilah tanda adanya kesadaran akan pencarian sesuatu yang lain pada perupa ini, di luar simbol-simbol religius atau keselamatan pada lukisan Last Supper.

Keluar dari keketatan kanon sang mahakarya, Hendra lebih leluasa bermain-main dan mengganti bagian-bagian tertentu adegan Last Supper. Pada karya Chairmen’s Dialogue (arang di atas kanvas), dan Last Supper Performed 2 (cetak digital), misalnya, seluruh adegan itu digambar dari arah belakang, seakan-akan meniru deskripsi pada karya Da Vinci yang harus dibaca terbalik. Bidang putih kosong pada karya-karya ini berubah menjadi horizon tak terbatas dan, karena itu, menimbulkan gambaran sesuatu yang tak menentu.

Sebuah adegan memikat yang seakan-akan melipat komposisi Last Supper menjadi dua bagian ditampilkan dalam Divided and Fold (arang di atas kanvas, 200 x 400 cm). Yesus tidak lagi menghadap ke arah kita, para pemirsa, atau para rahib di dalam biara, sebagaimana diduga dibayangkan oleh Da Vinci tatkala melukis fresco-nya. Pada karya ini, hampir seperti siluet dalam pementasan wayang, para murid tampak beramai-ramai memojokkan ”Yesus”. Ini seakan mengingatkan apa yang kemudian terjadi setelah Yesus beranjak dari meja itu, berdoa sendirian dengan gentar, dan kemudian ditangkap oleh serombongan serdadu dengan pedang dan pentung di Taman Getsemani.

Tafsir terhadap Last Supper tidak berhenti pada lukisan Da Vinci. Keragaman inilah yang terasa membuat pameran Hendra tak sekadar bermain-main dengan apropriasi. Di tengah ruang pameran, muncul obyek cawan besar yang dipikul oleh 12 sosok sebesar jempol tangan. Ini agaknya adalah alegori tentang misi sulit para rasul untuk melaksanakan perintah Yesus, dalam You’re Gonna Carry the Weight (100 x 100 x 70 cm). Lalu sebuah obyek sepasang sepatu kets yang alasnya bolong, untuk menunjukkan jejak paku besar pada kaki Yesus tatkala disalib, dalam Superstar Christ (31 x 33 x 13 cm).

Yang paling berhasil adalah obyek meja perjamuan berkaki enam. Inilah 13 Minutes After (360 x 120 x 80 cm), sebuah meja panjang dari kayu borneo yang dibuat oleh seorang tukang kayu. Pada taplak meja bersih itu, Hendra menerakan cap samar jejak-jejak sikut, telapak tangan, dan lengan para murid serta Yesus sendiri setelah perjamuan bubar. Anasir-anasir kecil dari yang ”absen” ini memikat pada karya obyek ini, justru karena meja itu sungguh-sungguh hadir dan nyata di ruang pameran.

Dalam dua atau tiga tahun terakhir ini, perupa muda Bandung tampak sangat giat berkarya dan berpameran. Booming seni rupa kita dapat diduga salah satu dorongannya. Pameran mereka di sejumlah kota, misalnya Bandung New Emergence dan Errata Optika (Selasar Sunaryo, Bandung, 2006), Petisi Bandung (Langgeng Gallery, Magelang, 2007), dan Invasi Bandung (Galeri Canna, Jakarta, 2008), menampakkan semangat baru perupa muda Bandung. Kecenderungan karya mereka yang lebih konseptual—dibanding rata-rata perupa dari Yogya, misalnya—tentunya diharapkan dapat memberikan gelagat baru yang lebih segar dalam perkembangan seni rupa kita.

Hendro Wiyanto, pengamat seni rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus