Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=brown><B>Kasus Pajak</B></font><BR />Menumpang Alamat Toko Perabot

Kasus pajak Permata Hijau Sawit mendapat perhatian khusus parlemen. Panitia kerja minta kasusnya dihentikan.

7 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERISTIWA itu belum pupus di ingatan Johan Mak. Tahun lalu, rumah toko yang ia sewa di Jalan Arif Rahman Hakim, Medan, didatangi tim petugas dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I. Mereka menyelidiki keberadaan PT Putri Windusemesta. ”Saya nyatakan kepada mereka, saya tidak tahu dan tidak pernah mendengar nama perusahaan itu,” kata Johan, Jumat pekan lalu.

Rupanya, perusahaan yang dicari tim pajak memakai alamat yang sama persis dengan rumah toko yang disewa Johan. Di tokonya, Makmur Jaya, Johan menjual perabotan rumah tangga. Sedangkan yang dicari tim ialah perusahaan pemasok kelapa sawit.

Petugas pajak mengecek keberadaan Putri Windu setelah PT Permata Hijau Sawit, eksportir minyak kelapa sawit, mengajukan klaim restitusi pajak pertambahan nilai. Permata Hijau mengaku bahwa Putri Windu adalah salah satu pemasok bahan baku untuk perusahaan itu. Nilai transaksi pembelian hingga Rp 40 miliar.

Tapi petugas pajak mencurigai surat pajak tahunan Permata Hijau. Menurut bekas Kepala Kantor Wilayah Pajak Sumatera Utara I, Ramram Brahmana, persentase penghasilan Permata Hijau sebelum kena pajak justru yang terburuk di antara perusahaan sejenis: nilainya tak sampai satu persen. Tapi perusahaan ini selalu meminta restitusi.

Bukan cuma Putri Windu yang tak jelas keberadaannya. PT Al Ansar Binasawindo Plantation, mitra bisnis Permata Hijau lainnya, sama saja. Didatangi Tempo pada Jumat pekan lalu, tiada jejak perusahaan itu di Jalan Brigjen Katamso 230, Medan. Al Ansar mencatut alamat Lia Multi Niaga, perusahaan percetakan.

Tak jelasnya sejumlah mitra bisnis Permata Hijau diakui Pontas Pane, pelaksana tugas Direktur Intelijen dan Penyidikan Direktorat Pajak. ”Setelah dicek, ada yang berupa bimbingan belajar, atau ruko kosong,” kata Pontas. Padahal, berdasarkan fakturnya, rata-rata transaksi di atas Rp 30 miliar.

Direktorat Jenderal Pajak menduga, faktur yang digunakan Permata Hijau Sawit untuk mengajukan restitusi berasal dari transaksi dengan sejumlah perusahaan fiktif. Itu sebabnya, surat perintah bukti permulaan dikeluarkan pada September 2007. Sejak itu restitusi pajak yang diajukan Permata Sawit tidak bisa dicairkan. Penyidikan dilakukan tim pajak pada Oktober tahun lalu.

Kasus Permata Hijau kian menarik perhatian publik setelah Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan saat itu, menggelar jumpa pers di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak, 3 Mei lalu. Menurut Sri Mulyani, Direktorat Pajak sedang mengusut sejumlah kasus restitusi pajak memakai faktur transaksi fiktif. Salah satunya Permata Hijau Sawit. Ia mengakui faktur pajak pertambahan nilai dengan transaksi fiktif bisa terjadi karena melibatkan pegawai internal Direktorat Pajak.

Permata Hijau bergerak cepat. Sorenya, perusahaan itu membantah mengajukan restitusi pajak fiktif. ”Permata Hijau korban kenakalan para penyuplai,” kata Jun Cai, kuasa hukum Permata Hijau di Medan. Menurut dia, seluruh minyak kelapa sawit yang dibeli dari penyuplai, plus pajak 10 persen, sudah dibayar.

Esoknya, perusahaan yang biasa mengekspor minyak kelapa sawit ke Cina dan India ini menggelar jumpa pers di Hotel Nikko Jakarta. Jhonny Virgo, Direktur Permata Hijau, menegaskan perusahaannya selalu menggunakan faktur pajak sesuai dengan transaksi. Dia justru merasa dipermainkan oleh Direktorat Pajak.

Selang dua hari, dukungan buat Permata Hijau datang dari politikus di Senayan, yang ketika itu lagi sengit-sengitnya menyerang Sri Mulyani. ”Kita langsung memutuskan terbang ke Medan,” kata Ketua Panitia Kerja Perpajakan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Melchias Markus Mekeng.

Melchias, anggota Fraksi Partai Golkar, dan beberapa koleganya bertemu puluhan pengusaha di California Ballroom, Hotel JW Marriott, Medan. Eksportir karet, kopi, dan minyak kelapa sawit hadir dalam pertemuan tertutup itu. ”Kami perlu masukan soal pajak yang memberatkan pengusaha,” ia beralasan.

Panitia kerja pajak juga mengorek informasi ke Kantor Wilayah Pajak Sumatera Utara I. Di sana Melchias menanyakan mengapa restitusi Permata Hijau ditahan hingga tiga tahun. Ia juga mempersoalkan dicabutnya status wajib pajak patuh yang disandang Permata Sawit sejak 2004.

Setelah itu, mereka datang ke kantor Permata Hijau. Didampingi Maiyasak Johan dari Partai Persatuan Pembangunan, Melchias diterima Jhonny Virgo. Mereka membahas kasus pajak Permata Hijau. Dari kunjungan itu, Melchias menyimpulkan proses penyidikan Permata Hijau tidak becus.

Panitia kerja pajak tidak menemukan penyimpangan seperti yang pernah dilontarkan Sri Mulyani. ”Kami melihat dalam kasus ini ada permainan,” kata Melchias. Ia mengklaim punya banyak barang bukti. Dia merekomendasikan petugas yang terlibat dalam penyidikan dinonaktifkan.

Singkat kata, kasus ini bergulir ke ruang sidang di Senayan. Selasa tiga pekan lalu, panitia kerja memanggil Permata Hijau dan petugas pajak dari Kantor Wilayah Pajak Sumatera Utara I. Direktur Keuangan Permata Hijau Sawit Toto Chandra mengatakan pemasok bahan baku yang dinyatakan fiktif itu justru mempunyai nomor pokok wajib pajak dan pengusaha kena pajak yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak.

Perusahaannya, kata Toto, korban sindikat mafia pajak. Buktinya, perusahaan pemasok yang dikatakan fiktif itu juga menyuplai bahan baku buat sejumlah perusahaan lain. Jhonny Virgo menambahkan, gara-gara kasus ini, total restitusi pajak yang tidak bisa diterima Permata Hijau Rp 530 miliar. Padahal, katanya, restitusi pajak yang dianggap bermasalah oleh Direktorat Jenderal Pajak cuma Rp 90 miliar.

Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengatakan, dalam kasus yang menjerat Permata Hijau, ada 14 pemasok yang terlibat. Empat di antaranya telah divonis bersalah di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, September tahun lalu. Satu divonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Enam lainnya dalam proses penyidikan. Adapun tiga penyuplai fiktif lainnya, yang diduga merugikan negara Rp 44 miliar, sedang disempurnakan berkas penyidikannya.

Jhonny berkeberatan perusahaannya dituding melakukan kerja sama dengan para pemasok fiktif tadi. Permata Hijau, kata Jhonny, tidak memiliki hubungan afiliasi dengan mereka. Yang seharusnya diperiksa, kata dia, justru dua konsultan pajak yang dipakai oleh para pemasok tadi.

Melchias menyarankan, bila bukti tim pajak lemah, sebaiknya penyidikan dihentikan karena bisa kalah di pengadilan. ”Bila tidak ada bukti, berikan hak restitusi Permata Hijau,” katanya. ”Buat apa dipiara terus.”

Apa yang dilakoni panitia kerja menuai kritik. ”Mereka sudah seperti tukang tagih, agar restitusi cair,” kata seorang sumber di pemerintahan. Dia setuju kasus mafia pajak dibuka bila ada pegawai internal pajak nakal. Tapi jangan dibelokkan sehingga penyidikan dihentikan. Ini bisa menjadi preseden buruk untuk penyidikan kasus pajak kakap lainnya, seperti kasus Asian Agri dan pajak Grup Bakrie. Negara bisa kehilangan potensi penerimaan yang didapat dari denda sebesar empat kali tunggakan pokok.

Meski perlawanan cukup kencang, Direktorat Pajak pantang mundur. Pontas Pane mengatakan tim pajak sudah meminta Bank Indonesia izin membuka rekening Permata Hijau dan para pemasoknya. ”Sudah disetujui oleh Menteri Keuangan,” ujar Pontas.

Agus Martowardojo, yang belum sebulan menjabat Menteri Keuangan, berjanji mendukung kebijakan Direktorat Pajak, khususnya dalam menyidik kasus-kasus kakap. ”Karena terkait dengan penerimaan pajak,” ujarnya. Itu sebabnya, Senin pekan lalu, ia ke Gedung Bundar, bertemu Jaksa Agung Hendarman Supandji, berkoordinasi tentang kasus Permata Hijau. Ia tak peduli meski Permata Hijau dulunya nasabah prioritas Bank Mandiri—tempat dia berkarier sebagai direktur utama.

Sejauh ini Robert, bos Permata Hijau, sudah ditetapkan sebagai tersangka. Berada di Singapura, ”Pak Robert lagi berobat,” kata Jun Cai. Tapi, bila Robert tak pulang, Direktorat Pajak sudah berkonsultasi dengan kejaksaan untuk menggelar pengadilan in absentia.

Yandhrie Arvian, Renny Fitria Sari (Jakarta), Soetana Monang Hasibuan (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus